Bencana Alam, Industri, dan Posisi Rakyat
Akhir-akhir ini Banten kerap dilanda bencana alam. Yang paling mutakhir terjadi adalah banjir bandang yang menimpa Kab. Lebak dengan kerugian materil mencapai kurang lebih 100 m. Akumulasi dari kerugian tersebut seperti dilansir dari detik.com antara lain: Kerusakan rumah yang telah terverifikasi mencapai 889, 28 jembatan gantung, serta kerugian kerusakan infrastruktur jalan terjadi di 30 desa dan 6 kecamatan. Selain di Lebak, di tahun-tahun sebelumnya Anyer juga mengalami hal serupa yaitu bencana tsunami yang kerugiannya tidak kalah besar dengan lebak. Selain itu, ada pula kasus kasus lain yang dari sumber itulah bencana datang. Seperti meluapnya lumpur lapindo saat pengeboran minyak berlangsung, meledaknya pabrik kimia dan lain sebagainya.
Bencana seperti diketahui hanyalah sebuah sebab yang selalu bisa kita elaborasi dengan atmosfer ekonomi politik yang hampir selalu menjadi musababnya. Sisanya, bisa saja bencana itu karena fenomena alam yang betul-betul alamiah.
Ditengah ekspansi kapitalisme yang kian massif ke berbagai penjuru negeri, Indonesia dengan komoditasnya yang beragam dan melimpah menjadi tempat yang banyak diminati para koorporasi untuk di eksplorasi dan eksploitasi yang dampaknya pada kerusakan ekologi alam. Dari sinilah asal usul bencana terjadi.
Dalam merespon bencana yang kerap terjadi di banten sekarang-sekarang ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rakyat Banten bersama komponen lain yang fokus dalam kajian lingkungan mendiskusikan secara serius tentang akibat yang dihasilkan oleh industri dengan tema "Banten Dikepung Bencana". Belakangan, Banten memang ditempatkan sebagai wilayah Waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ke depan. Penempatan ini jelas, ditengah wilayah Banten dijadikan tempat masuknya berbagai proyek strategi nasional yang mengancam tidak saja keberlangsungan ekologi alam, seperti kekeringan, kualitas tanah yang menurun, kesehatan warga sekitar dan lain-lain, tetapi juga menghadirkan bencana sosial yang menjadikan rakyat terus menerus dilanda kemiskinan. Kami akan coba menguraikannya satu persatu dampak ekologis dari industri dibawah ini:
Industri fosil selain menghasilkan berbagai produk komoditas, juga menghasipkan bahan-bahan yang tidak memiliki nilai (limbah) yang dari sinilah bencana menyusul. Ada setidaknya dua jenis limbah yang dihasilkan oleh industri antara lain yang berbentuk gas dan ada juga yang cair. Kedua-duanya tidak saja mencemari lingkungan, tetapi juga manusianya.
Seperti kita ketahui, kebanyakan industri di bangun di desa-desa atau bahkan di pinggiran-pinggiran kota, hal tersebut akan berakibat hilangnya sumber utama penghidupan warga desa yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Adapun yang tetap bertahan melakukan aktifitas biasanya, industri juga melahirkan dampak lain seperti berubahnya iklim tanah ketika limbah-limbah yang dihasilkan dibuang dengan tidak semestinya. Gagal panen adalah satu contoh yang bisa kita ambil untuk mendeskripsikan iklim tanah tersebut benar-benar berubah. Selama ini, transisi sektor besik dari bertani menjadi buruh yang selalu dinegosiasikan dengan rakyat tidak enteng seperti kedengarannya. Karena bagaimanapun, industri selalu butuh orang-orang yang menurutnya lebih terampil untuk dipekerjakan dibandingankan menyerap tenaga kerja dari tempat bermukim warga yang dekat dengan pabrik. Alhasil, kemiskinan kian menghantui rakyat dengan tidak henti-hentinya.
Selain kerusakan ekologis dan melahirkan bencana, dalam perspektif sosial industri kerap membawa konflik yang melibatkan sipil dengan tentara sebagai kaki tangan koorporasi yang berujung pada kekerasan dan intimidasi. Untuk menemukan fakra itu, amat mudah sekali kita temukan atau kadangkala ada di sekeliling kita
Tidak cukup sampai disitu, Industri juga memiliki andil besar terhadap Kekeringan dan kualitas air yang memburuk serta kesehatan masyarakat yang menurun karena kualitas udara yang tidak lagi baik. Rata-rata umur manusia khususnya di Indonesia katakan 65 tahun, seiring udara yang tercemar oleh limbah yang terus menerus kita hirup hampir disetiap harinya tanpa pengamanan apapun, umur kita akan menyusut oleh faktor ini.
Dari sudut pandang ini kita bisa berkesimpulan bahwa 'bencana lahir dari akumulasi pencemaran darat dan udara yang dikapitalisasi'.
Penyumbang bencana selanjutnya selain dari industri pabrik ada pula yang datang dari pengerukan bumi (Tambang). Seperti yang dibicarakan dalam diskusi, bicara tambang berarti bicara Imperialisme. Jika demikian yang terjadi, Negara akan tekuk lutut dan sepenuh-penuhnya menjadi pengabdi sejati para pemodal. Keberpihakan inilah yang kemudian menjadi bencana sosial yang tidak kalah naifnya. Naif, selain rakyat dipertentangkan dengan aparat dalam proses pembebasan, juga dipaksa harus menonton tanah tempat tinggalnya habis dikeruk alat alat raksasa. Seiring berlangsungnya tambang, Lubang-lubang raksasa yang ditinggalkan begitu saja kerap menjadi malapetaka bagi warga sekitaran industri.
Dalam posisi demikian, negara memiliki peran penting atas kerusakan yang dilakukan oleh koorporasi. Karena dari izin lah sebetulnya aktifitas perusakan itu dilakukan. Mengapa demikian?
Izin selalu berkelindan dengan urusan politik. Setan-setan desa atau kapitalis birokrat inilah yang sering banyak mengeruk keuntungan dari berbagai kerusakan yang merugikan rakyat banyak. Sebagai bangsa yang menginginkan modernisasi, tentu saja industri tidak sepenuh-penuhnya ditolak, asalkan tidak mengorbankan rakyat dengan segala dampak yang diterimanya.
Bencana seperti diketahui hanyalah sebuah sebab yang selalu bisa kita elaborasi dengan atmosfer ekonomi politik yang hampir selalu menjadi musababnya. Sisanya, bisa saja bencana itu karena fenomena alam yang betul-betul alamiah.
Ditengah ekspansi kapitalisme yang kian massif ke berbagai penjuru negeri, Indonesia dengan komoditasnya yang beragam dan melimpah menjadi tempat yang banyak diminati para koorporasi untuk di eksplorasi dan eksploitasi yang dampaknya pada kerusakan ekologi alam. Dari sinilah asal usul bencana terjadi.
Dalam merespon bencana yang kerap terjadi di banten sekarang-sekarang ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rakyat Banten bersama komponen lain yang fokus dalam kajian lingkungan mendiskusikan secara serius tentang akibat yang dihasilkan oleh industri dengan tema "Banten Dikepung Bencana". Belakangan, Banten memang ditempatkan sebagai wilayah Waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ke depan. Penempatan ini jelas, ditengah wilayah Banten dijadikan tempat masuknya berbagai proyek strategi nasional yang mengancam tidak saja keberlangsungan ekologi alam, seperti kekeringan, kualitas tanah yang menurun, kesehatan warga sekitar dan lain-lain, tetapi juga menghadirkan bencana sosial yang menjadikan rakyat terus menerus dilanda kemiskinan. Kami akan coba menguraikannya satu persatu dampak ekologis dari industri dibawah ini:
Industri fosil selain menghasilkan berbagai produk komoditas, juga menghasipkan bahan-bahan yang tidak memiliki nilai (limbah) yang dari sinilah bencana menyusul. Ada setidaknya dua jenis limbah yang dihasilkan oleh industri antara lain yang berbentuk gas dan ada juga yang cair. Kedua-duanya tidak saja mencemari lingkungan, tetapi juga manusianya.
Seperti kita ketahui, kebanyakan industri di bangun di desa-desa atau bahkan di pinggiran-pinggiran kota, hal tersebut akan berakibat hilangnya sumber utama penghidupan warga desa yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Adapun yang tetap bertahan melakukan aktifitas biasanya, industri juga melahirkan dampak lain seperti berubahnya iklim tanah ketika limbah-limbah yang dihasilkan dibuang dengan tidak semestinya. Gagal panen adalah satu contoh yang bisa kita ambil untuk mendeskripsikan iklim tanah tersebut benar-benar berubah. Selama ini, transisi sektor besik dari bertani menjadi buruh yang selalu dinegosiasikan dengan rakyat tidak enteng seperti kedengarannya. Karena bagaimanapun, industri selalu butuh orang-orang yang menurutnya lebih terampil untuk dipekerjakan dibandingankan menyerap tenaga kerja dari tempat bermukim warga yang dekat dengan pabrik. Alhasil, kemiskinan kian menghantui rakyat dengan tidak henti-hentinya.
Selain kerusakan ekologis dan melahirkan bencana, dalam perspektif sosial industri kerap membawa konflik yang melibatkan sipil dengan tentara sebagai kaki tangan koorporasi yang berujung pada kekerasan dan intimidasi. Untuk menemukan fakra itu, amat mudah sekali kita temukan atau kadangkala ada di sekeliling kita
Tidak cukup sampai disitu, Industri juga memiliki andil besar terhadap Kekeringan dan kualitas air yang memburuk serta kesehatan masyarakat yang menurun karena kualitas udara yang tidak lagi baik. Rata-rata umur manusia khususnya di Indonesia katakan 65 tahun, seiring udara yang tercemar oleh limbah yang terus menerus kita hirup hampir disetiap harinya tanpa pengamanan apapun, umur kita akan menyusut oleh faktor ini.
Dari sudut pandang ini kita bisa berkesimpulan bahwa 'bencana lahir dari akumulasi pencemaran darat dan udara yang dikapitalisasi'.
Penyumbang bencana selanjutnya selain dari industri pabrik ada pula yang datang dari pengerukan bumi (Tambang). Seperti yang dibicarakan dalam diskusi, bicara tambang berarti bicara Imperialisme. Jika demikian yang terjadi, Negara akan tekuk lutut dan sepenuh-penuhnya menjadi pengabdi sejati para pemodal. Keberpihakan inilah yang kemudian menjadi bencana sosial yang tidak kalah naifnya. Naif, selain rakyat dipertentangkan dengan aparat dalam proses pembebasan, juga dipaksa harus menonton tanah tempat tinggalnya habis dikeruk alat alat raksasa. Seiring berlangsungnya tambang, Lubang-lubang raksasa yang ditinggalkan begitu saja kerap menjadi malapetaka bagi warga sekitaran industri.
Dalam posisi demikian, negara memiliki peran penting atas kerusakan yang dilakukan oleh koorporasi. Karena dari izin lah sebetulnya aktifitas perusakan itu dilakukan. Mengapa demikian?
Izin selalu berkelindan dengan urusan politik. Setan-setan desa atau kapitalis birokrat inilah yang sering banyak mengeruk keuntungan dari berbagai kerusakan yang merugikan rakyat banyak. Sebagai bangsa yang menginginkan modernisasi, tentu saja industri tidak sepenuh-penuhnya ditolak, asalkan tidak mengorbankan rakyat dengan segala dampak yang diterimanya.