COVID-19, Krisis Bagi Kapitalisme dan Kemakmuran Bagi Petani

Panen padi
Petani sedang memanen padi ditengah pandemi Covid-19 yang melanda berbagai belahan Dunia termasuk Indonesia.

Akhir-akhir ini Dunia sedang dilanda bencana dengan adanya Coronavirus disease 19, singkatan dari COVID-19. Sontak, perekononian diporak porandakan akibat wabah ini, sejumlah perusahan-perusahan besar tutup dan proses produksinya terhenti untuk mengantisipasi penyebaran virus yang lebih luas. Meski begitu, penyebarannya terlambat diantisipasi oleh berbagai Negara termasuk di Indonesia sendiri akibat lebih mengedepankan arogansinya dibanding harus siap siaga mempersiapkan berbagai kemungkinan. Seperti yang dicatat Kompas, hingga Minggu 12/04 sore, Pemerintah mengungkapkan total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 4.241 kasus dengan rincian sebagai berikut:

Untuk pasien yang sudah dinyatakan sembuh per Minggu 12/04 pukul 12.00 WIB, mencapai 359 pasien dengan penambahan 73 orang sampai Senin, 13/04. Itu artinya jumlah total keseluruhan pasien yang dinyatakan sembuh mencapai 432 pasien. Pemerintah, melalui juru bicaranya untuk penanganan virus Corona, Achmad Yurianto juga menyampaikan kabar duka untuk yang meninggal akibat wabah ini dengan penambahan 46 pasien. Dengan begitu, jumlah keseluruhan yang meninggal akibat Covid-19  mencapai 373. Sangat mengkhawatirkan.

Untuk di Indonesia sendiri nampaknya sampai kedepan jumlah korban masih akan terus berjatuhan karena penyebarannya yang begitu cepat. Sekarang ini Covid-19 telah menyebar ke 34 Provinsi di Indonesia yang itu artinya Virus teleh merebak ke seluruh wilayah.

Dengan keadaan yang terus memburuk seperti sekarang tentu saja hal ini akan berdampak parah terhadap perekonomian Negara karena terhentinya berbagai sektor usaha baik formal maupun yang informal. Hingga sekarang ini sejumlah tempat yang mengundang banyak orang untuk berkumpul seperti Mall, Pasar, Pusat keagamaan, Sekolah, Kampus telah tutup. Kalaupun masih ada yang nekat untuk melakukan aktifitas seperti biasa dengan berjualan atau  Gojek untuk tetap bertahan hidup nampaknya tidak akan banyak merubah apapun kecuali hanya kekecewaan dan kerugian yang terus turun drastis, karena virus ini juga telah mengundang pemerentah untuk mengambil tindakan untuk menghimbau masyarakat luas yang tergolong konsumtif untuk tetap berdiam diri di rumah karena dirundung ketakutan. Terakhir, himbauan ini telah menimbulkan kontroversi dan kontradiktif ditengah masyarakat.

Selain menghimbau untuk tetap berdiam diri di rumah dan menghindari kerumunan malah pemerintah sendiri mengundang orang untuk berkerumun.

Lepas dari kontradiksi dan kontroversi itu, memang sekarang ekonomi di dunia dan negara-negara lain diambang kehancuranya. Setidaknya analisa ini telah banyak dibicarakan oleh para ekononom, pengamat dan bahkan para politisi sendiri. Kapitalisme akan hancur. Yah, akan hancur. Jika demikian yang akan terjadi, bagaimana dengan nasib Indonesia kedepan? Seberapa kuat Indonesia akan bertahan dalam situasi seperti ini? Apa pengganjal sementara untuk mengobati krisis akibat pandemi Corona ini? Mari kita bahas pertanyaan tersebut secara seksama.

Indonesia merupakan lahan agraris dengan segala kesuburan yang terkandung di dalamnya. "Apa sih yang ga tumbuh kalo pepohonan di tanam diatas bumi Indonesia, rumput dan umbi-umbian saja meski ditanam diatas batu yang tertanam di bumi Indonesia akan tumbuh", begitulah kira-kira orang sering bilang untuk memuji kesuburan alam Indonesia. Tidak ada nuansa kebohongan dalam perkataan itu. Di Desa kami, dimana rumput dan pepohonan tumbuh di lahan-lahan basah, kami tidak pernah heran jika batu-batu besar banyak ditumbuhi oleh rerumputan dan pepohonan.

Dengan kesuburan yang begitu hebat, kita boleh bertepuk dada, bersujud ke bumi sebagai bentuk sujud syukur kita terhadap karunia Tuhan yang besar itu, tetapi kita tidak bisa berlarut-larut sampai disitu, ada hembusan angin yang menghantarkan kabar buruk kepada kita bahwa ternyata kesuburan bumi itu kini sudah menyusut jumlah keluasannya akibat terus menerus dikeruk demi kepentingan korporasi-korporasi besar yang sama sekali tidak menguntungkan untuk kita.

Per 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa luas lahan baku sawah -- lahan produktif untuk menanam pepadian-- terus menyusut dan menurun. Catatan itu sebagaimana diutarakan, luas lahan kita hanya tinggal 7,1 Juta hektare, menurun jauh dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang masih mencapai 7,75 juta hektare.

Itu belum ditambah dengan sejumlah wacana baru dari pemerintah tentang dibukanya berbagai investasi secara besar-besaran yang tengah diwacanakan lewat kebijakan yang ditolak mentah-mentah oleh masyarakat, yaitu RUU Sapu Jagat/ atau Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja atau dirubah Cipta Kerja. Belum ditambah dengan wacana pemindahan Ibu Kota baru di Kalimantan dan sejumlah wacana lain yang berdampak pada tergerusnya lahan-lahan produktif yang bisa diberdayakan dengan tanpa merusak lingkungan.

Untuk kabar ini kita khususnya untuk orang yang bergelut diseputaran sawah dan ladang patut waspada dan jaga-jaga. Dibalik kesuburan alam yang luar biasa, ada binatang buas yang sewaktu-waktu akan mencaplok lahan kita dengan bengis dan malah turut dilegalisasi oleh Negara.  Kejadian nahas itu sudah lumrah di Negara kita dimana perampasan lahan kerap terjadi dengan sumbangsih Negara lewat alat kekerasannya yang represif. Nasib petani kini ditentukan oleh ujung bedil dan pelor.

Andaikata, andaikata pemerintah mau kembali pada arah bintang yang telah ditentukan oleh para pendiri bangsa, mau berdikari dibidang ekonomi, berdaulat dibidang politik dan berkepribadian dibidang kebudayaan, mungkin kondisi sekarang, --dimana pandemi sudah menjengkiti seluruh wilayah Indonesia-- kita akan bisa menghadapi masa-masa krisis seperti ini, ketahanan pangan kita akan kuat dan rakyat akan adil makmur.

Situasi ini memang belum menghancurkan semua sendi ketahanan pangan itu.  Bertepanan dengan krisis ini, dipenghujung tahun lalu petani sudah melakukan aktifitas seperti biasanya yaitu bercocok tanan (menanam padi). Ditengah orang serba dirundung ketakutan akibat bawah Corona dan dampaknya kedepan bagi sambung tali temali kehidupan mereka, petani berbondong-bondong pergi kesawah, berbondong-bondong pergi berkebun memetik hasil keringat yang diinvestasikan selama beberapa bulan. Yah, kini mereka sedang memanen padi ditengah para komprador-komprador itu resah memikirkan omzet dari usahanya yang terus menyusut.

Semakin luas lahan agraris untuk menopang ketahanan pangan Indonesia, kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan bergotong royong bahu membahu saling membantu. Tetapi tidak dengan lahan yang sempit, dimana sangat berpengaruh terhadap kuantitas yang dihasilkan. Seorang petani yang hanya memiliki sepetak tanah untuk ditanami padi, hanya cukup untuk kebutuhannya sendiri sampai beberapa bulan kedepan, tanpa bisa membantu dengan banyak kepada saudara-saudara sebangsa mereka dalam situasi paceklik seperti ini.

Beda halnya jika luas lahan itu terus diberdakan dengan cara produksi yang sama, setiap petani bisa membantu tetangga-tetangga mereka yang terpaksa harus pulang kampung akibat terusir oleh kapitalisme yang kini diambang kehancurannya.

Betapa besar puja puji para petani dalam keadaan sekarang, walaupun hanya cukup untuk menjaga ketahanan pangan dengan waktu yang tidak begitu banyak, mungkin mereka akan bilang " setidaknya kami tidak merepotkan Negara, setidaknya kami tidak mengejar pemerintah yang membagi-bagikan sembako di jalanan".

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url