ADS


KIP Kuliah: Berkah yang Berujung Penindasan?

Potret Kampus A Universitas Bina Bangsa/dokumentasi pribadi 


Bantuan tanpa kebebasan adalah rantai baru yang membungkam pikiran. Pendidikan harus membebaskan, bukan menundukkan." Tan Malaka

Pada suatu sore yang tenang di lingkungan Kampus Universitas Bina Bangsa (UNIBA) yang berlokasi di Kota Serang Banten, saya duduk berbincang santai bersama beberapa teman penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Sore itu terasa hangat, tapi obrolan kami justru menguak sisi lain dari program beasiswa yang selama ini dianggap sebagai berkah bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu.

Salah satu teman saya, sebut saja Z, tiba-tiba membuka topik yang mengejutkan.

“Kemarin saya kumpulan KIP. Kita didesak untuk merekomendasikan minimal 10 mahasiswa baru. Kalau nggak, KIP saya bakal dicabut. Dan itu Ketua Dewan Pembina Yayasan UNIBA langsung yang ngomong,” ungkapnya dengan nada serius.

Pernyataan itu sontak membuat kami terdiam. Di balik suasana sore yang tenang, terselip tantangan serta tekanan psikologis yang selama ini tak terdengar di permukaan.

Mahasiswa penerima KIP Kuliah di UNIBA mengaku merasa tertekan dengan berbagai tuntutan dari pihak kampus. Selain menjaga Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) agar tetap tinggi, mereka dibebani syarat tambahan yang tidak pernah tercantum dalam peraturan resmi.

 “Kita sudah dituntut nilai IPK harus tinggi. Ditambah lagi dengan tuntutan-tuntutan itu. Beban juga ya buat kita,” tambah R.

Mahasiswa lain yang turut hadir dalam perbincangan itu juga membandingkan situasi mereka dengan kampus-kampus lain.

“Padahal di kampus lain, itu nggak ada tuntutan kayak kita. Lebih bebas,” ucapnya.

Lebih menyedihkan, beberapa mahasiswa mengaku pernah diminta “uang terima kasih” sebesar Rp 800.000 saat pertama kali mencairkan dana KIP Kuliah—pungutan yang tidak resmi dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Ada juga yang dimintai Rp 800 ribu buat ‘tanda terima kasih’ ke bagian Kemahasiswaan,” bisik salah satu dari mereka.

Program yang seharusnya menjadi pintu mobilitas sosial malah berubah menjadi momok menakutkan. Mahasiswa merasa dibungkam, bahkan dilarang ikut dalam kegiatan demonstrasi atau gerakan mahasiswa.

"Ada beratnya juga dapat KIP Kuliah. Harus manut sama peraturan kampus, dilarang ikut aksi, takut gerak, karena KIP bisa dicabut," kata salah satu penerima lainnya.

Kisah-kisah tersebut menjadi ironi yang menyakitkan. Bantuan yang seharusnya menjadi sumber harapan justru berubah menjadi alat kontrol. Ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah kampus telah menyalahgunakan kewenangannya? Apakah mahasiswa penerima bantuan masih memiliki ruang untuk menyuarakan kebenaran?

Apa yang dialami mahasiswa UNIBA jelas bertentangan dengan regulasi resmi. Dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kemdikbudristek Nomor 13 Tahun 2023 Pasal 18 ayat (2) disebutkan dengan tegas:

“Perguruan tinggi dilarang melakukan pungutan dan/atau pemotongan biaya hidup yang diterima oleh Mahasiswa penerima KIP Kuliah.”

Pasal tersebut bukan sekadar tulisan, melainkan bentuk perlindungan hukum terhadap hak mahasiswa agar bisa menempuh pendidikan dengan layak dan bermartabat.

Ironi ini menimbulkan pertanyaan yang jauh lebih dalam: apakah program bantuan sosial seperti KIP Kuliah benar-benar dimaksudkan untuk memerdekakan mahasiswa dari keterbatasan ekonomi? Atau justru menjadi alat untuk mengontrol, menekan, dan membungkam?

Di tengah semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, praktik seperti ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Mahasiswa bukan hanya objek bantuan, mereka adalah subjek masa depan bangsa yang harus diberi ruang untuk tumbuh bebas dan kritis.

Kini, bola ada di tangan kita semua, apakah kita akan membiarkan ketimpangan ini terus berlangsung, atau berani bersuara untuk perubahan?




Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url