ADS


Berpikir Rasional sebagai Jalan Merdeka: Logika Mistika Penghambat Kemajuan Bangsa, Resensi Madilog karya Tan Malaka (1943)

Buku Materialisme, Dialektika dan Logika (MADILOG) karya Tan Malaka. Sumber Foto: suarausu.or.id

Penulis hendak mengulas buah karya pemikiran tokoh revolusioner Indonesia, Ibrahim Datuk Sutan Malaka nama asli tersohor sebagai Tan Malaka, la lahir pada tanggal 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Gunung Omeh, Lima Puluh Kota saat itu dibawah kekuasaan Hindia Belanda sekarang Padang, Sumatra Barat, kemudian ia wafat 21 Februari 1949 (umur 51) dieksekusi mati oleh pasukan Batalyon Sikatan, Divisi Brawijava di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, la adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, pendiri Partai Murba, dan merupakan Pahlawan Nasional Indonesia karena terkenal dengan gagasan yang menjadi pegangan atau inspirasi bagi para tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia, diantaranya Bung Karno

Tulisan ini mencoba menggali ulang pemikiran Tan Malaka dalam karyanya Madilog, khususnya bab tentang “Logika Mistika”, sebagai satu disiplin hukum berpikir untuk kemajuan bangsa Indonesia. Ia memotret bagaimana pemahaman tentang dunia, penciptaan, dan kehidupan manusia yang selama ini dilandaskan pada kepercayaan roh dan kuasa para Dewa, sebenarnya tidak bisa berdiri sejajar dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan modern. Tan Malaka menentang model berpikir lama yang bersandar pada mistisisme, takhayul dan dogma spiritual yang mengabaikan hukum-hukum alam dan nalar ilmiah, seraya mengajukan suatu pendekatan baru berbasis materialisme, dialektika, dan logika (Madilog) sebagai fondasi kemajuan bangsa. Buku ini ia tulis setelah pulang dari pengasingan selama 20 tahun dibawah bayang-bayang polisi dan bising pesawat tempur Jepang.

Kiranya sebagai makhluk biasa yang tak luput dari kesalahan dan keterbatasan, dengan rendah hati penulis sajikan tulisan sederhana ini kepada pembaca untuk ditanggapi, dan diberikan saran serta kritik konstruktif demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Kritik Tan Malaka Terhadap Logika Rohani

Tan Malaka mengawali kritiknya terhadap logika mistika sebagai sebuah cara berpikir yang tidak berlandaskan pada realitas objektif melainkan mengandalkan pada kepercayaan metafisik. Dalam keyakinan mistik Ia memaparkan bahwa logika mistika bertumpu pada keyakinan bahwa roh (rohani) lebih dahulu ada dan menjadi penyebab utama segala sesuatu yang hadir di dunia ini. Menyinggung kepercayaan Mesir Kuno sebagai contoh, penciptaan dunia digambarkan terjadi begitu saja lewat kehendak roh agung, dalam hal ini sosok Dewa Rah sebagai entitas adikodrati yang mampu menciptakan alam semesta hanya dengan firman. Pandangan ini menurutnya bentuk logika yang tidak koheren dengan berpikir sehat (common sense), ia menyatakan bahwa “tak ada tak mungkin menimbulkan ada,” yang berarti bahwa tak mungkin sesuatu yang tidak nyata (tak berwujud) bisa menciptakan sesuatu yang nyata (berwujud). Klaim seperti ini adalah kontradiksi logis dan tidak dapat diterima dalam kerangka berpikir ilmiah. Pun dalam logika materialistis, hal ini merupakan kesalahan terhadap hukum kausalitas yang paling dasar.

Sejalan dengan gambaran diatas ia kemudian mengangkat pertanyaan filsafat klasik: mana yang lebih dulu antara sebab atau akibat, pertama atau kedua, zat atau roh? Dengan pendekatan yang materialistis, ia menegaskan bahwa zat, bukan roh, adalah dasar dari segala realitas. Sebab, dalam ilmu pasti, segala sesuatu harus memiliki bentuk dan energi untuk dapat dikatakan “ada”. Tanpa zat, tidak akan ada proses, tidak ada pertumbuhan, dan tidak ada hukum alam yang bisa diamati. Dalam ilmu fisika modern, benda atau zat dianggap sebagai elemen pertama yang dapat diamati, dan segala bentuk gejala yang lain merupakan akibat dari interaksi antara benda tersebut. Lain halnya dengan pandangan logika mistika bahwa roh lah yang pertama, zat lah yang kedua, dan bahwa zat ini berasal dari roh.

Tan Malaka menempatkan materialisme sebagai landasan utama bagi pengembangan pengetahuan yang objektif. Ia meyakini bahwa seluruh realitas berakar pada materi, bukan pada roh atau entitas metafisik. Dengan demikian, logika mistika dianggap sebagai bentuk pemikiran yang tidak hanya keliru, tetapi juga membahayakan bagi perkembangan rasionalitas dan ilmu pengetahuan.

Konfrontasi antara Ilmu Pasti dan Mistikisme

Perkembangan ilmu pengetahuan modern semakin mengusik fondasi logika mistika. Tan Malaka mengadopsi berapa teori ilmiah kontemporer untuk menyangkal kebenaran klaim-klaim mistik. Diantaranya hukum evolusi Darwin, hukum kekekalan energi dari James Prescott Joule, dan konsep benda-lebur (molten-mass) dari Immanuel Kant untuk menunjukkan bahwa alam semesta dan kehidupan tidak muncul secara mendadak dari kehendak gaib, melainkan melalui proses panjang yang bisa dijelaskan dengan hukum-hukum alam. Ia menyampaikan bahwa semua yang ada, termasuk manusia, terbentuk melalui perubahan materi yang berkesinambungan. Setelah mati, tubuh manusia kembali menjadi zat yang menyatu dengan tanah, pohon, dan air—berbeda jauh dengan pandangan mistik yang membayangkan roh manusia terbang ke langit.

Selain itu, pandangan ini secara fundamental bertentangan dengan kepercayaan mistik yang mengandalkan penciptaan dunia sebagai produk kehendak ilahi dalam waktu sekejap. Tan menilai, logika mistika telah gagal memberikan penjelasan rasional mengenai asal-usul alam semesta karena mengandalkan symbol-simbol kabur dan kata-kata kosong yang tak mampu diverifikasi.

Lebih lanjut ia memaparkan teori perpaduan atom dari John Dalton (1844), yang menyatakan bahwa segala benda berasal dari perpaduan unsur-unsur yang lebih kecil dan tunduk pada hukum fisis yang pasti. Hal ini menegaskan bahwa alam tidak dikendalikan oleh kekuatan gaib, melainkan oleh hukum alam yang dapat diobservasi dan dibuktikan secara konsisten.

Inilah momen ketika logika mistika ditantang secara keras oleh ilmu pengetahuan. Fakta-fakta empiris telah membantah keyakinan bahwa sesuatu yang tak kasatmata bisa menciptakan dunia secara instan tanpa proses material yang bisa diverifikasi dan dipertanggungjawabkan.

Rasionalitas Materialistik dan Kritik terhadap Idealisme Mistik

Tan Malaka menegaskan bahwa segala sesuatu dalam alam raya ini harus dapat dijelaskan berdasarkan hukum kebendaan, bukan berdasarkan kehendak roh atau kekuatan supranatural sebab itulah dia merumuskan Madilog, karena berdasarkan benda (matter). Ia menyatakan bahwa “roh” adalah kata kosong yang tidak bisa menimbulkan realitas material. Dalam pandangan materialistik, tak ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan, dan tidak ada “kata” yang dapat melahirkan “benda”.

Melalui pendekatan reduktio ad absurdum, Tan Malaka menunjukkan bahwa anggapan penciptaan oleh roh adalah omong kosong yang tidak memiliki dasar rasional. Ia menantang pandangan yang menyebut bahwa rohani adalah zat, sebab konsep rohani justru ditentukan oleh karakteristik non-material. Jika ia terikat oleh hukum zat, maka ia bukan lagi roh dalam pengertian idealistiknya.

Lebih lanjut, Tan Malaka menyajikan tiga kemungkinan hubungan antara Dewa Rah dan alam: (1) Dewa Rah lebih kuat dari alam; (2) Dewa Rah sama kuatnya dengan alam; (3) Dewa Rah lebih lemah dari alam. Ia membongkar ketiga opsi ini satu per satu dan menunjukkan ketidakrasionalannya. Dalam ketiganya, ia menunjukkan bahwa posisi Dewa Rah tidak konsisten secara logis dan empiris. Bahkan kemungkinan pertama ia patahkan dengan merujuk pada hukum Newton, yang tidak pernah dilanggar oleh gejala alam sejak ditemukan hingga sekarang. Semua pendekatan itu gagal memberikan jawaban yang konsisten terhadap keteraturan hukum alam yang tidak pernah gagal dalam eksperimen ilmiah.

Melalui pendekatan ini, Tan menyampaikan bahwa klaim mistik tidak memiliki ruang dalam paradigma ilmu pengetahuan. Jika roh atau kekuatan gaib tidak mampu mengintervensi hukum-hukum alam, maka tidak ada relevansi logis atau praktis untuk meyakini bahwa roh adalah asal mula segala yang ada.

Dialektika dan Oposisi Rasionalisme-Mistika

Selain materialisme, unsur dialektika dalam Madilog memegang peranan penting dalam menganalisis pertentangan antara rasionalitas dan mistika. Tan Malaka tidak hanya mengkritik logika mistika dari segi hasilnya yang tidak ilmiah, tetapi juga menyoroti bagaimana sistem berpikir mistik tidak memberi ruang bagi perubahan dan pertumbuhan. Mistisisme bersifat absolut, dogmatis, dan tidak terbuka terhadap koreksi, sementara ilmu pengetahuan berkembang melalui revisi, pengujian, dan pemfalsifikasian.

Ia menjelaskan bahwa jika suatu sistem berpikir tidak dapat dikoreksi atau diuji secara empiris, maka sistem itu tidak layak dijadikan dasar bagi kehidupan masyarakat yang ingin merdeka. Ia memosisikan rasionalitas sebagai jalan menuju kemerdekaan sejati—kemerdekaan dari dogma, penindasan batin, dan kebodohan struktural.

Meski menolak fondasi mistik, Tan Malaka tidak menafikan keberadaan para tokoh mistik besar seperti Gauthama Budha atau Mahatma Gandhi. Namun, ia mencatat bahwa bahkan tokoh-tokoh tersebut gagal menjelaskan atau mendefinisikan prinsip-prinsip metafisik dengan tegas. Ia menyebut bagaimana Budha menghindari menjawab pertanyaan metafisik tentang roh dan jiwa, dan bagaimana Gandhi menggunakan retorika yang berputar-putar dalam menjelaskan prinsip ahimsa. Melalui contoh ini, Tan Malaka menunjukkan bahwa bahkan dalam tradisi pemikiran Timur yang mendalam, mistisisme tidak pernah mampu memberikan jawaban rasional yang memadai terhadap persoalan-persoalan fundamental manusia.

Rasionalitas sebagai Jalan Merdeka

Dengan Madilog, Tan Malaka tidak sekadar memperkenalkan konsep berpikir ilmiah, tetapi sedang merumuskan jalan baru untuk bangsa yang hendak merdeka secara utuh—bukan hanya secara politik, tetapi juga dalam cara berpikir. Ia menunjukkan bahwa berpikir kritis dan rasional adalah syarat utama untuk sebuah kemerdekaan sejati. Maka, melalui kritiknya terhadap logika mistika, Tan Malaka sebenarnya tengah membangun fondasi bagi masa depan bangsa yang tercerahkan. Dalam Madilog, ia menulis bukan hanya sebagai seorang pemikir, tetapi sebagai seorang pejuang yang ingin melihat bangsanya berdiri di atas kaki sendiri — bukan hanya secara politik, tetapi juga secara intelektual.

Rasionalitas memungkinkan manusia mempertanyakan status quo, memverifikasi kebenaran, dan membangun sistem sosial yang adil berdasarkan hukum alam dan nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, berpikir rasional bukan semata-mata aktivitas intelektual, melainkan bentuk perjuangan menuju kemerdekaan berpikir, berpolitik, dan berbudaya.

Berpikir rasional bukan berarti kehilangan rasa, apalagi menjadi kering dari nilai. Justru, melalui rasionalitas, manusia bisa lebih adil, bijak, dan terbuka dalam menghadapi kompleksitas kehidupan. Tan Malaka percaya bahwa bangsa yang berpikir logis dan ilmiah akan lebih siap menghadapi tantangan zaman. Kita mungkin telah merdeka secara politik, tetapi apakah kita benar-benar merdeka dalam berpikir? Jika jawaban kita masih ragu, mungkin sudah saatnya kita kembali membuka Madilog, dan menghidupkan semangat Tan Malaka dalam membangun bangsa yang tidak hanya merdeka — tetapi juga cerdas dan berani berpikir. Sudah lebih dari tujuh dekade sejak Madilog ditulis, tetapi pesan Tan Malaka tetap relevan. Di tengah pesatnya kemajuan teknologi digital dibanjiri informasi yang musti dicek kebenarannya, teori-teori konspirasi serta hoaks, ajakan untuk berpikir rasional kembali menjadi mendesak.

Melalui dekonstruksi logika mistika, Tan Malaka telah membuka jalan bagi paradigma berpikir baru yang berbasis pada rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Dengan mengintegrasikan pemikiran ilmiah modern ke dalam kerangka Madilog, ia tidak hanya merombak cara berpikir lama, tetapi juga membangun fondasi baru bagi emansipasi intelektual. Rasionalitas bagi Tan Malaka bukan hanya metode berpikir, tetapi merupakan jalan menuju kemerdekaan yang sejati.


Pengulas: Ahmad Mufakhir (Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang Serang)
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url