ADS


Menggapai Cahaya di Penghujung Ramadhan

Gambar ilustrasi pixabay.com

Dimalam penghujung Ramadhan, aku duduk diatas bangku tua yang terletak didepan teras rumahku, menghadap ke arah Musholla  yang berdiri dengan tenang tepat dihadapanku.

Cahaya bulan purnama yang menyinari langit, membuat Musholla itu tampak seperti sebuah bangunan yang suci sekaligus menenangkan. Aku merasakan keheningan yang mendalam, detak jantungku berhenti untuk sesaat, dan semua yang ada disekitarku menjadi tenang dan damai. 

Cahaya itu bukanlah sekedar cahaya fisik, melainkan cahaya spiritual yang menerangi jiwa. Membuatku merasa lebih dekat dengan Tuhan. Hingga, dalam keheningan itu aku menemukan makna dan tujuan dalam hidupku.

Ditengah keheningan malam yang menyelimuti rumahku, aku mendengar perbincangan yang lembut dan hangat antara ibuku dengan keluarga besar kami yang duduk diruang tamu. 

Suara-suara mereka terdengar seperti melodi yang harmonis, mengisi kekosongan malam dengan kehangatan dan keakraban. Aku mendengar mereka berbicara tentang berbagai hal, mulai dari cerita sehari-hari hingga rencana masa depan.

Namun, tiba-tiba perbincangan mereka berubah menjadi topik yang lebih spesifik, yaitu tentang kapan kaka sepupu perempuanku akan menikah. 

"Neng, kapan nikah?" tanya salah satu keluargaku dengan nada yang santai namun penasaran. "Udah umur 27, kan? Pas lah perempuan nikah umur segitu" tambahnya.

Aku mendengar kaka sepupu perempuanku tersenyum dan menjawab dengan nada yang lembut, "Insya Allah, aku masih menunggu waktu yang tepat."

Perbincangan mereka tentang pernikahan membuatku teringat tentang bagaimana hidup ini penuh dengan harapan dan impian. Bagaimana setiap insan memiliki rencana dan tujuan masing-masing, dan bagaimana pernikahan menjadi momen penting dalam hidup yang dapat membawa kebahagiaan dan kepuasan.

Aku terus mendengarkan perbincangan mereka, merasakan kehangatan dan keakraban yang tercipta diantara mereka. 

Hingga aku menyadari bahwa hidup ini adalah tentang berbagi, tentang mencintai, dan tentang mendukung satu sama lain dalam perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan.

Namun dalam kesunyian malam, pikiranku dibanjiri oleh pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik. Apakah perempuan harus menikah pada usia tertentu? Mengapa harus ada stereotip yang membelenggu? Bagaimana bisa lepas dari jerat sosial yang tidak adil?

Aku terjebak dalam pemikiran tentang bagaimana masyarakat seringkali menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap perempuan, terutama dalam hal pernikahan. 

Bagaimana perempuan diharapkan untuk menikah pada usia yang "tepat" serta bagaimana mereka dianggap "terlambat" jika belum menikah pada usia tersebut. 

Aku merasa bahwa stereotip ini adalah sebuah belenggu yang tidak adil, yang tidak mempertimbangkan keinginan dan kebutuhan individu.

Aku juga teringat tentang bagaimana perempuan kerap kali dihadapkan pada tekanan sosial yang tidak perlu, yang membuat mereka merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri. 

Pertanyaan-pertanyaan seperti "Kapan kamu menikah?" atau "Kenapa kamu belum menikah?" terdengar seperti sebuah sindiran yang tajam, yang menusuk hati dan membuat perempuan merasa tidak berharga.

Aku terus memikirkan tentang pernikahan dan bagaimana seharusnya sebuah pernikahan yang ideal. Aku merasa bahwa pernikahan bukan hanya tentang ikatan hukum atau sosial, tetapi tentang ikatan cinta dan kepercayaan yang kuat antara dua insan. 

Aku berdiri dari tempat dudukku dan berjalan menuju jendela. Aku memandang ke luar, ke arah bulan yang tergantung di langit. Aku merasa bahwa aku telah menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Aku merasa bahwa aku telah menemukan arti sebenarnya dari pernikahan.

Aku merasa bahwa pernikahan adalah tentang cinta, kepercayaan, dan kesetiaan. Aku merasa bahwa pernikahan adalah tentang dua insan yang saling mencintai dan menghormati satu sama lain. Aku merasa bahwa pernikahan adalah tentang kebahagiaan, kesabaran, dan pengampunan.

Tapi aku juga menyadari bahwa pernikahan bukanlah sebuah keharusan, terutama bagi perempuan. Perempuan tidak harus menikah hanya karena dikejar umur atau karena tekanan sosial. Mereka memiliki hak untuk memilih jalan hidup mereka sendiri, dan untuk menentukan kapan dan dengan siapa mereka ingin menikah.

Dalam konteks ini, aku teringat pada teori psikologi sosial yang menjelaskan bahwa pernikahan adalah sebuah institusi yang dibentuk oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan akan cinta, keamanan serta pengakuan.

Namun, teori tersebut juga menjelaskan bahwa pernikahan tidak harus menjadi sebuah keharusan, dan bahwa setiap individu memiliki hak untuk memilih jalan hidup mereka sendiri.

Selain itu, aku juga teringat pada konsep feminisme yang menjelaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memilih jalan hidup mereka sendiri, termasuk dalam hal pernikahan.

Konsep tersebut juga menegaskan bahwa perempuan tidak harus menikah karena dikejar umur atau karena tekanan sosial.

Dan dalam kesadaran itu, aku merasa bahwa aku telah menggapai cahaya di ujung Ramadhan, cahaya yang menerangi jiwaku dan membawaku kepada kebenaran tentang cinta dan pernikahan.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url