NS LELAKI DI TENGAH HUJAN: MEMBACA SIASAT PELAWAN MASA AKHIR REZIM ORDE BARU
Foto: Radjimo S. Widodo (Diambil dari kanal media sosialnya) |
MEMBACA SIASAT PELAWAN MASA AKHIR REZIM ORDE BARU
Radjmo S. Wijono
Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) Cabang Banten
Menolak Patah: “Betul, perjuangan tidak boleh berhenti sampai di sini. Kaki telah melangkah ke medan juang. Pantang surut ke belakang. Tak bisa tanggung-tanggung....” (NS LdTH: 317).
Awalan:
Saya dan acara ini
Sekira medio tahun lalu, ada reuni aktivis yang saya hadiri. Banyak hal yang dibicarakan, dan bagi saya acara seperti ini adalah mengingat kembali apa yang telah dilakukan dahulu, dan bisa menjadi bahan kontemplasi, untuk dijadikan rujukan langkah ke depan. Dan hari ini, saya kira tak jauh beda dengan reuni yang pernah saya hadiri tersebut: membicarakan masalalu, mengkritiki masalalu, dan apa yang bisa diperbuat dari masalalu.
Suatu kehormatan bagi saya diajak terlibat di acara yang dalam bahasa saya, “upaya penyadaran sejarah” ini. Saya menyanggupi tawaran dari panitia bukan karena saya didatangi dua kali oleh panita, tapi karena ini merupakan upaya cerdas untuk mengupayakan masyarakat sadar arti akan penting masa lalu, masa lalu perjalanan bangsanya. Apalagi, saat ini penyakit besar terkait sejarah sudah akut terjangkit di masyarakat: amnesia (tidak ingat sejarah) dan ahistoris (tidak mengaitkan sejarah dalam peristiwa kini). Jadi, bagi saya yang sejarawan, kedatangan dan hadir di ini tak ubahnya melakukan kewajiban. Seperti kaum muslimin yang saat ini menjalankan ibadah shoum di bulan ramadhan ini. Selamat menjalankan puasa bagi yang melakoninya, dan yang tidak melakoni selamat menikmati suasana ramadhan.
Saya mengapresiasi upaya panitia. Begini, sudah saya sebutkan tadi saya tidak hanya sekali, tetapi dua kali panitia mendatangi di rumah saya. Kedatangan pertama, tanggal 27 April 2019. Setelah hujan reda di Banten Selatan, dua mahasiswa meluncur ke rumah saya, dan sesampai di rumah saya mereka disambut hujan tak kalah lebatnya dengan hujan sepagi tadi. Setelah menyambutnya, saya ‘membiarkan’ mereka menikmati teras halaman rumah saya di tengah hujan. Maaf, tidak ada kopi hari itu, dua kawan panitia.
Kedatangan kedua, tanggal 17 Mei 2019. Saat akan menutup alat kerja ketik saya, tanda nada WA dari hp saya bergetar. Biasanya, di atas jam 22.00 saya mengabaikan pesan-pesan yang masuk, tapi malam itu, jam 23.00 lewat saya penasaran menanggapinya. Saya buka aplikasi WA, dan isi pesannya yang sopan meminta kesediaan singgah di rumah saya. Saya mempersilahkan untuk datang ke rumah. Sembari menunggu, saya buka lagi alat kerja saya. Sekira jam 23.30an, datang serombongan panitia. Awalnya, saya duga akan membicarakan hal-hal lain, dan setelah pembicaraan pembuka, rupanya pembicaraan penting malam tersebut adalah tawaran menjadi salah satu pembahas bedah buku yang beberapa waktu lalu juga ditawarkan. Bila di kunjungan pertama saya menolak karena akan pergi ke luar kota, pada kunjungan ke dua ini saya menyanggupi. Saya pikir, keseriusan panitia harus saya respons dengan serius pula.
Kesempatan baik ini, saya akan membahas dua hal saja pada acara mulia ini. Pertama, novel sejarah sebagai karya sejarah. Kedua, isi buku Lelaki di Tengah Hujan. Pada bahasan kedua mestinya saya bisa menghadirkan bandingan bukti sejarah. namun sayang, keterbatasan waktu menjadikan bukti-bukti bahwa yang ditulis dalam buku ini dasarnya adalah fakta-fakta yang telah terjadi belum bisa saya hadirkan.
Tentang buku ini: Kebasahan?
Saya menyetujui salah satu endorsment di buku ini:
"Wenry menghadirkan kembali fragmen sejarah Gerakan Mahasiswa 1990-an dengan detail yang berada di antara fiksi dan fakta. Kita diajak masuk ke duia gerakan pro-demokrasi yang penuh risiko, dan orang-orang muda yang memilih melawan rezim diktator itu untuk Indonesia yang lebih baik."
Kesetujuan saya terhadap kalimat di atas mengharuskan saya menjelaskan apa yang dimaksud dengan detail berada di antara fiksi dan fakta. Sudah diketahui bersama, sebuah karya dapat dikategorikan menjadi dua: fiksi dan non-fiksi. Namun, klasifikasi karya ini bukan tidak mungkin dipadu-padankan, seperti karya yang akan kita bahas ini. Pada judul buku ini kita dapat ketahui bahwa ini merupakan sebuah karya yang mencampurkan antara fiksi dan nonfiksi, dengan penyebutan novel-sejarah.
Pada novel, yang dianggab sebagai karya fiksi/sastra, bila kita kaji lebih dalam pun juga terdapat klasifikasi. Misalnya terkait telaah sastra, yang oleh Ariel Hariyanto (1988) dengan melihat sejarah sastra di Indonesia dibagi menjadi empat: sastra yang diresmikan, sastra yang terlarang, sastra yang diremehkan, dan sastra yang dipisahkan. Lantas, novel ini termasuk bagian mana, bila menurut pengklasifikasian Ariel Hariyanto?
Saya tak akan menjawab tanyaan yang saya buat sendiri, pun membahas lebih lanjut tentang telaah karya ini dengan pendektan teori-teori sastra. Saya akan mencoba membahas karya ini sesuai bidang saya, sejarah.
Secara umum, novel sejarah dapat diartikan sebagai persitiwa sejarah sebagai sumber inspirasi berkarya (Damono 1989:1-2). Pendekatan dalam ilmu sastra lain, Stephen Greenblatt (1982) menawarkan kajian baru dalam renaisans, dengan memfokuskan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik (Budianta 2006:3). Sastra ikut membangun mengartikulasikan dan memproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya (greenblaat dalam Budianta 200:4). Dengan demikian, sejarah dan sastra terdapat kaitan intertekstual (fiksi dan nonfiksi).
Secara tradisional, sejarah dulu ditampilkan dalam karya sastra. Misalnya, babad, hikayat, dsb. Sejarah saling terkait dalam sastra bukan produk baru. Saya ingat sebuah Konferensi Sejarah Nasional X yang membicarakan fakta sejarah dalam sastra. Menurut Maman S. Mahayana, fakta-fakta sejarah dalam karya sastra dapat digunakan sebagai pintu masuk mengungkap peristiwa sejarah yang lebih luas dan mendalam sebab karya sastra merupakan alat legitimasi dan potret sosial di jamannya. IG. Krisnadi, dalam karya sastra-sejarah, dalam novel sejarah yang terpenting bukan hanya substansi sejarahnya, namun juga pemikiran sang penulisnya. Dalam novel bisa didapatkan fakta sejarah dengan penafsiran baru. Menurut Sartono Kartodirdjo, dengan karya sastra, masa lalu dihadirkan lebih hidup. Keadaan sosial dalam novel dikisahkan secara realistis, lebih mendekati kehidupan konkrit
Kisah sejarah dalam sastra pernah menjadi pembicaraan seru tahun 1972. Pemicunya, dua produser film akan produksi film tentang Untung Suropati. Seoerang produser dalam mengangkat cerita mendasari pasa sebuah tulisan karya sejarah Budiaman Cs. Produser satunya mengangkat dari novel Abdul Muis, Surapati. Terjadi sengketa. PPFI selanjutnya melaporkan pada lembaga sejarah dan antropologi depdikbud, dan lembaga pemerintah ini merekomdasikan skenario didasari pada naskah sejarah karya Budiaman CS. Tidak ada keputusan yang jelas dari lembaga, maka film ini pun urung diproduksi.
Yang tak kalah penting, dalam mengkaji novel sejarah adalah: siapa penulis, untuk apa ditulis, dan bagaimana ini ditulis. Dari kajian kritis ini, kita akan mengetahui dengan baik novel sejarah ini.
Tentang sejarah:
Karya sejarah sekarang terus berkembang, seiring ditemukannya sumber-sumber sejarah. Sebelum dianggap sebagai ilmu, sejarah berfungsi sebagai pencatat peristiwa masa lalu ataupun karya seni. Perkembangan ilmu sejarah tak lepas dari perkembangan ilmu-ilmu sosial lain. Menurut Sjamsudin (1996), ilmu sejarah berusaha mencari hukum-hukum yang mengendalikan manusia dan kehidupannya dan juga mencari penyebab timbulnya perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia. Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan dapt dijelaskan dan dibuktikan secara keilmuan (ilmiah)”. Untuk mencari keabsahannya tersebut muncul metode dalam sejarah.
Munculnya metode dalam sejarah inilah yang membuat sejarah mempunyai fungsi sebagai ilmu. Banyak ahli sejarah yang mendefinisikan sejarah sebagai ilmu, dari berbagai definisi tersebut, diantaranya yang telah diungkapkan oleh Shuderman (2012) yaitu: Sejarah sebagai ilmu adalah suatu susunan pengetahuan (a body of Knowledge) tentang peristiwa dan cerita yang terjadi di masyarakat manusia pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan metodis berdasarkan asas-asas, prosedur dan metode serta teknik ilmiah yang diakui oleh para pakar sejarah. Dengan demikian, definisi sejarah sebagai ilmu sesuai pernyataan dari Shuderman adalah pengetahuan tentang suatu kejadian masa lalu yang disusun secara berurutan dan metode berdasarkan asas, prosedur dan teknik ilmiah yang diakui oleh para sejarawan. Sejarah dikatakan sebagai ilmu karena memenuhi syarat umum: objek, tujuan, metodelogi dan sistematika. Sesuatu dikatakan memiliki objek, jika ilmu itu memiliki sasaran atau tujuan penelitian. Ilmu yang memiliki tujuan adalah ilmu yang mengantarkan kepada tujuan tertentu. Ilmu yang memiliki metodelogi adalah ilmu yang memiliki cara dalam mengembangkan materi-materi yang dibahas seperti pengalaman dan sebagainya. Sedangkan ilmu yang bersistematika adalah ilmu yang secara berurutan atau kronologis dalam membahas atau mempelajari sesuatu.
Sejarah dikatakan sebagai ilmu, karena bersifat empiris, memiliki objek, memiliki teori, generalisasi dan memiliki metode. Menurut Kuntowijoyo (2013:46), empiris berasal dari kata empeiria (bahasa Yunani) yang artinya pengalaman. Mengapa sejarah itu empiris? Sejarah berasal dari pengalaman yang masih tercatat oleh memori kita. Pengalaman yang tadi telah diamati dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan itulah yang diteliti keabsahannya oleh sejarawan untuk menentukan fakta. Fakta itu ditafsirkan secara berbeda-beda. Jika suatu ilmu alam memiliki objek yang pasti. Sedangkan sejarah menjadikan bukti sebagai objeknya. Letak perbedaan ilmu alam dan sejarah dilihat dari bagaimana mereka mangamati objeknya bukan dari cara kerjanya. Jika dalam ilmu alam mereka bisa mengulang-ulang percobaan tentang suatu hal. Akan tetapi, dalam sejarah hal itu tidak bisa dilakukan, karena sejarah itu hanya terjadi satu kali. Kejadian ini tidak bisa terjadi kembali dan diulang-ulang untuk diteliti. Hal ini yang menjadi sebab muncul pebedaan pendapat dari para sejarawan dalam mendiskripsikan suatu peristiwa. Karena kebenaran dalam sejarah hanya ada pada peristiwa itu semdiri.
Sekedar membedakan ilmu humaniora lainnya, sejarah mempelajari manusia yang dikejar oleh waktu. Jika lebih dikhususkan, objek penelitian sejarah memang manusia. Akan tetapi, waktu sangat berperan penting dalam proses pembelajaran sejarah. Kebanyakan sejarawan bingung bagaimana menentukan waktu pas terjadinya sejarah tersebut. Kebanyakan ilmuwan hanya mengira-ngira waktu terdekat sejarah itu terjadi. Karena informasi yang mereka dapatkan sangat minim dan peristiwa tersebut tidak bisa terulang kembali.
Generalisasi sejarah memiliki arti seperti yang diungkapkan Kuntowijoyo dalam bukunya pengantar ilmu sejarah. Kuntowijoyo (2013:48) Generalisasi, dari bahasa latin “generalis” yang berarti umum. Sama dengan ilmu lain sejarah juga menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Hanya saja perlu diingat kalau ilmu-ilmu lain bersifat nomotetis, sejarah itu pada dasarnya bersifat ideografis. Kalau sosiologi membicarakan masyarakat di pojok jalan atau antropologi membicarakan pluralisme amerika, mereka dituntut untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum yang berlaku dimana-mana dan dapat dianggap sebagai kebenaran umum. Generalisasi dalam hal sejarah mempunyai arti koreksi dari kesimpulan ilmu pengetahuan lain yang kurang akurat. Banyak kejadian atau ilmu yang belum mempunyai jawaban pasti, tetapi setelah bila terkait dengan sejarah akhirnya ditemukan jawaban.
Sejarah memiliki metode dalam penelitian. Seperti yang dipaparkan oleh Bailey (dalam Hamid & Majid 2011:41): Teknik penelitian atau alat yang dipergunakan untuk mengumpulakan data, sedangkan metodologi adalah falsafah tentang proses penelitaian yang di dalamnya mencakup asumsi-asumsi, nilai-nilai, standar atau kriteria yang digunakan utuk menafsirkan data dan mencari kesimpulan”. Jadi, dengan adanya metode yang digunakan dalam sejarah inilah akan mempermudah sejarawan untuk mengumpulkan data dari suatu peristiwa.
Sejarah merupakan salah satu disiplin ilmu tertua, dan secara formal diajarkan di universitas-universitas Eropa mulai dari Oxford University hingga Gottingen, pada abad ke-17 dan 18 (Gilbert 1977). Walaupun kemunculan ilmu sejarah baru terasa di abad 19, bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan sosial lainnya. Di mana perkembangan ilmu sejarah diwarnai oleh konflik persaingan di antara para tokohnya. Diilhami oleh oleh karya Leovold von Ranke (1795-1886), para sejarawan mulai meninggalkan paradigma sejarah klasik yang telah lama dipraktekkan oleh sebagian besar sejarawan sejak abad delapan belas. Mereka mulai memusatkan perhatian pada pemaparan narasi-narasi peristiwa politik yang terutama didasarkan pada dokumen-dokumen resmi (Burke 2000: 440). Namun jika ditelusuri lebih jauh lagi, embrio lahirnya ilmu sejarah bisa ditarik dalam sejarah historiografi Eropa, yang akan dilihat sebagai gejala terikat oleh waktu (time bound) dan terikat pula oleh kebudayaan (culture bound) pada zamannya, walaupun sejarah Mesir jauh lebih tua (4.000 S.M), namun karena orang Mesir tidak menulis ilmu sejarah, realitas tersebut tidak memperkuat pendapat Mesir sebagai pertama lahirnya ilmu sejarah. Tulisan-tulisan sejarah di Eropa, pertama kali muncul dalam bentuk puisi yaitu Homerus (Homer) yang karyanya Iliad dan Odyssey. Syair Iliad menceritakan tentang perang Yunani dengan Troya tahun 1200 SM. Sedangkan syair Odyssey tenceritakan tentang petualangan Odysseus setelah jatuhnya kota Troya. Sebenarnya karya ini lebih merupakan legenda dan mitos dari pada karya sejarah yang sesungguhnya. Penulis sejarah Yunani yang terkenal adalah Herodotus (198-117 SM), Thucydides (456-396 SM), dan Polybius (198-117). Heorodotus menulis karyanya yang berjudul History of the Persian Wars (Sejarah Perang-perang Persia, 500479 SM), ia melihatnya perang ini sebagai bentrokan antar dua peradaban yang berbeda yaitu Yunani dan Persia.
Penamaan disiplin ilmu muncul sepanjang abad 19. Seiring waktu, menjelang pecahnya Perang Dunia I, terjadilah konvergensi umum atau konsensus di sekitar sejumlah nama ilmu secara spesifik, sedangkan calon-calon lainnya cenderung digugurkan. Nama-nama untuk ilmu sosial yaitu: ilmu sejarah, ilmu ekonomi, sosiologi, ilmu politik, ilmu geografi psikologi (Wallerstein, 1997:22). Selanjutnya Wallerstein dalam Open The Sosial Science Report of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Science, mengemukakan bahwa yang pertama dari disiplin-disiplin ilmu sosial yang mencapai eksistensi institusional otonom adalah ilmu sejarah. Terdapat perbedaan pendapat: sebagian sejarawan menolak label ilmu sosial, dan sebagian menyetujuinya. Menurut Wallerstein, berbagai perbedaan pendapat dan perselisihan merupakan masalah internal di kalangan sejarawan sendiri maupun sejarawan dengan ilmuwan-ilmuwan sosial (Wallerstein 1997: 22).
Secara periodik, ilmu sejarah memang sudah berlangsung sejak lama, dan terminologi sejarah-pun sudah amat tua, khususnya sejak zaman Yunani kuno. Sebab mengenai catatan-catatan masa lalu, khususnya masa lalu tentang bangsanya sendiri, negaranya sendiri, memang merupakan suatu aktivitas yang sudah lazim dalam dunia pengetahuan; dan hagiografi (riwayat hidup dan legenda orang-orang yang dianggap suci) penulisannya senantiasa didorong oleh mereka yang berkuasa. Akan tetapi, yang membuat disiplin baru ilmu sejarah itu berbeda adalah sejak dikembangkannya pada penekanan wie es eigentlich gewesen (apa yang nyata-nyata terjadi) oleh Leopold von Ranke (1795-1886) pada abad 19 dengan karyanya A Critique of Modern Historical Writers. Walaupun sebenarnya munculnya aliran sejarah kritis ini tidak sendiri karena zaman sebelumnya terdapat sederetan sejarawan lainnya seperti: Jean Bodin (1530-1596) terkenal dengan karyanya Method for Easly Understanding History, Jean Mabillon (1632-1707) menulis De Re Diplomatica, Berthold Gerg Nibhr (1776-1831) yang menulis Roman History. Akan tetapi nama Ranke, lebih setahap lebih dikenal dibanding lainnya. Sebagai penumbuh historiografi kritis dan modern, Ranke menganjurkan supaya sejarawan menulis apa yang sebenarnya terjadi (wie es eigentlich gewesen), sebab setiap periode sejarah itu akan dipengaruhi oleh semangat zamannya (Zeitgeist). Atau lebih ekstrim lagi penulisan sejarah pada waktu itu kebanyakan dengan penciptaan kisah-kisah yang dibayangkan atau dilebih-lebihkan sehingga bersifat retoris, karena kisah-kisah semacam itu hanya menyanjung-nyanjung pembaca maupun melayani tujuan-tujuan yang mendesak bagi para penguasa ataupun kelompok-kelompok yang berkuasa lainnya (Wallerstein, 1997: 23).
Gagasan Ranke tidak dapat diterima para sejarawan lain. Carl Becker (18731945) mengatakan bahwa pemujaan terhadap fakta, dan pembedaan fakta antara fakta keras (hard fact) dan fakta lunak (cold fact) hanyalah illusi. Sebab fakta sejarah tidaklah seperti batu bata yang begitu mudah dan tinggal dipasang. Tetapi fakta itu sengaja dipilih oleh sejarawan yang relevan dengan kebutuhan penelitian. Selanjutnya demikian halnya dengan James Harvey Robinson (1863-1936) penulis The New History (1911) memberikan komentar yang serupa; dengan sejarah kritis kita hanya dapat menangkap “permukaan”, tetapi tidak yang “dibawah” realitas, tidak dapat memahami perilaku manusia (Kuntowijoyo, 1999: 56-57).
Di Inggris pandangan-pandangan ala Dilthey dan Croce terangkat kembali dengan munculnya R.G. Colingwood (1888-1943), seorang filsuf sejarah terkemuka. Terdapat sejumlah kecil pembelotan terhadap hegemoni narasi politik, namun sampai pada tahun 1950 usaha itu tidak bisa dikatakan berhasil. Para sejarawan Marxis belum banyak menghasilkan karya penting kecuali Jan Romein yang menulis The Lowlands by the Sea (1934) dan Emilio Sereni yang menulis Capitalism in the Countryside (1947). Hanya ada dua bidang yang jelas terlihat berubah, yakni: Pertama, para sejarawan ekonomi telah menjadi kelompok yang signifikan dalam profesi ini, dan mereka memiliki jurnal sendiri yang berpengaruh, seperti Economiic History Review, dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti Henri Pirenne dari Belgia (1862-1935), dan Eli Heckscher (1879-1952) dari Swedia. Perdebatan mereka sendiri acapkali lebih intensif dengan perdebatan ekonomi, daripada sejarawan. Kedua, di Prancis, pendekatan sejarah yang lebih umum, diilhami oleh Lucien Febre (1878-1956) dan Marc Bloch (1886-1944) dengan jurnal Annales, mulai menarik perhatian dan karya-karya besar mengenai dunia Mediterania pada kurun pemerintahan Raja Philip II telah terbit pada tahun 1949 oleh Fernand Braudel (1902-1985) yang amat orisinal dalam eksplorasinya terhadap hal-hal apa yang oleh para sejarawan disebut ‘geohistory’. Karya tersebut menjadi tonggak perkembangan geografi sejarah yang ide dasarnya dipengaruhi oleh karya Vidal de la Blache, namun lebih deterministik sifatnya (Burke, 2002: 441). Kelompok Annales di bawah kepemimpinan Braudel mendominasi dunia sejarah, baik secara intelektual maupun institusional. Di sinilah para sejarawan seperti Robinson, Becker, Landes, dan Tilly, yang mendesak perlunya The New History (Sejarah Baru), sebagai sikap terhadap pengaruh pesatnya perkembangan ilmu-ilmu sosial.
Pada era 1950-an merupakan titik balik historiografi. Sejarawan Marxis yang berpengaruh akhirnya muncul ke permukaan, terutama yang berada di luar blok Negara komunis (contohnya Eric Hobsbawn dan Edward Thomson di Inggris, Pierre Vilar di Prancis, dan lain-lain). Begitu juga di Prancis dengan munculnya kelompok Annalesnya. Di Amerika Serikat yang mulai gandrung pada ide-ide Sigmund Freud, para ahli sejarah dan psikoanalisis (yang perpaduannya membentuk psikohistori) mulai mencoba menyimak motif dan dorongan personal para pemimpin agama yang merangkap sebagai pemimpin politik seperti Martin Luther, Woodrow Wilson, Lenin, Gandhi. Presiden Asosiasi Sejarawan Amerika bahkan menghimbau para koleganya untuk menyambut psikohistori sebagai cabang baru dalam ilmu sejarah. Namun, himbauan tersebut tidak banyak disambut oleh sejarawan Amerika lainnya (Langer, 1958).
Dalam ilmu sejarah penolakan terhadap karya generasi sebelumnya itu dibarengi oleh munculnya pendekatan-pendekatan baru terhadap masa silam.
Menurut Burke ada empat pendekatan, yaitu: sejarah dari bawah, microstoria, Alltagsgeschichte, dan history de Immaginaire (Burke, 2000: 442). Pertama, sejarah dari bawah memiliki makna dasar bahwa sejarah tidak hanya menyoroti para tokoh besar, namun juga orang-orang kebanyakan di masa lalu. Penulisannya-pun tidak boleh terlalu diwarnai oleh wawasan tokoh besar, melainkan juga harus bertolak dari sudut pandang orang-orang kebanyakan. Ini merupakan perubahan paling penting dalam ilmu sejarah sepanjang abad dua puluh, yang memberi perimbangan atas kelemahan-kelemahan atas tradisi historigrafi elitis yang tidak memasukkan pengalaman, kebudayaan, dan aspirasiaspirasi kelompok bawah yang mendominasi (Guha, 1982). Pergeseran tersebut telah mendorong bangkitnya tradisi sejarah oral, sehingga memberikan kesempatan bagi orang-orang kebanyakan untuk mengutarakan pengalaman mereka mengenai proses sejarah dengan bahasa mereka sendiri. Akan tetapi, praktek sejarah dari bawah tersebut pada gilirannya menjadi terlalu disederhanakan dari pemikiran aslinya, terutama karena menajamnya perbedaan orientasi antara berbagai kelompok yang didominasi ⎯ kelas pekerja, para petani, rayat terjajah, dan wanita. Sekitar kurun waktu 1970an, gerakan untuk menciptakan ilmu sejarah khusus wanita mulai terlihat bentuknya, berkat kebangkitan studi-studi wanita dan feminisme. Hal ini melemahkan setiap asumsi tentang kesatuan kelas-kelas yang disubordinasikan (Burke, 2000: 442).
Kedua, ”microstoria” atau ”sejarah mikro”, yang bisa didefinisikan sebagai usaha mempelajari masa lalu pada level komunitas kecil, baik itu berupa sebuah desa, keluarga, atau bahkan individu. Pendekatan ini ditempatkan pada peta sejarah oleh Carlo Ginzburg dalam Cheese and Worms (1976), sebuah studi mengenai kosmos lingkungan Italia abad enam belas. Studi ini sebagai jawaban atas desakan Inquisisi, yang oleh Emmanuel le Roy Ladurie dalam Montaillou (1975), disusun berdasarkan catatan-catatan inquisisi yang digunakan untuk memotret pedesaan abad enam belas yang kemudian juga diperbandingkan dengan studi-studi komunitas seperti Akenfield karya Ronald Blythe. Kedua buku ini tidak saja menjadi bestseller, namun juga patut diteladani karena mengilhami sebuah mazhab atau paling tidak sebuah kecenderungan baru. Para ahli sejarah tradisional melihatnya sebagai semacam antikuarianisme dan pengingkaran terhadap kewajiban para sejarawan untuk menjelaskan bagaimana dunia modern ini terbentuk. Oleh karena itu, sejarah mikro dibela oleh salah seorang praktisi utamanya Giovani Levi (1991), yang menegaskan bahwa reduksi skala justru telah menyingkap fakta, betapa aturan-aturan politik dan sosial acapkali tidak berfungsi dan betapa individu-individu bisa menciptakan ruang untuk diri sendiri di tengah-tengah persilangan berbagai institusi yang ada.
Ketiga, Alltagsgeschichte atau ‘sejarah keseharian’, yang merupakan pendekata yang berkembang atau paling tidak pernah hangat didefinisikan di Jerman. Pendekatan ini menarik garis tradisi filsafat dan sosiologis yang antara lain terlihat pada karya Alfred Schutz (1899-1959) dan Erving Goffman (1922-1982) Henri Lefebre dan Michel de Certeau (1925-1986). Seperti halnya sejarah mikro, yang memang tumpang-tindih dengannya, sejarah keseharian ini menjadi penting karena bisa menembus pengalaman manusia dan membawanya ke sejarah sosial, yang dipandang oleh sebagian praktisinya semakin abstrak dan tanpa wajah. Pendekatan ini dikritik sebab perhatiannya pada apa yang disebut para pengritiknya sebagai hal-hal yang remeh, serta mengabaikan politik.
Keempat, historie del’immaginaire atau ”sejarah mentalitet” yang bisa didefinisikan sebagai versi sehari-hari dari sejarah intelektual atau sejarah ide-ide. Dalam kalimat lain, ini adalah sejarah kebiasaan berfikir atau asumsi-asumsi yang tak terucapkan, dan sering tertutup oleh gagasan-gagasan verbal yang dirumuskan secara sadar oleh para filsuf dan teoretisi. Pendekatan ini berawal di Prancis pada kurun 1920-an dan 1930-an, muncul sebagai kebangkitan kembali. Akan tetapi, apa yang bangkit kembali itu tidaklah serupa dengan apa yang dahulu ada. Para sejarawan yang bekerja di bidang ini lebih berminat untuk menyimak representasi-representasi atau aspek-aspek visual dan mental dari suatu peristiwa. Begitu juga pada apa yang disebut oleh pengikut Jaques Lacan dan Michel Foucault sebagai unsur immaginary. Pergeseran memunculkan apa yang acapkali disebut sebagai titik berat baru terhadap pembentukan, penyusunan, dan ‘produksi sosial’, bukan hanya dalam bentuk-bentuk kebudayaan ⎯ misalnya penemuan–penemuan tradisi ⎯ melainkan juga sosok negara dan dan masyarakat, yang acapkali dipandang bukan sebagai struktur obyektif atau baku, melainkan sebagai ‘komunitas-komunitas bayangan’ (Anderson, 1991; Hobsbawm dan Ranger, 1983). Dengan kalimat lain, seperti rekan-rekannya dalam subdisiplin lain, para sejarawan mengalami efek-efek ‘pembalikan linguistik’ (Burke, 2000: 443).
Dengan munculnya pendekatan-pendekatan tersebut, para peminat ilmu sejarah dapat menyaksikan dua kebangkitan kembali unsur lama dalam ilmu sejarah, yakni kebangkitan kembali politik dan kebangkitan kembali narasi. Nampaknya, kondisi keilmuan pada tahun 1980-an dan 1990-an mendukung hal itu. Sekarang ini sejarah politik-pun berkembang lagi, bahkan dengan mencakup hal-hal baru termasuk apa yang oleh Michel Foucault desebut “mikropolitik”. Strategi dan taktik politik yang dibahas bukan hanya yang berskala negara, namun juga dalam komunitas yang lebih kecil, seperti desa ataupun kampung. Perkembangan ilmu sejarah yang diuraikan di atas tak bisa dilepaskan dari kontroversi, dan kontroversi bisa meliputi berbagai aspek. Tak jarang, dari kontroversi yang lahir di jaman melahirkan pandangan-pandangan baru dalam ilmu sejarah. Salah satu yang menentukan adanya kontroversi karya sejarah adalah keberadaan sumber sejarah, dan sepertinya tidak ada sejarawan manapun yang menganggap enteng keberadaan sumber sejarah ini.
Kebasahan: Campuran Fiksi dalam Nonfiksi atau Nonfiksi dalam Fiksi
Apakah karya ini bisa dipisah, karya sastra berbentuk novel atau sejarah (historiografi)? Saya kira karya ini tak bisa dipolarisasikan ke dalam sebuah kutub, karena menurut saya karya ini merupakan fiksi dalam nonfiksi atau pun nonfiksi dalam fiksi.
Sebagai sejarawan, saya dapat menguji fakta dalam novel ini melalui metodologis dengan membuktikan dengan sumber-sumber sejarahnya. Dan prosesnya bisa melalui forensik kritik sumber-sumber sejarah yang digunakan dalam buku ini. Tentu ini akan memakan waktu yang tak singkat. Namun dalam waktu singkat, saya dapat menguji bahwa peristiwa sejarah yang ditulis dalam karya ini benar-benar terjadi atau imajinasi penulis melalui beberapa cara.
Pertama, karena peristiwa sejarah yang diangkat juga sebagian saya hadapi maka tak sulit saya mengkonfirmasi kebenaran faktual peristiwanya. Misalnya, catatan aksi yang dilakukan oleh Bujang Parewa dan kawan-kawan dalam buku ini, sebagiannya pun saya ikuti.
Kedua, mengkonfirmasi kepada pelaku peristiwa yang juga terlibat. Untuk ini, berikut saya kutipkan respons dari dua pelaku pelaku peristiwa yang ditulis dalam buku ini.
Baru kelar baca buku ini : Lelaki di tengah Hujan. Seperti tertera di buku ini, bahwa ini adalah genre novel sejarah, novel ini banyak menceritakan tentang narasi gerakan mahasiswa awal 1990an, hingga periode sejarah masa-masa gerakan reformasi tahun 98.
Membaca seluruh halaman buku ini, jiwa ini berasa melayang-layang terseret ke masa lalu. Saat kemudaan dan energi begitu melimpah, harapan begitu menggelegak, terkadang penderitaan dan rasa sakit-pun tak terasa.
Walau begitu, ada beberapa catatan kritis saya tentang narasi dalam cerita di buku ini.
Pertama, walau berbentuk novel, buku ini menggambarkan tentang narasi sejarah, bagaimana proses awal narasi pembentukan Gerakan Mahasiswa (GM) di periode awal tahun 90an, juga memaparkan alur narasi tentang proses pembentukan organisasi pelopor GM kiri di akhir masa kekuasaab Orde baru, yaitu SMID (Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi).
Bagaimana perjalanan proses konsolidasi dan terbentuknya jaringan antar kota, yang kemudian membentuk organisasi nasional SMID, hal tersebut lumayan tergambarkan dalam novel ini.
Menurut saya, babakan narasi cerita tentang GM 90an dan peran besar SMID sebagai organisasi pelopor penggulingan Soeharto, lumayan informatif utk kalangan pembaca yang mungkin tidak terlibat langsung, pada periode sejarah penting dan sangat menentukan di Indonesia, seperti yang di paparkan dalam cerita novel ini (dh L, lewat pesan pribadi pada penulis).
Catatan kritis saya, novel ini data-data dan narasinya sangat minim, saat membahas tentang medan pertempuran yang paling menentukan dalam penggulingan Soeharto, yaitu penggambaran basis-basis pengorganisiran massa di Jabotabek, juga beberapa konstelasi peristiwa-peristiwa penting politik di kota Jakarta, khususnya pada kurun waktu pasca 27 Juli 1996 sampai Jelang meletusnya Mei 1998.
Paparan alur narasi ceritanya terasa tampak minim data-data, banyak yang masih terasa bolong-bolong, dan buat saya terasa compang-camping.
Banyak peristiwa penting pasca 27 Juli 96 di seputaran Jakarta, yang dilakukan oleh kolektif gerakan bawah tanah di Jabotabek terasa kosong dalam narasinya.
Padahal gambaran pra kondisi itu menurut saya cukup penting dipaparkan, sebagai momen-momen konsolidasi awal pasca crack down 27 Juli, dan sekaligus pemicu kunci akumulasi ledakan jelang peristiwa besar Mei 98 yang lolos dari paparan sang tokoh.
Seperti misalnya peristiwa rangkaian Aksi masa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta pusat dan PN Surabaya (aksi advokasi bebaskan Tapol/Napol), pengorganisiran dan aksi massa ke Polres Jakarta Selatan (Advokasi 124 massa PDI yang di tangkap saat peristiwa 27 Juli), momentum aksi massa besar Mega Bintang Rakyat (MBR) yg melanda hampir seluruh wilayah Jakarta dan daerah-daerah penyangganya. Aksi-aksi tertutup Grafity Action (GA), dan distribusi selebaran-selebaran komite PRD bawah tanah, untuk semakin memanaskan eskalasi politik di titik-titik api jantung kota, yg diorganisir dan digerakan secara kolektif oleh gerakan bawah tanah.
Tentunya banyak orang punya peran-peran yang penting dimasa itu, dan tentu saja, sebuah kerja-kerja gerakan yang melibatkan orang banyak. Bagaimana narasi angkatan muda yang merasa resah dan pengab akan situasi sosial, terlibat langsung dalam sebuah era perjuangan yang penuh kekerasan, kekejaman dan terasa mencekam.
Komentar lainnya,
baru terima bukunya sore tadi, dan baru memulai baca hanya beberapa lembar awal.
ndilalah penulis dan tokoh utamanya ini saya kenal orangnya. setidaknya ada beberapa kisah yg saya dengar tentang Bujang Parewa selain meledaknya bom di rusun Tanah Tinggi (rencana penggulingan kediktatoran Soeharto pada waktu itu).
tetapi krn saya mengenal penulisnya dan juga tokoh buku ini secara nyata, saya yakin meskipun dikemas dalam fiksi, kedua kawan saya tsb bukan orang yg lebay apalagi memanipulasi sejarah (sp dalam status Facebook).
Akhiran: belajar sejarah itu wajib!
Kehadiran buku ini merupakan siasat. Menjelaskan masalalu dalam bentuk karya sastra. Sebagai sejarawan, saya tak bisa menilainya dari sisi kebenaran fakta apa yang terjadi pada isi buku ini secara menyeluruh. Selain butuh waktu, juga karya sastra bukanlah historiografi, karya sejarah. namun demikian, karya novel ini bisa dianggap sebagai karya sejarah, dengan kriteria tertentu. Tapi saya tak akan memaksa untuk dimasukan ke dalam sebuah kategorisasi, bila dipertentangkan, ini karya fiksi atau non fiksi.
Siasat yag diterapkan oleh Bujang Parewa, dkk, telah memberikan dampak yang besar terhadap perjalanan bangsa ini. Kontribusi gerakan mahasiswa era 1990an, yang merupakan kelanjutan gerakan mahasiswa sebelum-sebelummya, ikut menentukan arah bangsa ini selanjutnya: tumbangnya Orde Baru, dan memasukinya era demokrasi. Kalau mau menyebut lainnya, salah satunya adalah sistem kerja buruh di Indonesia kini.
Saya mengapresiasi karya ini. Bagi saya, karya novel sejarah sudah banyak, dan sudah banyak juga yang menjadi daya ubah karena pesan-pesannya. Salah satu novel sejarah yang punya pengaruh besar terhadap tatanan dunia ini adalah Multatuli.
Yang tidak ada dalam buku ini adalah selain kisah-kisah ringan dalam pergerakan mahasiswa 1990an. Hal ini menjadikan seolah-olah sosok-sosok dalam buku ini seperti menarasikan superhero. Padahal, dengan kisah-kisah ringan akan membawa sikap natural dan utuh dalam karya ini. Misalnya, pengakuan salah satu pelaku seperti di bawah ini:
Salah satu cerita yg sampai sekarang saya ingat dari penuturan Bujang Parewa kepada saya dan kalau ingat cerita itu membuat saya terpingkal2, yakni ketika Bujang Parewa menggadaikan ijasah SMAnya di Koperasi kampusnya utk urun mendanai aksi, dan kemudian hari koperasi tsb kena musibah kebakaran. hingga lenyaplah ijasah tsb. 😀😀😀
entah kisah itu ada atau tidak ditulis di buku ini. tapi yang pasti kalau menurut kata2 bijak, sejarah tidak bisa diulang, pun sebagai runutan kisah nyata, penulisan sejarah tidak bisa dilebih2kan atau dikurangi (sp dalam status FB).
Akhirnya, novel ini adalah yang pertama membahas tentang tema sejarah gerakan bawah tanah Partai Rakyat Demokratik (RPD) yang mungkin masih "tabu" dan belum diketahui orang banyak. Novel ini juga mungkin sebuah kerja-kerja awal, yang berusaha memotret sebuah episode perjuangan anak-anak muda PRD dimasa itu, beserta seluruh kader, anggota dan ribuan simpatisannya, jelang terjungkalnya salah satu diktator terkuat di Asia, pada masanya.
Buku ini memang perlu dijadikan bahan pengingat, pelajaran, bukan buku praktis bagaimana bersiasat menghadapi rezim.
Sepanjang perbincangan kelemahan-kelemahan gerakan mahasiswa yang mereka beber, sedikit banyak mereka memahami, apa pun itu, di balik kelemahan-kelemahannya, gerakan mahasiswa sebelum mereka telah memberikan sumbangan-sumbangan pelajaran untuk dilanjutkan. Sisi-sisi positifnya dapat diambil menuju gerakan kerakyatan (NS: LdTH 134).
Daftar Pustaka