Kapitalisme dan Gerakan Perempuan, Sebuah Paradoks dari Kesadaran Semu Emansipasi
![]() |
Gambar ilustrasi pixabay.com |
Kaum gerakan feminisme terus bergerak di banyak negara dalam mengkampanyekan berbagai isu dari perjuangan kelas, tuntutan kesetaraan gender, hingga pembebasan dari struktur patriarki dan maskulinitas yang menindas perempuan.
Namun dalam upaya membebaskan diri, perempuan justru menghadapi musuh yang lebih halus namun sangat mengakar: Kapitalisme.
Kapital tidak menyerang dengan kekerasan fisik, melainkan dengan imaji. Ia menyusup ke ruang-ruang paling intim: tubuh, wajah, lemari pakaian, hingga feed media sosial.
Kapital menjelma dalam merek-merek yang membentuk selera, standar kecantikan, dan identitas.
Perempuan hari ini ditawan oleh keharusan untuk tampil sesuai konstruksi estetika kapital: glowing, langsing, modis, dan 'berkelas'. Semua itu dijual lewat pasar bebas.
Inilah paradoks besar: dalam upaya melawan patriarki, banyak perempuan justru terjebak dalam skema konsumsi kapitalis.
Barang-barang mewah menjadi alat pengakuan diri. Rutinitas kecantikan yang seolah membebaskan, justru adalah bentuk baru perbudakan.
Maka tak berlebihan jika kita menyebut perempuan hari ini bukan hanya korban, tapi juga menjadi “sarang” capital, tempat di mana ide dan produk kapitalis tumbuh, berkembang, dan disebarluaskan.
Meski begitu, masih ada perempuan yang membebaskan dirinya.
Mereka tidak sekadar menjadi objek konsumen, tapi menjadi subjek yang sadar dan kritis.
Mereka menolak dikontrol oleh logika konsumsi, dan tidak menjadikan tubuh sebagai etalase tren. Mereka hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi pasar.
Perempuan yang melawan hari ini tak cukup hanya membaca buku. Mereka harus menciptakan ruang praksis: komunitas, diskusi, karya, dan aksi.
Ruang di mana mereka mengupayakan estetika yang bebas dari logika capital keindahan yang tidak dikawinkan dengan label, tetapi tumbuh dari keberanian, kesadaran, dan solidaritas.
Kita hidup dalam era di mana brand mendikte siapa kita, dan tren menggantikan prinsip.
Ini adalah jebakan kesadaran palsu ketika perlawanan dikemas dalam iklan, dan pemberdayaan dijual lewat endorsement. Kesadaran palsu inilah yang harus dibongkar.
Bagaimana perempuan gerakan membaca ini?
Bagaimana mereka mengidentifikasi bahwa tubuh dan selera mereka sedang dikolonisasi oleh kapitalisme global?
Bagaimana mereka membebaskan diri dari tuntutan glamor, dan mulai membangun identitas yang berpihak pada perjuangan?
Lihatlah perempuan-perempuan di banyak penjuru dunia yang menjaga otentisitasnya, yang menolak diseret oleh mesin kapitalisme budaya.
Mereka memilih jalan sunyi membaca, menulis, berpikir, dan bergerak. Mereka tahu bahwa lipstik bukan senjata perjuangan. Fashion bukan alat pembebasan.
Jika mode dan gaya menjadi prioritas, maka perjuangan kehilangan arah. Yang diperjuangkan bukan lagi pembebasan struktural, tapi validasi sosial.
Maka, tugas kita hari ini adalah mengembalikan buku dan pena sebagai senjata utama.
Melawan dari akar, menyadari jebakan, dan menyatakan bahwa tubuh perempuan bukan pasar ia adalah medan perjuangan.***
Penulis: Fualdhi Husaini Hasibuan