Menguatkan Posisi Rakyat dalam Gerakan Melawan Oligarky

Menguatkan Posisi Rakyat dalam Gerakan Melawan Oligarky

penulis : Faisz Chalifah
Editor  : Syamsul Ma'arief
Kemarin mengkritik, sekarang tiba-tiba tuli tatkala rakyat menjerit meminta keadilan” menjadi hal yang biasa-biasa saja di Indonesia. Bahkan, arah juang partai borjuasi itu dalam hitungan detik bisa saja berubah. Sangat naif.

 
PEMILU serentak 2019 lalu telah berlangsung secara sukses. Meski ketegangan diantara elite politik selesai di meja makan dengan tema masak-masak nasi goreng, Ormas, sebagian kecil partai dan mayoritas sipil bertahan dalam posisinya untuk terus mengkritik dan melawan. Apalagi ormas yang sedari awal terlibat aktif dalam sirkulasi elite borjuasi ini, semakin unjuk gigi dan acapkali melontarkan kritik-kritik pedasnya.

Bergabungnya oposisi dengan koalisi pemenang pemilu semakin menunjukan kepada rakyat bahwa pemilu borjuasi ini bukan merupakan solusi untuk menyelesaikan problematika rakyat dan malah sangat pragmatis dan oportunistik.

Hal seperti demikian tentu saja sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Terbukti, setelah persekongkolan oligarky terbangun dan mencuat ke permukaan, sejumlah kebijakan anti rakyat mulai di buat. Imbasnya, rakyat dimana-mana mulai menjerit dan semakin menunjukkan eksistensinya berbondong-bondong memadati jalan-jalan, pusat kota dan halaman-halaman kampus.

Mengapa hal itu terjadi?

Sistem demokrasi Barat yang kini sudah semakin rapuh betul-betul menjadi sistem yang nyaris tidak laku lagi ditengah-tengah rakyat. Chek and Balances dimana antar lembaga institusi Negara bisa saling mengontrol hanya hanya menjadi teoritik yang kian membasi di ruang-ruang semu. Sekarang, bagaimana mungkin (Legislatif) Parlemen bisa secara berani mengkritik keras kebijakan eksekutif ditengah koalisi kerap terjadi dalam partai politik. Dengan begitu, ditengah partai yang mengatas namakan diri sebagai oposisi –dengan karakternya yang oportunis tersebut—nihil adanya, apalagi sekarang di Negara kita hampir semua partai yang awalnya menjadi oposisi malah membelot ikut hadir di meja istana untuk mendapatkan japukan kedudukan.

“Kemarin mengkritik, sekarang tiba-tiba tuli tatkala rakyat menjerit meminta keadilan” menjadi hal yang biasa-biasa saja di Indonesia. Bahkan, arah juang partai borjuasi itu dalam hitungan detik bisa saja berubah. Sangat naif.

Dengan keadaan yang seperti itu, posisi gerakan sipil dan gerakan rakyat menduduki tempat yang sangat strategis untuj melakukan perlawanan-perlawanan ekstraparlementer. Jika tidak, kejahatan dan eksploitasi terhadap rakyat alite akan semakin tidak terkendali. Jika pemerintah sudah tidak lagi membawa kemakmuran dan kesejahteraan untuk rakyatnya, lantas untuk apa ada Demokrasi, untuk apa pula ada Negara.

Kejatan-kejahatan dan perlakuan busuk elite Oligarky itu sekarang sudah tercium dan bahkan terasa di tengah-tengah rakyat. Baru-baru ini misalnya, untuk melegitimasi kejahatan pemetintah, mereka bersama sekutu se partainya dan parlemen yang pada dasarnya represantasi partai-partai politik tersebut, menciptakan regulasi yang sangat tidak relefan dengan posisi rakyat sekarang/ atau tidak memiliki landasan sosiologis sama sekali yakni: Omnibus Law.

Landasan formalnya Cipta Lapangan Kerja, isi substansinya untuk menciptakan PHK besar-besaran, menghapus kepentingan normatif pekerja, mengurangi pesangon, merugikan petani, lacur akademis, merusak ekologi dan lain-lain. Itu kenapa banyak pemerhati bilang Ruu ini merupakan produk rugulasi Cilaka. Dan parlemen, sebagai institusi yang merepresentasikan suara suara kelas tertindas diam seribu bahasa, malah yang lebih naif ada di dalam persekongkolan itu. Itu kenapa saya bilang di atas bahwa parlemen adalah representasi partai politiknya masing-masing. Representasi rakyat hanya sebatas slogan formal yang miskin esensi, semua orang sudah tahu akan hal itu.   
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url