Memorabilia 'Halima Jauhar', Perempuan Tidore yang Kalungkan Bunga ke Sukarno
![]() |
Halima Jauhar saat menyambut kunjungan Presiden Sukarno ke Kesultanan Tidore pada Tahun 1957 |
Pada tulisan ini akan diurai secara singkat perjalanan seorang perempuan Tidore yang dalam sejarah hidupnya juga cukup menguras akal sehat karena kebebasan hidupnya beserta dirinya yang turut menjadi bagian konsolidasi Papua Barat dan banyak mengundang tanya ketika beliau dipilih sebagai perempuan yang mengalungkan bunga pada Sukarno saat yang Pemimpin Besar Revolusi itu berkunjung di Tidore pada bulan Agustus Tahun 1957. Referensi tulisan ini diambil dari beberapa informasi beserta artikel yang membicarakan perjalanan Halima Jauhar.
Mengenal HALIMA JAUHAR
Tahun 1930, seorang perempuan berdarah Tidore dilahirkan. lahir dengan nama Halima Jauhar yang penuh kesederhanaan, menjadikan ia sebagai seorang empu dirinya yang kian dikenang. Anak perempuan 10 bersaudara ini lahir di salah satu kampung bernama Tongaru (Bobo) yang berada di Kota Tidore yang saat itu masuk dalam wilayah kuasa/perintah Tahisa (Toloa).
Nenek Halima menjalani masa hidupnya dengan kebebasan yang ia kehendaki. Bukan dari anak-anaknya kisah ini ingin kutulis, melainkan karena semangat hidup serta ribuan tanya yang sempat mengerumuni kepala kala mendengar nama itu. Pada kisah kasih nenek Halima semasa hidup juga tidak lain menjadi bara pejuang perempuan Tidore.
Sedikit dariku, pernah juga ternyata aku mendapat perlakuan rasis kala mengakui bahwa aku juga turunan orang di perkampungan Bobo, anehnya lagi aku sering diejek hanya karena berasal dari Papua. Ada apa?
Rupanya ada warna abu-abu dalam sejarah, hanya saja aku bangga jika masih mempunyai darah turunan Kampung Bobo. Ta! Terlepas dari adanya kasus rasis yang terlapor di kota Tidore Kepulauan bahkan sempat menghebohkan dunia maya hingga kesultanan Tidore pun turut mengunjungi kampung Bobo kala itu, tulisan ini justru lebih condong membahas keunikan salah satu perempuan hebat Tidore yang berasal dari Bobo.
Menurut salah satu saudari kandungnya bahwa ia dengan kemandiriannya menjadi pekerja keras yang bahkan juga polos dalam kebaikan dan ketulusan hatinya. Nenek Halima juga sempat menyisakan hidupnya untuk mengajarkan membaca dan tulis kala itu. ANW nenek Halima juga terpilih mengalungkan bunga pada Soekarno dan bahkan disebut sebut menjadi putri irian barat. Dan inilah satu dari perjalanan hidup seorang Halima yang menjadikan ia dikenal pada waktunya, serta dari sini juga dia di kenal dengan nama Biji Negara atau nenek biji; Nama yang diberikan Soekarno saat kunjungan kerjanya waktu itu.
Menurut ibu Aisyah Senin (istri dari Alm. bapak Rabo Jauhar, saudara kandung Nene Halima) nenek Halima dalam kesehariannya merupakan perempuan yang mandiri dan pekerja keras bahkan dikenal cerdas,
"Nenek biji dengan khasnya sering memakai tas noken kemana mana" turut ibu Aisyah.
Hal serupa juga yang disampaikan salah satu saudari nenek Halima, "Nenek biji selalu mandiri bahkan sempat memproduksi sisir dari bambu atau membuat sapu (Sapu Gamutu, dalam bahasa sehari hari di Tidore) untuk dipasarkan".
Perempuan Pengalung Bunga
Dalam artikel yang ditulis salah satu pemuda Bobo (Alifan Kene) dalam tulisannya “Biji Negara, Pengalung Bunga di Leher Soekarno Saat Konsolidasi Kembalikan Irian Barat ke Pangkuang NKRI” juga turut mengurai alur cerita ini dari beberapa sumber informan yakni salah satu tetuah atau tokoh adat yang ada di kampung Bobo dan nenek indah yang merupakan satu dari dua perempuan yang juga dipilih kesultanan bersama dengan nenek Halima dan Nenek Robo.
Awal dari nenek Halima terpilih untuk mengalungkan bunga ialah saat menjelang datangnya Sokarno ke Tidore, Sultan Zainal Abidin Syah memberikan perintah pada pejabat kesultanan agar bisa mencari putri-putri asli penduduk Tidore dengan ciri fisiknya sama seperti masyarakat papua.
Dan ternyata perintah ini ialah bertujuan untuk memperkuat konsolidasi, kalau ada ikatan antara Papua dengan Kerajaan Tidore. Selanjutnya, Bobo menjadi satu dari beberapa kampung yang dituju dalam mencari putri- putri ini.
Dalam refrensi perjalanan nenek Halima, juga disebutkan bahwa nenek Robo adalah orang pertama yang didatangi, kedua nenek Indah dan terakhir ada nenek Halima. Ketignya ditemui di kampung Bobo Ciri fisik ketiganya menjadi alasan mereka dipilih untuk menyambut Soekarno saat kunjungan kerja ke Tidore, dan nenek Halima dinyatakan paling persis dengan ciri fisik yang dicari sultan Zainal Abidin Syah hingga dia menjadi satu dari tiga putri yang mengalungkan bunga.
Di dalam video dokumenter kunjungan Kerja Soekarno ke Tidore pada bulan Agustus 1957 yang terunggah di youtube juga menayangkan cuplikan ketiga perempuan terpilih ini yang sudah diseleksi oleh pihak kesultanan dan ciri fisiknya seperti dengan masyarakat Papua ini tampil gemulai dengan tariannya di depan Soekarno.
Penyematan nama Biji Negara pada Halima Jauhar oleh Soekarno juga disebutkan karena Halima mewakili Irian Barat untuk bergabung dengan NKRI. Bentar! ini faktanya juga dilihat secara simbolik ya; yakni momen dalam foto jabat tangan antara nenek Halima dengan Soekarno yang juga menandakan kalau adanya kesepakatan Irian Barat dengan NKRI.
Seperti yang terbilang sebelumnya, kalau Halima juga disebut menjadi putri Irian Barat tentu dalam banyak diskusi sering aku temukan argumen bahwa dengan bergabungnya Papua dengan NKRI juga tidak terlepas dari pengaruh nenek Halima pasca ia mengalungkan bunga pada Soekarno.
Namun justru sempat terlintas banyak sekali pertanyaan, bertanya-tanya apakah ini hanya siasat negara yang sudah bekerja sama dengan Kesultanan Sultan Zainal Abidin Syah waktu itu dan menjadikan nenek Halima beserta kedua perempuan tadi sebagai alat agar bisa lebih meyakinkan Irian Barat waktu itu agar bergabung dengan NKRI?
Dan kalau kemungkinan itu tidak menjadi satu alasan mengapa kunjungan kerja Soekarno tahun 1957 itu harus disambut oleh perempuan dengan ciri fisik seperti orang Papua? Tapi atas dasar apa? Bisakah meyakinkan masyarakat Papua bahwa ada hubungan yang erat antara Papua dengan kerajaan Tidore yang bisa dilihat dengan kesamaan ciri fisik?
Banyaknya refrensi secara historis yang juga menyelipkan Tidore dengan bergabungnya Papua ke NKRI. Hanya saja perlu ada pengkajian lebih lanjut dan kritis untuk mengaitkan Nenek Halima yang menjadi putri bersama Nenek Robo dan Nenek Indah dalam urusan negara ini.
Bahkan Halima selepas penjemputan itu juga sempat diberikan pernyataan tertulis dari seorang Soekarno yang sekarang sudah tidak tau keberadaannya tulisan itu dan mungkin berada di tangan anak-anaknya Halima. Halima juga sempat mengasuh Guntur (Anaknya Soekarno).
Dalam ikatan kasih yang terbangun singkat ini, menurut satu informan yang tidak mau disebutkan namanya ini yang juga menjadi saksi perbincangan nenek Halima dan satu saudara laki-lakinya mengatakan
"Nenek waktu itu sempat ke istana negara untuk bertemu Megawati dengan maksud yang berdasar pada tulisan Soekarno untuk dirinya (sampai saat ini belum ada detail isi pernyataan Soekarno), dan di beberapa tahun kebelakang sebelum dia wafat dia sempat ke istana negara dan dikira orang gila oleh para penjaga walau sudah sempat menjelaskan dan menunjukan tulisan dari Soekarno karena memang harus membuat janji dulu, akhirnya beliau pulang tanpa bertemu Megawati dan menceritakan perjalanannya ke istana negara ini kepada saudara laki-lakinya."
Menurut informan ini juga bahwa tulisan Soekarno sempat diamanatkan ke salah satu sadara laki-laki nenek Halima yang enggan disebut namanya ini,
"Dalam percakapannya dengan saudaranya kala itu, nenek berbicara dalam bahasa Tidore, bahwa kertas keterangan dari Soekarno ini diamanatkan ke saudaranya ini untuk di jaga, namun berkali-kali ditolak suadaranya akhirnya nenek bisa meyakinkan saudaranya ini untuk menyimpan kertas-kertas itu. Tapi kertas-kertas itu sudah diambil oleh anak-anaknya nenek Halima dari saudara laki-lakinya ini, dan tidak tau apakah masih disimpan sampai sekarang atau tidak".
Amerta dalam sejarah.
Dalam perjalanan yang tetap dikenang ini, Halima Jauhar terkenal sangat humble bahkan menjadi obat dari luka negara kala mengingat semangatnya dan tetap menjadi penebar bara dari sejarah pemberian nama Biji Negara padanya. Alexander Brekman dalam bukunya ABC Anarkisme juga menampar kita bahwa musuh sebenarnya kita (rakyat) adalah pemerintah dan kekuatan negara.
Kehidupan kepemilikan bersama yang diubah semena-mena dan nyeleneh atas nama undang-undang yang wajib dipatuhi setiap warga negara menjadi kepemilikan pribadi, adapun yang bisa dipetik dengan kisah nenek Halima Jauhar ini ialah perempuan yang cerdas dan berdaya tidak perlu menaruh harap pada negara yang sering memperalat rakyatnya demi berkuasa.
Layaknya Nenek Halima yang ikhlas menaruh kasih untuk Tidore dan orang-orang disekelilingnya sekalipun diantara mereka bukanlah saja Soekarno atau Megawati dan Guntur.
Halima Jauhar kian dikenang, dan sebagai satu perempuan dari turunan kampung Bobo ya aku bangga padanya karena dia hidup menjadi dirinya sendiri, saat yang lain meneriaki pemerintah untuk melirik Halima Jauhar atau Biji Negara, aku justru ingin menegaskan bahwa tanpa pemerintah dan negara yang turut memperhatikan Halima, beliau tetaplah Halima yang cerdas dan bebas dengan afeksi pada sesama dan keaslian adat budaya negeri seribu jin ini.
Sayangnya sejarah yang sengaja dihitamkan demi kepentingan penguasa dengan dalil "kesejahteraan rakyat" beserta sebab kondisi perpolitikan negeri ini yang tidak lagi sehat, banyak orang-orang seperti Halima yang dikebiri ruang hidupnya.
Siapapun kalian, membangkanglah jika adat budaya negeri di lecehkan & akal sehat kita dirampas politik adu domba.
Aku bangga menjadi perempuan Tidore yang memberdayakan diri dan membangkang jika ada yang merampas kepunyaan kami, bukan bangga menjadi perempuan Tidore yang sibuk di perdaya kesultanan sewaktu waktu nafsu penguasa membungkam akal sehat.
Oleh: Sena Arunika