ADS


Perlunya Standarisasi Harga Pembelian Pisang Dari Petani Demi Mensejahterakan Petani Sesuai Ekonomi Pancasila Di Kabupaten Malaka

Pisang unggul yang berada di kabupaten Malaka. Foto hasil dokumentasi pribadi.

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketergantungan terhadap bantuan luar negeri. 

Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia membutuhkan sistem ekonomi yang berlandaskan nilai keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. 

Maka, sistem ekonomi Pancasila yang menolak kapitalisme dan liberalisme menjadi pilihan. Namun pada penerapannya terjadi ketimpangan sosial, salah satu contoh konkret tantangan ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan dalam praktik ekonomi terjadi di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. 

Petani seperti Albert Bere (3 Agustus 2020) dan Maria Seran (8 Maret 2025) menjual hasil panen pisang mereka dengan harga murah, yakni Rp25.000 per tandan, bahkan hanya Rp10.000–15.000 di kebun. 

Padahal pisang dari Malaka sangat diminati di pasar Timor dan Bali dengan permintaan tinggi, bahkan bisa mengisi 2-3 truk Fuso per bulan. 

Berikut Data dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan produksi pisang:

2019: ±3.250 hektar lahan ditanami pisang di Malaka. Pada 2020: Produksi pisang meningkat, petani seperti Albert Bere menjual 2 truk pisang dengan harga Rp35.000 per tandan. 2021: Produksi mencapai 667.701 kuintal. 

Bantuan bibit 50.000 pohon diberikan. 2023: Produksi pisang meningkat menjadi 857.072 kuintal. 2024: Pembeli dari Flores dan Bali menyerap pasokan besar dari Malaka. 2025: Harga pisang di kebun tetap rendah, petani seperti Maria Seran tetap menjual murah.

Berikut beberapa Permasalahan Dalam standarisasi Harga pisang.

Harga jual pisang di tingkat petani masih rendah dan tidak sesuai dengan tingginya permintaan serta biaya produksi. Ketimpangan ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam distribusi hasil ekonomi. 

Padahal, Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat termasuk petani namun pada praktiknya tidak dan untuk memperkuat statement ini penulis menggunakan teori sehingga pembaca dapat memahami permasalahan ini dengan jelas.

Adapulah beberapa kutipan Teoritis pendukung sebagai berikut:

Teori Ekonomi Pancasila (Prof. Mubyarto)

Sistem ekonomi Pancasila menekankan peran aktif negara dalam menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat melalui kebijakan ekonomi yang mengutamakan kerja sama, gotong royong, dan perlindungan terhadap kelompok ekonomi lemah seperti petani. 

Oleh karena itu, pemerintah wajib menetapkan standar harga beli hasil pertanian agar petani tidak dieksploitasi oleh mekanisme pasar bebas.

Teori Ekonomi Sosialis

Karl Marx menegaskan bahwa negara harus menguasai alat-alat produksi demi keadilan sosial. Dalam konteks ini, pemerintah harus hadir secara konkret mengatur distribusi dan harga hasil pertanian, termasuk pisang. 

Tanpa kontrol negara, kekuatan pasar akan merugikan petani kecil dan memperkuat dominasi kapitalis (pedagang besar).

Teori Kelas dan Konflik (Karl Marx)

Ketimpangan harga yang diterima petani dibanding harga di pasar mencerminkan konflik kelas antara petani (kelas bawah) dan pedagang besar (kelas atas). 

Negara harus berpihak pada kelas yang tertindas dengan membuat kebijakan harga minimum pembelian pisang di tingkat petani.

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan, baik pemerintah pusat maupun daerah perlu menetapkan kebijakan standar harga beli pisang dari petani yang wajar dan menguntungkan pihak petani. 

Kebijakan ini penting agar petani dan pembeli sama-sama memperoleh keuntungan secara adil dan seimbang.

Namun, yang dilakukan oleh pemerintah bukanlah menetapkan harga yang berpihak pada petani, melainkan sekadar memberikan anakan pisang, membentuk kelompok tani, dan mendorong budidaya pisang di setiap wilayah di Kabupaten Malaka. 

Upaya tersebut sebenarnya belum menjawab kebutuhan pasar secara substansial.

Masalah utama terletak pada kurangnya pemahaman Pemerintah Kabupaten Malaka terhadap konsep ekonomi Pancasila. Alih-alih menjalankan prinsip ekonomi berkeadilan sosial, pemerintah justru cenderung menerapkan pola pikir ekonomi kapitalis.

Penulis menyimpulkan demikian karena cara kerja sistem kapitalisme dapat dikenali melalui tiga ciri utama, yaitu: eksploitasi, ekspansi, dan akumulasi profit, itu yang harus pemerintah ketahui.

Dan untuk mencapai kesejahteraan bersama dalam ekonomi Pancasila pemerintah harus mewujudkan melalui:

Peraturan daerah atau instruksi kepala daerah tentang standarisasi harga saat panen buah pisang.
Subsidi dan kontrol harga hasil pertanian.
Koperasi tani yang menjembatani distribusi hasil panen langsung ke pasar besar.

Sebagai langkah pasti Pemerintah Kabupaten Malaka perlu Adakan BUMD.

Pemerintah kabupaten malaka tidak boleh membiarkan petani, yang menjadi tulang punggung pangan nasional, hidup dalam ketidakpastian harga. 

Sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 dan teori ekonomi Pancasila, negara harus aktif dalam menjamin keadilan ekonomi. Tanpa kehadiran negara, sistem kapitalistik akan mendominasi, dan petani terus menjadi korban ketimpangan. 

Ini yang harus kita ketahui bersama, apabila Pemerintah Kabupaten Malaka gagal menerapkan ekonomi Pancasila secara konsisten, maka dampaknya sangat jelas yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. 

Artinya, masyarakat Malaka hidup dalam struktur kelas, antara kelas borjuis yang menguasai modal dan kelas petani yang terus di eksploitasi sehingga dengan sendirinya masyarakat mengalami marginalisasi atau tersingkirkan dari pusat perhatian pemerintah.

Penulis: (Phye Gelifron)
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url