Pers Mahasiswa Krisis Eksistensial, Jangan Diamkan Kampus Jadikan Mahasiswa Sebagai Sapi Perah

 

Ilustrasi pers mahasiswa 

 Kartini menulis dalam kegelapan demi membuka jalan terang. Pers kampus pun harus berani menulis dari ruang-ruang sunyi, menyuarakan yang terpinggirkan, dan menolak tunduk pada tekanan struktural.

Dalam ekosistem media Indonesia, pers kampus kerap dipandang sebelah mata—sekadar bulletin mahasiswa atau suplemen kegiatan ekstrakulikuler.

Padahal, di ruang‑ruang redaksi mini itulah benih‑benih jurnalisme kritis ditanam, dirawat, lalu menyebar ke ruang publik yang lebih luas. 

Bagaimana sebenarnya jurnalis muda ini bekerja, dan mengapa praktik mereka penting?

Jurnalis kampus memikul dua tugas serentak: Pertama, menjadi media pembelajaran reporter, belajar menulis akurat, editor, bernegosiasi dengan narasumber, layouter memahami ritme produksi. 

Kedua, memainkan peran watchdog internal—mengawasi kebijakan rektorat, penggunaan dana kemahasiswaan, hingga isu plagiarisme dosen.

Paradoksnya, pemilik “objek liputan” adalah institusi yang sama‑sama memberi mereka dana operasional—maka kemandirian finansial dan keberanian etis diuji sejak awal. Prosedur mereka tetap mengacu pada kaidah jurnalisme profesional—verifikasi dua sumber, right of reply, kode etik. 

Namun keterbatasan akses membuat banyak investigasi dijalankan dengan metode gerilya: mewawancarai staf kampus “off the record”, menelusuri dokumen lewat forum mahasiswa, atau menggunakan FOI (freedom of information) lokal. 

Di sisi lain, kedekatan dengan dunia riset memberi mereka keuntungan: reporter bisa bersinergi dengan dosen metodologi untuk memeriksa data, sesuatu yang jarang dinikmati jurnalis komersial.

Tidak sedikit pers kampus berhenti di tengah jalan karena intervensi lembaga: edisi ditarik, dana dipotong, redaktur “dinasihati” agar berita dikoreksi. 

Tekanan ini unik; kampus dianggap “keluarga” sehingga kritik dipandang durhaka. 

Jurnalis muda belajar negosiasi kepentingan: mana yang esensial untuk publik, mana yang bisa ditunda tanpa mencederai fakta. 

Dari sini mereka mengerti bahwa sensor tidak selalu keras, kadang berupa tatapan senior atau ancaman beasiswa sehingga pers kampus ini tidak menjadi takut lagi terhadap ancaman itu.

Kesalahan di pers profesional berbiaya besar,gugatan hukum, reputasi runtuh. Di kampus, konsekuensi relatif terbatas, sehingga ruang uji coba etika terbuka lebar. 

Mahasiswa bisa mempraktikkan fact‑checking, menulis ralat, sampai meminta maaf publik tanpa tekanan korporasi. 

Mereka belajar bahwa kredibilitas dibangun bukan dari absennya kesalahan, tetapi dari cara memperbaikinya.

Banyak jurnalis senior—dari Najwa Shihab hingga Andreas Harsono—mengawali karier di pers kampus. 

Tradisi ini menunjukkan bahwa regenerasi media tidak bermula di newsroom besar, melainkan di lorong fakultas. 

Maka dukungan fasilitas, perlindungan hukum, dan pengakuan hak menyatakan pendapat bagi pers kampus adalah investasi bagi kualitas demokrasi masa depan.

Pers kampus bukan latihan menulis semata; ia laboratorium kebebasan, etika, dan keberanian. 

Di sana mahasiswa belajar bahwa berita bukan sekadar produk, tapi tanggung jawab sosial. 

Jika ekosistem ini dirawat—dengan otonomi editorial, pendanaan transparan, dan akses informasi terbuka—maka bangsa akan menuai jurnalis yang bukan hanya piawai teknis, tetapi juga teguh moralnya.

Lebih jauh, pers kampus tidak dilahirkan sekadar memproduksi konten seremonial—liputan lomba, bakti sosial, atau rilis humas yang memoles citra almamater. 

Redaksi mahasiswa wajib menyalakan lampu sorot ke sudut yang sengaja dibiarkan gelap: ketimpangan beasiswa, pungutan liar, kekerasan senioritas, atau proyek infrastruktur yang tak transparan. 

Tanpa keberanian mengangkat sisi kontras, bukan hanya “konten kebaikan” pers kampus akan terdegradasi menjadi papan pengumuman digital.  

Fungsi sejatinya adalah memberi gema bagi yang terpinggirkan, bukan sekadar megafon bagi yang sudah berkuasa. 

Dengan menyeimbangkan apresiasi dan kritik, jurnalis muda menunaikan mandat etiknya, menjaga integritas ruang akademik, dan melatih keberanian moral yang kelak mereka bawa ke ruang redaksi profesional.

Kampus kerap disebut miniatur negara, namun sekaligus merupakan ruang ilmiah. 

Dua label ini melahirkan kontradiksi tajam, di satu sisi kampus menanggung problem seperti kekerasan dan korupsi birokrasi, di sisi lain ia menjunjung rasionalitas akademik.

Ketika mahasiswa mengkritik kebijakan kampus, reaksi yang kerap muncul justru pembungkaman. 

Sikap ini tidak adil sejak dalam pikiran, kritik internal seharusnya didukung, bukannya diperlakukan seolah‑olah urusan “negara kecil” ini tak penting sementara mahasiswa sibuk menyoroti masalah di luar kampus.

Kritik di dalam kampus harus terus digencarkan oleh mahasiswa dan pers mahasiswa melalui tulisan akademik maupun produk jurnalistik. 

 Pers kampus tidak boleh semata menjadi humas yang menonjolkan citra positif almamater, fungsinya mirip pers nasional yang mengawasi dan mengoreksi kekuasaan.

Tragedi masa lalu, ketika majalah Tempo dibungkam dan sebagian pers kampus ikut bersuara tanpa menoleh pada pembungkaman yang mereka alami sendiri, tidak boleh terulang.

 Pers mahasiswa harus berani mengkritisi kebebasan pers di dalam tembok universitasnya, bukan hanya solidaritas ke luar.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url