Masa depan Tenaga Produktif Kaum Muda Indonesia
![]() |
Dokumen to pixabay |
Dari 125 juta pemuda, 30% masih sekolah, 16% serabutan, 40% menganggur dan hanya 14% sudah bekerja. Dari tahun ke tahun jumlah pemuda bertambah, namun tidak dibarengi dengan meningkatnya lapangan pekerjaan.
Alhasil angka pengangguran terus meningkat, sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK dan dari keluarga kurang mampu. Beberapa dari mereka yang masih menganggur telah bergelar Sarjana (S1) lulusan perguruan tinggi.
Persoalan Perempuan Indonesia.
Persoalan dari kalangan perempuan di Indonesia yang begitu beragam terutama pada masalah utamanya adalah masalah "PENDIDIKAN dan PEKERJAAN".
Keduanya menjadi masalah utama kalangan perempuan di Indonesia yang membuat kaum muda Indonesia berada dalam keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan (pengetahuan).
Kondisi lapangan pekerjaan sangat minim dan berada dalam sistem ketenagakerjaan yang menghisap dan menindas.
Kondisi tersebut memaksa kekuatan tenaga produktif perempuan Indonesia berada dalam ketidakpastian masa depan nya, tidak mampu memenuhi kehidupan hidup layak nya.
Secara ekonomi, karena sebagian dari mereka dalam kondisi tidak produktif (menganggur), atau hanya pekerja serabutan.
Sempitnya lapangan pekerjaan dan tidak adanya pekerjaan yang layak, menciptakan perempuan Indonesia tidak produktif, mereka terjerumus pada kehidupan asosiasi dan ilegal (pelacuran, pengedaran narkoba, pencurian, tawuran, dsb, terlibat kriminalitas).
Demikian juga pemuda yang kerap menjadi pengangguran dan tidak bekerja sesuai dengan keahlian disiplin ilmunya untuk mendukung perjuangan.
Program pembangunan nasional berbasiskan reforma agraria sejati dan industrialisasi dalam negeri (sebagai syarat membuka lapangan pekerjaan) yang diabdikan bagi kepentingan rakyat Indonesia.
Dengan melibatkan partisipasi jutaan kalangan perempuan Indonesia yang mayoritas hidup dibawah garis kemiskinan, menanggung beban hidup akibat biaya-biaya kebutuhan yang harganya selalu naik, seperti kebutuhan sembako, beban biaya-biaya rutin pengeluaran.
Kondisi diatas merupakan latar belakang kemiskinan dan keterbelakangan umum masyarakat Indonesia, dan berpengaruh besar pada bentuk-bentuk penindasan terhadap perempuan di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Ekonomi
Problem utama perempuan Indonesia dalam lapangan ekonomi adalah diskriminasi dalam kerja produksi, yang karena dianggap tak lebih profesional dari laki-laki, akhirnya mendapatkan upah yang lebih rendah meski sama telaten dan sama keras dalam kerjanya.
Perempuan juga diletakkan dalam skop kerja yang stereotip (sekretaris, bendahara, marketing, pelayan, dll.). Akibat ketiadaan lapangan pekerjaan, perempuan akhirnya terjerat dalam prostitusi dan perdagangan orang ke luar negeri.
Politik
Perempuan menghadapi diskriminasi dalam berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat.
Ia dianggap tidak cocok memimpin dan berorganisasi, sebab selalu dikurung dalam wilayah kerja domestik dan re-produksi sosial yang tak berbayar.
Kuota partisipasi perempuan selama ini masih sekadar formalitas.
Para politikus-birokrat kaum perempuan pun selama ini akhirnya menghasilkan kebijakan anti-rakyat dan anti-perempuan.
Sebab menjadi bagian dari kekuasaan oligarki klas tuan tanah-feodalis dan kapitalis imperialisme yang diuntungkan dengan praktek penghisapan ekonomi dan penindasan politik perempuan.
Kebudayaan
Sejak penyingkiran perempuan dari kerja produksi diawal peradaban manusia, lahir kebudayaan patriarki, yaitu kebudayaan yang mengukuhkan posisi laki-laki sebagai pimpinan, superior, dan dominan, dalam kehidupan sosial.
Kebalikannya, ia meneguhkan posisi perempuan sebagai bawahan, subordinat, dan pasif dalam kehidupan sosial.
Budaya ini membenarkan pengekangan perempuan dalam kerja rumah tangga, poligami, dan menundukkan perempuan dalam keluarga, serta pasifisme perempuan ketika mendapatkan tindasan.
Budaya ini menurunkan machisme (atau machoisme) dan misoginisme. Machisme adalah budaya yang mengagungkan segala yang “maskulin/jantan”, mempromosikan stereotip ekspresi gender laki-laki sebagai keutamaan dan akhirnya membakukan standar-standar itu pada laki-laki, tak peduli ada manfaat atau tidaknya.
Misoginisme adalah kebencian dan penomorduaan pada segala yang feminim/perempuan.
Keduanya adalah budaya terbelakang warisan masyarakat perbudakan dan feodal, yang membenarkan diskriminasi di lapangan kerja.
Produksi dan hubungan sosial terhadap perempuan, bahkan melanggengkan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, serta laki-laki sendiri.
Disisi lain, karena penjajahan imperialisme, masuk pula budaya liberalisme, yaitu budaya “kebebasan” yang lahir pada perlawanan rakyat terhadap pengekangan feodal kolot, menjelang lahirnya masyarakat kapitalis di Eropa.
Namun, ia kini sudah merosot dan busuk pula.
Liberalisme adalah kebebasan individual yang menomorsatukan diri sendiri, apatisme anti-sosial, dan mewajarkan sistem yang dominan selama tak merugikannya secara relat.