Problem-problem Pendidikan Indonesia, Sebuah Kritik Terhadap Sistem Pendidikan Nasional
![]() |
Ilustrasi pixabay.com |
Pendidikan adalah fondasi utama kemajuan sebuah bangsa. Di Indonesia, tuntutan akan pendidikan yang gratis, ilmiah, dan demokratis bukanlah sekadar retorika, melainkan sebuah kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi untuk memastikan akses yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Namun, dalam implementasinya, berbagai tantangan muncul, mulai dari keterbatasan anggaran hingga kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada publik.
Konstitusi telah menegaskan bahwa negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan gratis masih jauh dari ideal.
Konstitusi telah menegaskan bahwa negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan gratis masih jauh dari ideal.
Meskipun Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan alokasi minimal 20 persen dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan, distribusi anggaran yang kurang efektif membuat banyak masyarakat, khususnya dari kelompok ekonomi menengah ke bawah masih mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan tinggi.
Dana pendidikan yang seharusnya digunakan untuk meringankan beban biaya siswa dan mahasiswa justru lebih banyak terserap untuk infrastruktur, birokrasi, dan pengeluaran lainnya yang kurang menyentuh kebutuhan dasar peserta didik.
Jika pendidikan benar-benar ingin digratiskan, mekanisme pengelolaan anggaran harus diperbaiki, dengan memastikan transparansi serta efektivitas alokasi dana yang langsung berdampak pada aksesibilitas pendidikan bagi seluruh rakyat.
Lebih jauh, pendidikan yang berkualitas tidak cukup hanya menghilangkan hambatan biaya, tetapi juga harus berbasis pada ilmu pengetahuan dan riset yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang unggul.
Lebih jauh, pendidikan yang berkualitas tidak cukup hanya menghilangkan hambatan biaya, tetapi juga harus berbasis pada ilmu pengetahuan dan riset yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang unggul.
Dalam hal ini, sistem pendidikan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar.
Berdasarkan laporan Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2022, Indonesia masih tertinggal di peringkat 68 dari 203 negara.
Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan nasional masih belum mampu bersaing di tingkat global. Kurikulum yang diterapkan sering kali tidak selaras dengan kebutuhan industri maupun perkembangan ilmu pengetahuan.
Proses pembelajaran yang berorientasi pada hafalan masih mendominasi, sementara metode berbasis riset dan pengembangan daya kritis belum menjadi bagian utama dari sistem pendidikan nasional.
Pendidikan yang ilmiah seharusnya mampu membentuk individu yang kritis dan inovatif, bukan sekadar menghasilkan lulusan yang siap bekerja tetapi minim kemampuan analisis.
Di samping aspek ilmiah, pendidikan yang demokratis juga menjadi isu krusial yang harus diperhatikan.
Di samping aspek ilmiah, pendidikan yang demokratis juga menjadi isu krusial yang harus diperhatikan.
Sistem pendidikan di banyak negara maju telah memberikan ruang bagi peserta didik untuk berperan aktif dalam penyusunan kebijakan akademik, namun di Indonesia, sistem masih berjalan secara sentralistik.
Suara mahasiswa dalam berbagai kebijakan kampus kerap diabaikan, dan kebebasan akademik sering kali terpinggirkan.
Fenomena ini mencerminkan realitas yang dikritik oleh Paulo Freire dalam konsep "banking education," dimana pendidikan hanya dipandang sebagai proses satu arah, dengan guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima pasif.
Akibatnya, pendidikan tidak lagi menjadi alat pemberdayaan, tetapi justru menjadi mekanisme yang mengekang kebebasan berpikir.
Untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar demokratis, sistem harus dibuka agar lebih inklusif.
Untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar demokratis, sistem harus dibuka agar lebih inklusif.
Mahasiswa dan tenaga pendidik harus memiliki ruang yang cukup untuk berpartisipasi dalam penyusunan kurikulum dan kebijakan akademik, serta diberikan kebebasan untuk mengembangkan pemikiran kritis tanpa takut adanya represi.
Pendidikan yang demokratis bukan hanya mencetak lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga membentuk individu yang memiliki keberanian untuk berpikir, berpendapat, dan berkontribusi dalam perubahan sosial.
Mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis bukanlah sekadar idealisme, melainkan sebuah keharusan yang harus diupayakan oleh negara.
Mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis bukanlah sekadar idealisme, melainkan sebuah keharusan yang harus diupayakan oleh negara.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah perlu menunjukkan komitmen nyata dalam alokasi anggaran, reformasi kurikulum, dan penciptaan lingkungan akademik yang lebih terbuka.
Tanpa langkah konkret yang mengarah pada perubahan sistemik, pendidikan hanya akan menjadi instrumen yang terus melanggengkan ketimpangan, bukan sebagai alat pembebasan dan kemajuan bangsa.
Penulis: Fualdhi Husaini Hasibuan