Tarif Tinggi Amerika Serikat: Pukulan Global dan Bangkitnya Imperialisme Modern

Donald Trump Presiden AS. Sumber Foto Pixabay.com

Ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menghidupkan kebijakan tarif tinggi terhadap negara-negara mitra dagangnya, dunia pun diguncang.

Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, menjadi korban dari egoisme ekonomi Amerika yang kian brutal. 

Kebijakan ini bukan sekadar strategi ekonomi—ini adalah bentuk baru dari imperialisme modern yang menyasar negara-negara berkembang yang masih bergulat memperbaiki ekonominya pasca pandemi global.

Tarif sebesar 32% yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap Indonesia adalah bentuk nyata dari kolonialisme gaya baru: tekanan ekonomi yang dipaksakan lewat instrumen kebijakan dagang.

 Produk-produk Indonesia akan kesulitan bersaing di pasar internasional, ekspor menurun, industri lokal terpukul, dan ujungnya adalah rakyat 

Indonesia yang harus menanggung akibatnya. Harga bahan pokok melonjak, inflasi tak terkendali, dan daya beli masyarakat kian melemah.

Namun yang lebih menyakitkan bukan hanya tarif itu sendiri, melainkan sikap pemerintah Indonesia yang diam seribu bahasa. 

Di tengah serangan ekonomi yang nyata, pemerintahan Prabowo-Gibran lebih sibuk mengatur program-program populis yang hanya bersifat kosmetik, ketimbang menghadapi kenyataan bahwa kedaulatan ekonomi bangsa sedang diinjak-injak.

Pertanyaannya: apakah pemerintah Indonesia takut pada Amerika Serikat? Ataukah memang telah menjadi boneka yang dengan patuh mengikuti setiap kepentingan asing tanpa keberanian untuk melawan?

Sejarah mencatat bahwa imperialisme tak selalu datang dengan senjata dan penjajahan fisik. Hari ini, penjajahan itu hadir lewat sistem perdagangan yang timpang, kontrol atas sumber daya alam, dan dominasi finansial yang melumpuhkan ekonomi bangsa-bangsa berkembang. 

Sayangnya, pemerintah Indonesia tampak tidak menyadari — atau sengaja menutup mata — terhadap kenyataan ini. Dengan membiarkan kebijakan tarif seperti ini, pemerintah justru memperkuat dominasi Amerika Serikat atas Indonesia.

Lebih parah lagi, banyak sektor strategis Indonesia — dari pertambangan, energi, hingga digital — masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, terutama dari Amerika Serikat. 

Ini adalah bentuk ketundukan struktural yang tidak bisa dibantah. Di saat negara-negara lain berjuang memproteksi kepentingan nasionalnya, pemerintah kita justru membuka pintu lebar-lebar untuk intervensi ekonomi asing.

Inilah saatnya Indonesia mengambil sikap. Pemerintah harus keluar dari bayang-bayang Amerika Serikat dan membuktikan bahwa kedaulatan ekonomi adalah harga mati. 

Diplomasi perdagangan harus dihidupkan kembali dengan semangat perlawanan, bukan kepasrahan. Kita tidak bisa selamanya bergantung pada kekuatan asing dan berharap belas kasihan mereka.

Jika pemerintah Prabowo-Gibran terus bersikap lunak dan menghindari konfrontasi dengan kebijakan ekonomi yang merugikan bangsa sendiri, maka sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai agen kepentingan asing—boneka dari sistem global yang menindas bangsa-bangsa kecil demi kepentingan kapitalisme besar.

Rakyat Indonesia layak mendapat pemimpin yang berani melawan ketidakadilan, bukan yang tunduk di hadapan kekuasaan ekonomi asing. Dan melawan tarif 47% dari Amerika adalah langkah awal untuk membuktikan keberpihakan itu.


Penulis: Fergilius Taoet

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url