ADS


Aroma dan Warna Raflesia

Gambar ilustrasi pixabay.com

Hari-hari berlalu seperti sebuah lagu yang terus menerus diputar dengan nada yang sama. Berlalu seperti daun kering yang jatuh kebawah tanah. Semuanya terasa monoton, tanpa ada warna-warna cerah yang memancar. 

Tapi, semuanya berubah ketika ia datang, seperti angin yang membawa aroma bunga dimusim semi. Sayangnya, tidak ada satupun manusia dimuka bumi ini yang menyukai aroma bunga raflesia, begitu pula denganku. Didekatnya aku merasa seperti sedang berada didekat bunga yang berbau busuk itu.  

Betul, ia membawa warna lain dihidupku, seperti senja yang memancarkan cahaya emas di ufuk barat. Warna yang membuatku melihat dunia dengan cara yang berbeda, seperti matahari yang terbit dipagi hari membawa harapan baru.

Tapi, apakah aku siap menerima warna baru ini? Apakah aku sanggup menghisap aroma bunga raflesia yang sama sekali tidak kusuka bahkan kuhindari? Apakah aku sanggup menelan rasa pahit yang menyertainya hanya untuk mendapat sedikit kehangatan didalam hati yang dingin ini?

Warna cerah yang ia bawa tidak seperti yang aku bayangkan. Warna cerah itu adalah warna darah yang terus mengalir, warna kekerasan yang tidak pernah berhenti. Bunga raflesia yang ia tanam dihatiku tidak seperti bunga yang indah dan harum. Bunga raflesia itu adalah bunga kekerasan yang berbau busuk dan membuatku merasa seperti sedang terjebak didalam sebuah mimpi buruk.

Kekerasan yang ia bawa seperti ombak yang terus menghantam pantai, seperti api yang terus membakar. Membuatku merasa seperti sedang terjebak didalam neraka.

Dalam matanya, aku melihat kekerasan yang tersembunyi dibalik sorotan mata yang hangat. Aku merasakan dalam rayuannya, kekerasan yang tersembunyi dibalik kalimat manisnya. Dan dalam sentuhannya, aku merasakan kekerasan dibalik kulit yang kasar. 

Aku merasa seperti sedang berada didalam sebuah permainan yang tidak aku pahami. Aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah keadaan yang tidak aku kendalikan. Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup untuk menerima kekerasan itu atau apakah aku akan hancur dibawah tekanan kekerasan itu. 

Aku merasakan kekerasan itu untuk pertama kalinya ketika ia marah karena aku tidak memenuhi keinginannya. Aku merasakan kekerasan itu ketika ia mengancamku dan membuatku merasa takut. Hingga hal-hal yang tak sanggup lagi kucurahkan dalam rangkain kata dan kalimat, sebab terlalu pelik. 

Suatu hari, ia meminta maaf atas kekerasan yang dilakukan dengan alasan ia tak mampu mengontrol dirinya sendiri. Dan itu dilakukan atas dasar ia mencintaiku dan tak ingin kehilangan. Tapi menurutku, tak ada alasan yang dibenarkan atas tindak kekerasan.

Aku merasa seperti sedang berada didalam mimpi buruk. Aku merasa seperti sedang berada didalam sebuah keadaan yang tidak aku kendalikan. Aku tidak bisa mengabaikan kekerasan yang ia bawa.

Aku selalu berbicara tentang anti kekerasan dan kesetaraan gender. Sekarang, malah terjebak dalam sebuah hubungan yang penuh dengan kekerasan. 

Aku merasa seperti sedang berada didalam perang yang tak berkesudahan. Perang antara prinsip, akal, dan moral. Aku tidak bisa mengabaikan nilai-nilai yang ku imani selama ini. 

Kekerasan terhadap perempuan adalah seperti bayangan yang mengikuti langkah-langkah kaki yang lembut, memadamkan cahaya yang terang dan mematikan bunga yang indah. Ia adalah seperti angin yang kencang dan dingin, yang merampas kehangatan dan kelembutan dari jiwa yang rapuh.

Kekerasan terhadap perempuan adalah seperti luka yang terbuka dan tidak pernah sembuh, yang terus mengeluarkan darah dan air mata. Ia adalah seperti racun yang mematikan, yang merusak keindahan dan kecantikan dari dalam ke luar.

Kekerasan terhadap perempuan adalah seperti malam yang gelap dan sunyi, yang tidak pernah terang dan tidak pernah berakhir. Ia adalah seperti jerat yang mengikat, yang tidak pernah terlepas dan tidak pernah membebaskan.

Aku merasa seperti seorang perempuan yang terjebak dalam labirin yang tidak ada jalan keluarnya. Negara yang seharusnya menjadi pelindungku, kini absen dalam menangani kekerasan terhadap perempuan. 

Selain itu, stigma masyarakat yang patriarkis membuatku merasa seperti seorang yang bersalah, seperti seorang yang harus disalahkan atas kekerasan yang menimpa diriku.

Aku memandang langit-langit kostan yang sunyi, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus-menerus menghantui pikiranku. Mengapa negara tidak melindungiku? Mengapa stigma masyarakat yang patriarkis masih begitu kuat?

Aku merasa seperti seorang yang terisolasi, seperti seorang yang tidak memiliki tempat untuk berlindung. Aku merasa seperti seorang yang harus berjuang sendirian, tanpa ada yang membantu.

Tapi, aku tidak akan menyerah dan senantiasa berjuang. Aku akan terus berharap bahwa suatu hari nanti, negara akan menjadi pelindung yang sebenarnya bagi perempuan-perempuan yang teraniaya.

Dan aku akan terus berharap bahwa suatu hari nanti, stigma masyarakat yang patriarkis akan hilang, dan perempuan akan dapat hidup dengan bebas dan setara.

Aku akan terus menjadi suara bagi perempuan-perempuan yang tidak memiliki suara. Aku akan terus menjadi harapan bagi perempuan-perempuan yang telah kehilangan harapan.

Sebab, kekerasan terhadap perempuan bukanlah hanya sekedar bayangan, angin atau luka. Ia adalah kenyataan yang harus dihadapi, yang harus diatasi, dan yang harus dihentikan.

Kita harus berjuang untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan, untuk membebaskan mereka dari jerat yang mengikat, untuk memberikan kehangatan dan kelembutan yang mereka butuhkan.

Selayaknya kita sudah harus menjadi cahaya yang menerangi kegelapan, menjadi bunga yang mekar di tengah badai, menjadi suara yang keras dan jelas, menjadi tangan yang menopang juga menguatkan serta menjadi api yang menyala dan membakar kekerasan, untuk menghentikan penderitaan perempuan yang tidak berkesudahan untuk membangun dunia yang lebih adil, lebih aman, dan lebih penuh cinta untuk semua

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url