Kelas dan Kontrak Belajar; Sebuah Penghisapan Mahasiswa di Ruang Belajar
Doc: Karikatur Penindasan di ruang Kelas |
Siapapun yang pernah kuliah mungkin tidak asing dalam lingkungan akademik dengan istilah Kontrak Belajar. Lazimnya, Kontrak Belajar ini dimulai saat mahasiswa yang baru atau mahasiswa yang beranjak pada semester lanjutan akan memulai belajar mengajarnya di kelas. Biasanya dosen pertama kali masuk akan menawarkan bakal seperti apa proses belajar mengajar dikelas berlangsung. Tentu saja itu untuk dosen-dosen yang punya sikap demokratis. Beda halnya dengan dosen-dosen yang otoriter yang membuat tata aturan kelas dengan sekarepnya sendiri, ia akan memaksakan setiap kehendaknya yang sama sekali tidak pernah diharapkan oleh para mahasiswa.
Namun sebelum jauh membahas dua problem penting tersebut saya akan merasionalisasi untuk dua sikap yang kerap kita temui di ruang kelas tersebut dengan memaparkan posisi masing masing pihak.
Alasan yang paling fundamental kenapa pendidikan di Indonesia tidak pernah maju adalah karena sistem feodalisme di lingkungan kampus masih begitu amat mencokol. Dari sistem itulah kemudian ada strata kelas yang disesuaikan berdasarkan umur dan kapasitas berfikir seseorang. Dosen dengan mahasiswa tentu saja berbeda jika kita mengacu pada tesis diatas. Padahal antar keduanya dalam dunia pendidikan seharusnya tidak bisa dijadikan landasan argumentatif yang logis. Faktor umur, tentu saja sebagai bangsa yang mengenal tata krama dan adab memghormati orang yang lebih tua adalah sebuah keniscayaan. Sikap yang harus kita tunjukan kepada orang yang lebih tua salah satunya tidak menyamakannya dengan orang yang seumur dengan kita, terutama dalam berkata, bergaul dan berprilaku. Namun bagaimana dengan kapasitas berfikir?
Kita menyadari betul luasnya ilmu pengetahuan. Dan dalam urusan ini, faktor umur akan batal jika dijadikan landasan argumentatif ditengah setiap orang, __dalam posisi ini sebagai mahasiswa misalnya__ kesehariannya selalu ada dalam lingkungan pengetahuan seperti misalnya berfikir, banyak membaca, berdiskusi dan lain lain, dibandingkan dengan orang yang umurnya lebih tua dari kita __katakan dalam posisi ini dosen__ yang hanya berkutat pada teori-teori lama yang mungkin saja sudah usang ditelan zaman atau mungkin hanya bertahan dalam teori yang dijadikan landasan berfikir untuk menopang ideologi yang diyakininya saja.
Untuk seorang mahasiswa yang hidupnya selalu dilingkupi dunia pengetahuan, dalam memaparkan argumentasinya di depan dosen tentu saja tidak akan berpaling dari prinsip tata krama dan adab. Saya meyakini itu sepenuh-penuhnya. Namun kadangkala ini akan dijadikan dalih sebagai tindakan yang kurang senonoh dan kurang beradab hanya karena posisi argumentasi tersebut melampau pengetahuan dosen, dan tentu saja untuk menutupi rasa malunya. Saya sendiri sering menjumpai keadaan demimian di ruang kampus atau di kelas sekolah.
Posisi dosen dan Posisi Mahasiswa
Dosen adalah tenaga pengajar. Sebagaimana pemerintah, sebagaimana buruh, karena ia telah mengeluarkan tenaga, tentu saja harus dibayar. Siapa yang membayar? Tentu saja mahasiswa dalam posisi sekolah sebagai peserta didik. Ada pendidik ada peserta didik. Pendidik tidak akan pernah ada jika tidak ada peserta didik. Kita mungkin mengenal pembagian kerja antar kerja fisik dan kerja otak. Hal ini penting untuk diungkap, karena dari pemisahan kerja tersebut ada perbedaan krusial yang nantinya akan mempengaruhi setiap proses yang akan dilalui. Tidak seperti para pemberi kerja upahan, dalam posisi kampus, mahasiswa ternyata ada dalam kondisi serba penekanan dan menjadi objek dari setiap aturan yang dibuat oleh kampus juga dosen. Singkatnya, mahasiswa menjadi objek penghisapan di kampus padahal ia adalah orang yang memberikan upah dari setiap kerja yang dilakukan oleh para dosen.
Dalam posisi ini seharusnya mahasiswa sepenuh-penuhnya memiliki peran sentral dalam dunia pendidikan dan memiliki kebebasan penuh untuk menuangkan setiap gagasan dan mengembangkan pengetahuannya tanpa harus dikungkung dengan budaya-budaya palsu untuk mempertahankan legitimasi penghisapan dari dosen. Namun sejarah berkata lain, feodalisme tetaplah menjadi alat yang terus menerus digunakan untuk tindakan tersebut kendati ada sebagian dosen yang lain tetap membuka ruang demoktatis kepada para mahasiswanya. Dalam hal berkontrak belajar, dosen yang demokratis membuka ruang secara luas kepada mahasiswa untuk menuangkan keinginannya selama mengikuti proses belajar mengajar satu semester dengan tidak keluar dari prinsip prinsip akademis.
Zaman memang telah berubah. Tidak selamanya kolonialisme menjadi satu sistem yang dipertahankan di era modern ini. Namun demikian praktik-praktik itu masih terjadi di dunia pendidikan. Saya tidak tahu sistem belajar seperti apa era H.O.S. Cokro aminoto bersekolah. Tetapi untuk semua orang yang sudah melihat tayangan filmnya yang telah diedarkan di berbagai media, dengan berani Cokro bersikap membantah setiap argumen sang guru yang dianggapnya tidak berkesesuaian. Pun dengan film Soe Hok Gie yang juga melakukan hal serupa ketika gurunya memberi keterangan salah mengenai sejarah. Apa yang kita lihat dari mereka yang kritis, bisa saja nilai pelajaran mereka tidak karuan karena telah membantah keterangan teoritis gurunya. Namun kadangkala sejarah juga bijak, hingga sekarang, ketimbang mengenal dosen atau gurunya, kita lebih mengenal sosok seorang Soe dan Cokro yang hidupnya tidak pernah terpaut dengan budaya feodalisme di lingkungan sekolah.
Kontrak belajar merupakan titik terpenting dan paling pertama untuk menguji demokratis atau tidaknya sebuah proses belajar mengajar di kelas. Jika ruang itu tidak pernah terbuka, belajar di kelas tidak akan pernah pencapai esensi yang luhur. Kita hanya akan terpicu untuk terus mengejar nilai yang esensi nua sama sekali tidak ada, kecuali hanya untuk dipamerkan kepada kawan sebayanya bahwa nilai yang telah keluar terus menerus lebih baik. Untuk pengetahuan yang diinjeksikan oleh dosen, entahlah, atau bahkan tidak menjadi pengetahuan sama sekali.
Keren bung terus semangat demi generasi yg cemerlang