Esensi Bismillah, Hingga Misi Pembebasan Manusia Ala Syeh Siti Jenar
Resensi buku Suluk Sang Pembaharu Perjalanan dan Ajaran Syeh Siti Jenar (Buku ke empat) |
Perlakuan kesewenang-wenangan Negara atas rakyatnya sejak dulu hingga sekarang masih menjadi peristiwa yang terus menerus ada. Kaula alite, sebagai kelas yang paling bawah dalam struktur ekonomi dan bahkan politik selalu menjadi objek penindasan para Abangan.
Sejak
pertama kali Manusia diciptakan oleh Tuhan, mahluq ini adalah yang paling agung
dan mulia diantara mahluq-mahluq yang lain. Perintah Tuhan kepada para malaikat
untuk bersujud kepada Adam, bukan tanpa landasan apapun. Dibalik jasadnya yang tercipta
dari tanah yang liat, tersembunyi ruh sifat Ilahiyah yang ditiupkan oleh Tuhan
saat penciptaan manusia pertama ini. Itu mengapa, malaikat yang selalu
mengagungkan dan menyucikan Tuhan diperintah untuk sujud kepada Adam. Adapun iblis
yang membangkang bersujud, dimurka dan terusir dari Sorga karena tidak
menyadari unsur dalam diri manusia tersebut.
“Jika di dunia ini kalian menemukan
ajaran, aturan, pandangan dan tindakan dari orang seorang yang mengingkari
keagungan dan kemuliaan manusia maka itulah cerminan dari sifat Iblis yang
terkutuk. Jika kalian mendapati ada ajaran yang menista manusia sebagai mahluq
rendah yang tubuhnya terbuat dari daging yang bakal membusuk dan karenanya
harus direndahkan maka itulah manusia Iblis. Pendek kata, apapun yang terkait
dengan penghinaan dan penistaan atas hakikat manusia adalah bertentangan dengan
ajaranku”’. Kata-kata ini terlontar dari mulut Datuk Syeh
Siti Jenar saat memberikan Khotbah Pembaharuan setelah usai memimpin sembah
hyang isya, kepada warga Padukuhan Lemah Abang yang memadati halaman Tajug Agung. Kisah ini diambil dari buku karangan Agus Sunyoto: Suluk Sang Pembaharu Perjalanan dan Ajaran Syeh Siti Jenar (Buku ke empat).pdf
Selain
diberikan kesempurnaan yang lebih dibanding dengan mahluq yang lain, manusia
juga merupakan wakil Tuhan di muka bumi ini. Untuk alasan itu, Siti Jenar
memberi wejangan kepada murid-muridnya untuk yang pertama-tama hendaknya selalu
menyatakan ikrar bismillah (dengan
atas nama Allah) dalam setiap gerak kehidupan yang dijalaninya. Perintah ini
cukup mendasar. Setelah manusia dengan segala aktifitasnya yang akan dimulai
dengan selalu menyatakan ikrar bismillah
seperti makan, minum, mandi bersolek, perpakaian, berjalan, menaiki kendaraan,
dan berbagai aktifitas yang lain kita akan ingat terhaap esensi kita hidup di
muka bumi ini, yaitu sebagai wakil Tuhan.
Sementara
itu, dengan melengkapi ucapan bismillah
menjadi bismillahirrahmanirrahimi, manusia
akan selalu ingat dan menyadari bahwa kita hidup di muka bumi ini mewakili
sifat-sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu.
Baca Juga Artikel Terkait:
Dengan
berbekal kesadaran itu, tatkala kita menaiki kendaraan misalnya, karena
menyadari dirinya mewakili sifat-sifat Tuhan di muka bumi maka ia tidak akan
ugal-ugalan dalam berkendara. Sebaliknya, ia harus menjadi pengasih dan
penyayang di jalanan dengan cara tidak menabrak lampu merah, membantu orang
lain yang memerlukan bantuan dan lain-lain.
Misi Pembaharuan
Sikap
teguh Syeh siti Jenar dalam mengajarkan pembaharuan dan pembebasan tatanan
sosial politik masyarakat masa silam adalah contoh kecil dari sekian banyak
manusia yang lain yang juga memiliki sifat yang sama dengan dirinya, seperti
Musa, Nabi Muhammad, Karl Max, Mahatma Ghandi dan banyak lagi tokoh-tokoh yang
lainnya. Betapa besar perhatiannya kepada sesama manusia, tidak bisa dipungkiri
bahwa sikapnya tersebut didasari atas budaya Jawa masa silam yang kental dengan
Feodalisme yang memuakkan. Sebagai manusia yang hidup ditengah-tengah kubangan
Feodalisme yang kental tersebut, misi pembaharuan yang ia injeksikan kepada kaula alite tentu saja kontroversial dan
mengkhawatirkan kedudukan para kaum Abangan. Wajar belaka jika keberadaannya
ditengah-tengah kehidupan yang seperti itu Syeh Siti Jenar banyak dibenci dan
dimusuhi banyak pihak yang kepentingannya mulai terusik.
Karakter
pembebasan yang ada dalam jiwa Syeh Siti Jenar bukanlah karakter yang miskin
proses. Sejak kecil aktifitas kesehariannya selain ditempa di Padepokan Giri
Amparan Jati, Ia juga banyak ditempa oleh keadaan-keadaan sosial yang ada disekitarnya.
Keadaan sosial yang kerap ia temukan secara langsung adalah langkah awal Suluk-nya
dalam mencari arti sebuah kebenaran sejati. Siti Jenar kecil dalam
kesehariannya selalu menyengajakan diri untuk keliling Desa-desa, masuk hutan
keluar hutan, menyambangi orang-orang lemah di Padukuhan, Pasar, berbagai
tempat keramaian dan lain-lain dimana aktifitas manusia terlihat secara real,
dan hasil dari perjalanan tersebut menjadi perenungan yang amat mendalam bagi
Syeh Siti Jenar. Tatkala ada yang janggal, Ia balik ke Padepokan dan
mendiskusikan realita sosial tersebut bersama sang Gurunya, Syah Datuk Kahfi.
Dari
diskusi-diskusi yang dilakukan itu, tak jarang Syeh Siti Jenar merasa tidak
puas dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan oleh gurunya itu. Seperti misalnya
“apa betul Sorga itu hanya untuk orang-orang yang hidup di padepokan dan taat
menjalankan syariat agama saja” seperti yang disampaikan guru-gurunya di
Padepokan. Sementara penjudi, pemabuk, penzina dan yang lainnya akan menempati
Nerakanya Allah. Jika demikian, piker Syeh Siti Jenar kecil, berati ini hanya
soal posisi dan ruang waktu yang hanya di balik. Dunia ini Sorganya orang-orang
yang tidak beriman, sementara bagi mereka yang beriman, dunia ini adalah
Neraka. Pertanyaan ini adalah sebagian kecil dari sekian pertanyaannya yang
terus muncul saban kali Dia menemui berbagai hal dalam kehidupannya
Penghisapan yang Masih Ada
Kontruksi
ajaran Siti Jenar tersebut dirasa cukup relefan dengan tatanan sosial politik
maupun ekonomi dimasa sekarang. Meski budaya Feodalisme tidak lebih kental
seperti dahulu kala yang menjarah sendi-sendi berbagai kehidupan masyarakat,
penghisapan diantara sesama manusia acapkali terjadi di dalam tatanan politik
ekonomi kita.
Perlakuan
kesewenang-wenangan Negara atas rakyatnya sejak dulu hingga sekarang masih
menjadi peristiwa yang terus menerus ada. Kaula
alite, sebagai kelas yang paling bawah dalam struktur ekonomi dan bahkan
politik selalu menjadi objek penindasan para Abangan.
Itu
artinya, perlakuan-perlakuan itu adalah perlakuan Iblis yang amat dimurka Tuhan
karena tidak mengagungkan mahluq ciptaannya yang sempurna itu.
Orang-orang
yang mengemban misi pembebasan seperti Siti Jenar, memang bukanlah pekerjaan
yang mudah. Bahkan dalam berbagai literature yang kita temukan, dia harus mati
dengan segudang kemartirannya memperjuangkan pembebasan manusia dari
perbudakan.