Hukum sebagai Alat Penindasan: Studi Kasus Penangkapan Brutal di Cibetus Padarincang
Suasana mimbar bebas masyarakat Cibetus, Padarincang dan aliansi mahasiswa didepan PN Serang/dokumentasi pribadi |
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul dicakrawala, namun semangat itu sudah sepenuhnya membara seperti api yang tak pernah padam.
Kami berangkat menuju Pengadilan Negeri Serang, membawa harapan dan tekad yang tak tergoyahkan untuk menyaksikan sidang pra peradilan yang menentukan nasib sembilan warga Kampung Cibetus.
Setibanya di PN Serang, kami disambut dengan suasana yang sunyi dan tenang, seperti kuburan keadilan yang telah lama mati.
Namun, keheningan itu segera pecah seperti gempa bumi yang mengguncang fondasi kekuasaan, ketika majelis hakim membacakan putusan yang mengejutkan: sidang pra-peradilan digugurkan.
Kami dan masyarakat yang menyaksikan sidang itu merasa kecewa dan marah, seperti api yang membara di dada, membakar semangat kami untuk terus berjuang melawan ketidakadilan.
Istri dan anak-anak korban, dengan mata yang merah seperti bara api karena tangisan yang tak henti-hentinya, berkumpul di depan kantor PN Serang.
Mereka melakukan istighosah, berdoa dan memohon keadilan dari Tuhan Yang Maha Esa dengan suara yang lirih namun menyayat hati, seperti nyanyian malaikat yang memohon ampunan untuk dosa-dosa sistem yang korup.
"Suami saya sudah 46 hari di Polda sampai sekarang belum ada surat pemanggilannya. Kami sehari hari kesusahan belum lagi harus berobat karna dampak dari kandang PT STS itu. Kami akan terus maju. Mereka punya uang, kami punya Tuhan" kata Ita, istri salah satu korban penangkapan brutal oleh Polda Banten.
Air mata mereka adalah tetesan hujan yang membasuh keadilan yang telah lama kering, memohon kepada Tuhan untuk turun tangan dan menegakkan keadilan yang telah lama teraniaya.
Sementara itu, aliansi mahasiswa yang turut serta dalam perjuangan keadilan ini, melakukan aksi mimbar bebas dengan keberanian yang luar biasa, seperti para revolusioner yang siap mengorbankan jiwa dan raga untuk kebenaran.
Mereka berorasi dengan penuh semangat, mengkritik sistem peradilan yang dinilai tidak adil dan memihak kepada penguasa, dengan kata-kata yang tajam seperti pedang yang membelah keadilan yang timpang.
Penangkapan brutal yang dilakukan oleh Polda Banten kepada warga Cibetus Padarincang adalah simbol kegagalan sistem hukum yang mencengkeram keadilan di negeri ini.
Ketika warga yang gigih memperjuangkan hak-hak mereka atas lingkungan yang sehat dan aman, mereka dihadapkan pada tembok keadilan yang tebal dan keras, seolah-olah hukum telah menjadi alat untuk membungkam suara-suara kritis.
Namun, ketika kepentingan bisnis besar yang merasa terancam, aparat hukum bergerak dengan kecepatan petir, menghantam dengan brutalitas yang tak terkendali.
Penangkapan dilakukan tanpa surat tugas, rumah-rumah warga digerebek di tengah malam, bahkan para santri di bawah umur ikut ditangkap. Tindak represifitas ini adalah contoh nyata dari bagaimana hukum dapat menjadi alat penindasan, melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.
Pasal 18 KUHAP ayat (1) yang dengan jelas menyatakan bahwa penangkapan harus disertai surat perintah, seolah-olah menjadi hiasan semata.
Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 yang mewajibkan penyidik membawa surat tugas saat melakukan penangkapan, diabaikan begitu saja.
Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2008 yang menekankan pentingnya penerapan prinsip HAM dalam tugas kepolisian, menjadi sekadar retorika kosong.
Kasus Cibetus Padarincang ini bukan hanya sekadar masalah lokal, tetapi merupakan cerminan dari kegagalan sistematik yang menghancurkan sendi-sendi keadilan di Indonesia.
Di mana kepentingan bisnis besar menjadi dewa yang disembah, sementara hak-hak rakyat kecil diinjak-injak tanpa ampun.
Jika hukum terus dikendalikan oleh pihak korporasi, maka rakyat kecil akan selalu menjadi korban yang tak berdaya, terjebak dalam lingkaran ketidakadilan yang tak berujung.
Oleh karena itu, perlawanan kita hari ini bukan hanya sebuah reaksi spontan, tetapi sebuah manifestasi dari kesadaran kritis bahwa hukum harus dibebaskan dari kungkungan kepentingan-kepentingan oligarkis, dan dikembalikan kepada fungsi utamanya sebagai pelindung dan penjaga hak-hak asasi manusia.
Kita harus terus berjuang untuk menciptakan tatanan hukum yang demokratis dan berkeadilan substantif, di mana keadilan tidak lagi menjadi komoditas yang dapat dibeli oleh mereka yang berkuasa, tetapi sebagai hak yang melekat pada setiap individu.