ADS


Mahasiswa dan Organisasi – Antara Aktivisme Semu dan Tanggung Jawab Sosial

 

Ilustrasi Rapat organisasi/Dokumentasi to pixabay


Elemendemokrasi.com - Mahasiswa kerap disebut sebagai agen perubahan (agent of change). Mereka adalah segelintir dari masyarakat yang memiliki akses terhadap pendidikan tinggi dan diharapkan menjadi pembawa angin segar dalam berbagai persoalan bangsa. 

Namun, belakangan ini, tampaknya semangat perubahan itu mengalami pergeseran. Banyak mahasiswa yang aktif berorganisasi, namun justru kehilangan kepekaan terhadap realitas sosial di sekitarnya—baik di lingkungan kampus maupun masyarakat luas.

Fenomena yang kian marak terjadi adalah ketika mahasiswa terlalu disibukkan dengan program-program organisasi yang berorientasi pada pencitraan, seremonial, dan kegiatan administratif semata. 

Agenda-agenda tersebut seringkali dijalankan tanpa refleksi kritis terhadap realitas sosial yang melingkupi mereka. 

Mereka lupa bahwa organisasi mahasiswa bukan sekadar tempat menumpuk portofolio, melainkan ruang belajar mengasah kepekaan, solidaritas, dan keberpihakan terhadap yang tertindas.

Ironisnya, saat suara mahasiswa dibungkam oleh sistem kampus yang semakin represif, tidak sedikit dari mereka yang justru memilih diam. 

Ketika fasilitas kampus memburuk, biaya pendidikan semakin tinggi, atau hak-hak mahasiswa dirampas secara halus, para organisatoris ini justru asyik merancang lomba, seminar, atau pelatihan yang hanya menjadi formalitas belaka. 

Mereka betah dalam kenyamanan semu, padahal keresahan itu nyata dan dialami oleh diri mereka sendiri maupun rekan-rekan seangkatannya.

Apa gunanya sebuah organisasi jika tidak berpihak pada realitas mahasiswa yang sedang kesulitan? Untuk siapa sebenarnya mereka bergerak?

Sudah seharusnya mahasiswa, khususnya yang aktif dalam organisasi, membiasakan diri untuk melakukan refleksi kritis terhadap lingkungan di sekitarnya. 

Refleksi kritis menjadi bagian penting dalam perjalanan intelektual mahasiswa agar tidak hanya menjadi pengikut arus, tetapi mampu memahami dan merespons berbagai persoalan yang terjadi di kampus maupun di tengah masyarakat. 

Dalam hal ini, organisasi mahasiswa tidak boleh menjadi ruang yang mengasingkan anggotanya dari realitas sosial. 

Organisasi tidak sepatutnya menjadi tempat yang hanya dipenuhi agenda rutin dan seremonial belaka tanpa menyentuh persoalan yang lebih esensial.

Sebaliknya, organisasi harus menjadi ruang perjuangan—tempat di mana mahasiswa belajar menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan. 

Organisasi bukan hanya wadah berkegiatan, melainkan juga ruang pembentukan karakter. 

Di sinilah mahasiswa ditempa untuk menjadi pribadi yang berani, berpihak kepada mereka yang tertindas, serta mampu menawarkan solusi atas berbagai persoalan. 

Keberanian untuk bersikap, keberpihakan yang jelas terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan kemampuan untuk berpikir solutif merupakan kualitas yang harus ditanamkan melalui proses berorganisasi.

Dengan demikian, organisasi mahasiswa semestinya menjadi sarana pembelajaran yang hidup.

Ia harus membangkitkan kesadaran, memperluas wawasan, serta menumbuhkan keberanian moral dan intelektual. 

Melalui organisasi, mahasiswa tidak hanya tumbuh menjadi individu yang aktif, tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan perubahan sosial yang progresif dan berkeadilan.

Mahasiswa harus kembali menyadari peran fundamentalnya: menjadi mata, telinga, dan suara bagi mereka yang tidak terdengar. Program kerja memang penting, tapi lebih penting lagi adalah memastikan bahwa setiap langkah organisasi membawa manfaat nyata bagi lingkungan sosialnya.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url