Jual Beli Nilai di Kampus Swasta, Merosotnya Integritas Pendidikan dalam Era Liberalisasi
![]() |
Dokumentasi pixabay.com |
Di era neo liberalisme yang terjadi hari-hari ini praktek-praktek komersialisasi dalam dunia pendidikan seperti telah menjadi kewajaran yang semua orang dipaksa maklum. Tak hanya bagaimana cara orang bisa masuk dalam perguruan tinggi dengan biaya mahal , sekarang, komersialisasi pendidikan lebih jauh lagi dari itu, termasuk nilai dapat diperdagangkan di dalam kampus dengan sebebas-bebasnya.
Di salah satu kampus PTS di Banten, praktek semacam ini telah lama terjadi dan dilakukan secara terang-terangan. Di kampus ini, mahasiswa yang terlambat mengisi KRS tidak akan muncul namanya didalam absensi selama satu semester yang tentu saja itu berimplikasi pada nilai mata pelajaran. Lebih ironis dari itu, mahasiswa tidak dapat melakukan klaim sekalipun ada bukti pembayarannya.
Itu artinya, sekalipun ia membayar UKT, dianggap tidak mengikuti semester yang ia bayar ketika tidak/telat mengisi KRS, dan tentu saja nilai mata kuliah di semester itu semuanya akan kosong. Ketika memutuskan untuk tetap masuk kelas akan percuma dan sia-sia.
Fenomena yang lebih mencengangkan adalah adanya 'jual beli nilai' di mana mahasiswa yang terjebak dalam situasi tersebut diharuskan membeli nilai sebesar Rp85 ribu/SKS.
Anggaplah si A telah melakukan registrasi untuk semester sekarang, tetapi dia tidak/telat melakukan pengisian KRS. Maka dia akan dihitung sebagai mahasiswa yang tidak melakukan registrasi, yang itu berarti dia tidak terinput datanya di sistem penilaian. Maka selama satu semester itu semua nilai mata kuliah dia akan dikosongkan. Untuk dapat mengisinya, si A ini harus membeli nilai untuk satu SKS sebesar Rp85 ribu.
Kebijakan ini memicu kontroversi dan menimbulkan pertanyaan besar tentang prinsip dasar pendidikan, terutama dalam konteks kampus swasta yang seharusnya berfokus pada kualitas dan pengembangan potensi mahasiswa.
Faktanya, mahasiswa yang rajin mengikuti perkuliahan, bahkan dengan ketidakberdayaan administratif, tetap tidak akan mendapatkan nilai apabila mereka terlambat mengisi KRS. Sebagai akibatnya, mereka harus membeli nilai dengan harga yang bervariasi, tergantung fakultasnya.
Menurut beberapa pihak, seharusnya dosen memiliki mekanisme cadangan, di mana nilai yang telah diperoleh mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dapat langsung dimasukkan secara manual ke dalam sistem setelah mereka membayar kewajiban administratif atau mengisi KRS. Dengan cara ini, nilai tetap diberikan secara adil tanpa melibatkan aspek transaksi yang merusak integritas akademik.
Penulis: Arjun