RUU Ketahanan Keluarga Mesti Ditolak. Ini Beberapa Alasannya
Aksi Perempuan dalam Menuntut Hak dan Kesetaraan |
TAHUN 2019 belum lama ini telah berlalu dengan segala problematikanya yang tidak pernah selesai, khususnya dalam membawa rakyat setidaknya menuju pada kehidupan yang lebih baik. Masih melekat dalam ingatan kita secara dalam bagaimana penguasa menjerumuskan rakyatnya pada jurang kemiskinan yang lebih parah. Tidak ada yang memberi pertolongan atas semua ini, kecuali rakyat bersama-sama kaum intelegensia memperjuangkannya sendiri. Parlemen, sebagaimana biasanya, bermuka dua saat rakyat menghadapi kesulitan itu. Setidaknya upaya penguasa menjerumuskan rakyat menuju jurang kemiskinan itu dengan mengupayakan sebuah regulasi yang akan menghalangi cara-cara busuk mereka memiskinkan rakyat secara kolektif dengan merevisi sejumlah aturan.
Nahas penciuman rakyat masih tajam. Mereka berbondong-bondong memadati pusat keramaian, pusat perkotaan, berhari-hari bahkan harus mati oleh alat kekerasan Negara menuntut keadilan menerikan #REFORMASIDIKORUPSI. Negara secara nyata enteng tangan membunuh rakyatnya sendiri.
Meski begitu tampaknya penguasa bersikukuh melanjutkan niatnya itu meski diperingatkan dengan berbagai cara. Yang tidak kalah kontroversialnya dari isu-isu lain yang sedang kontroversial kini mengenai Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU Ketahanan Keluarga) yang saya rasa tidak relevan dan terdapat beberapa pasal yang bahkan bertentangan dengan UU yang lain.
Setidaknya ada beberapa catatan yang akan saya kemukakan mengenai RUU Ketahanan keluarga ini.
Pertama, di dalam Pasal 25 ayat 3 Tentang Kewajiban Istri misalnya, Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga serta memperlakukan Suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak Suami dan anak sesuai dengan Norma Agama, Etika Sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan diatas Perempuan/Istri harus menjadi Ibu rumah tangga sepenuh-penuhnya. Pemisahan kerja rumah tangga ini agaknya memang memperjelas kedudukan masing-masing pihak yang sudah terikat, namun seperti apa solusinya dengan wanita karir. Jika sudah ada pembagian kerja seperti demikian, kita seperti kembali pada fase Feodal yang pada akhirnya perempuan dianggap sebagai manusa yang tidak setara dengan laki-laki. Padahal ketentuan tentang kedudukan masing masing orang dalam sebuah rumah tangga sebelumnya telah diatur didalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat 1, Hak dan kedudukan seorang Istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan seorang Suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Dalam urusan yang privat seperti demikian agaknya memang Negara tidak perlu banyak ikut campur. Untuk mencapai ketahanan dan kemakmuran keluarga sepenuh-penuhnya diserahkan pada masing-masing orang yang di lakukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak dalam mewujudkan ketahanan keluarga tersebut. Kewajiban istri harus mengurus rumah tangga adalah sebuah produk patriarkis yang sama sekali tidak relevan untuk diterapkan di era sekarang.
Kedua, mengenai aktivitas seksual. Ditengah berbagai macam problem yang lebih mendesak seperti urusan sosial, Pendidikan, Kesehatan, hak asasi manusia dan yang lain lain untuk diselesaikan oleh Negara, malah lebih banyak mencampuri aktivitas seksual pasangan yang di lakukan secara konsensua. Negara sama sekali tidak wajib masuk ke kamar tidur warga negaranya selama dalam kamar tidur tersebut terdapat kesepakatan kedua belah pihak/ atau konsensus bersama.
Ketiga, tentang pemisahan kamar anak. Kamar anak harus terpisah karena khawatir inses. *Inses adalah hubungan seks diantara kedua lawan jenis yang memiliki hubungan darah/ atau sanak keluarga dekat. Memang ini menjadi isu yg perlu kita angkat secara serius, namun penyelesaiannya tidak melalui cara pemisahan kamar anak. Perilaku Inses sebagian besar tidak dilatar belakangi karena kamar yang disatukan.
Perilaku Inses terjadi karena merupakan kelalaian Negara mengenyampingkan pendidikan seksul. Jika negara terus menerus mengenyampingkan pendidikan seksual ini maka Inses bisa saja terus menerus terjadi.
Jika negara ingin meminimalisir penyimpangan seksual harusnya Negara terfokus pada hal-hal yang lebih mengarah pada pengedukasian mengenai ini dibanding harus ikut campur dalam urusan yang semestinya tidak perlu ada peran Negara (ranah privasi).
Negara memang perlu menjaga moral warga Negara namun begitu menyeramkan jika negara masuk pada wilayah privat warga negaranya. Jika negara masuk kedalam semua sektor kehidupan warga negara akan tidak berarti lagi sebab Hak suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Padahal Indonesia memiliki institusi seperti NGO, LSM, lembaga keagamaan dan lain-lain yang dapat memiliki peran mengedukasi secara baik. Dengan sikap denagar yang demikian, jangan sampai warga negara justru menjadi lebih buruk dalam urusan dalam privatenya.
Sebagai warga negara yang sadar serta sehat secara logika kita harus mengawal setiap rancangan Undang-undang yang memiliki potensi untuk diselewengkan, seperti RUU Ketahanan Keluarga ini. Sepatutnya Negara lebih memiliki persepsi dan focus yang luas dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang lebih fundamental di dalam masyarakat secara luas. Negara harus melindungi warga negara dan bukan mengatur ranah private warga negaranya seperti termaktub dalam UUD 1945 pasal 28 A, “Setiap orang berhak untuk mempertahankan hidupnya, juga berhak untuk serta dalam kehidupannya sendiri”.
Penulis : Nurhayati