ADS


Modernisasi dan Krisis Identitas: Refleksi Sosial dari Pinggiran Negeri

Gunung Mutis sala satu gunung tertinggi di pulang Timor. Foto hasil dokumentasi pribadi

Selasa, 28 Januari 2025 adalah hari yang tak akan kulupakan, dimana bertepatan dengan perjalananku kembali dari kampung halaman menuju Kota Kefamenanu, tempat aku menimba ilmu. 

Sepanjang perjalanan, alam yang asri dan masyarakat yang bersahaja menghipnotis pandangan dan pikiranku. 

Namun, di balik keindahan itu, aku menyaksikan satu fenomena yang membuatku terusik: perubahan pola hidup masyarakat akibat arus modernisasi yang kian deras menerobos kehidupan mereka.

Modernisasi memang tak bisa dihindari. Ia masuk ke pelosok-pelosok desa, menyusup dalam kehidupan sehari-hari, mengubah cara berpikir, bertindak, hingga berinteraksi. 

Namun yang menjadi keprihatinanku adalah kenyataan bahwa dalam proses ini, banyak warisan budaya dan kearifan lokal peninggalan leluhur mulai ditinggalkan. 

Tradisi yang dulunya menjadi penanda identitas dan peradaban suatu wilayah kini tampak memudar, tergantikan oleh gaya hidup pragmatis, konsumtif, dan instan.

Globalisasi seolah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi membuka akses terhadap kemajuan, namun di sisi lain menciptakan ketimpangan dan ketergantungan. 

Ketika daerah tertinggal terlalu bergantung pada pusat-pusat kemajuan ekonomi, muncul ketimpangan yang akut. 

Arus urbanisasi, transmigrasi, dan imigrasi besar-besaran menjadi gejalanyata dari ketimpangan tersebut. 

Bersamaan dengan itu, nilai-nilai hidup mulai distandarkan oleh logika kapitalisme global yang hanya mengejar keuntungan, dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan.

Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar masyarakat tampaknya belum menyadari bahwa mereka sedang mengalami penjajahan gaya baru—penghisapan manusia atas manusia, penghisapan wilayah atas wilayah. 

Perusahaan-perusahaan besar mengeksploitasi tenaga kerja dan sumber daya, diskriminasi terhadap etnis dan agama marak, dan masyarakat perlahan-lahan tercerabut dari akar budayanya sendiri. 

Mereka mengalami alienasi, keterasingan dari dirinya sendiri, dari komunitas, dan dari makna hidupnya.

Ironisnya, saat dihadapkan pada realitas ini, banyak yang hanya menganggapnya sebagai ujian dari Sang Pencipta, menyerahkan semuanya pada takdir. 

Tan Malaka pernah menyatakan bahwa tipe masyarakat seperti ini sulit untuk diajak bergerak menuju perubahan karena masih terjebak dalam paham mistis dan imajinatif—bahwa kehidupan setelah mati lebih menjanjikan daripada kehidupan di dunia. 

Padahal, kehidupan dunia inilah yang harus diperjuangkan agar bermakna dan adil bagi semua.

Maka pertanyaan penting yang harus kita renungkan sebagai generasi muda—sering digembar-gemborkan sebagai agen perubahan—adalah: apakah kita akan terus larut dalam arus yang sedang berjalan, ataukah kita memilih untuk melawan, memperbaiki, dan mempertahankan warisan budaya serta identitas kita yang otentik?

Sudah saatnya kita tidak hanya menjadi penonton pasif dari perubahan sosial, melainkan aktor yang sadar akan sejarah, kritis terhadap realitas, dan berani menyuarakan alternatif. 

Refleksi ini menjadi titik tolak kita untuk menilai ulang arah pembangunan, corak pendidikan, hingga sistem sosial yang tengah dijalankan hari ini. 

Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ditentukan oleh kesadaran kolektif kita terhadap akar, arah, dan tujuan hidup berbangsa dan bernegara.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url