Imperialisme Di Indonesia Dan Sasaran Pokok Penghisapannya




Negara Indonesia adalah Negara Kapitalis. Seluruh susunan ketatanegaraan Negara Indonesia diabdikan berdasarkan prinsip-prinsip yang memenangkan dan melestarikan kekuasaan modal. Kapitalisme di Indonesia memiliki ciri khas khusus yaitu dengan latar belakang sejarah awal masuknya kapitalisme di Indonesia serta kebijakan-kebijakan penguasa pasca Revolusi Pembebasan Nasional 1945 yang tidak tuntas, menjadikan negeri kapitalis yang perekonomiannya tergantung dan didominasi oleh kepentingan negeri- negeri imperialis.

Dalam kondisi semacam ini rakyat Indonesia hingga sekarang menjadi korban penghisapan dan perampasan kesejahteraan dan sumber daya alamnya oleh kaum imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri.


Sebelum kejatuhan Soeharto, dominasi modal asing telah terjadi di Indonesia. Penguasaan tersebut terdapat dalam industri sektor ekstraktif (pertambangan), sektor perakitan, dan manufaktur ringan baik secara langsung ataupun melalui perusahaan-perusahaan sub-kontraknya. Dominasi imperialisme ini meningkat signifikan setelah krisis ekonomi antara tahun 1997-1998.

Ketidakmampuan rezim Soeharto mengatasi krisis membuat satu per satu sektor ekonomi, baik di sektor produksi dan distribusi, sampai ke perencanaan ekonomi, diserahkan dan diambil alih oleh kapitalis asing.


Lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan internasional (IMF, Bank Dunia, WTO, Paris Club, CGI, dll) adalah konsorsium persekongkolan global yang mewakili kepentingan imperialis dari seluruh dunia untuk menghisap dan menjarah asset-aset ekonomi nasional negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Perdagangan bebas, liberalisasi investasi, liberalisasi sistem keuangan, penekanan belanja negara (termasuk pemotongan subsidi), obral murah aset-aset negara (privatisasi) yang berlangsung secara besar-besaran adalah manifestasi dari berjalannya satu proses formasi (pembentukan) modal yang baru: formasi modal dari kekuasaan yang lebih loyal kepada kepentingan kaum imperialis neo liberal. Kebijakan ini telah dikenal luas dengan sebutan neo-liberalisme.

Seperangkat Program Penyesuaian Struktural (SAP) adalah ciri yang dikenal umum dengan baik sebagai kapitalisme neo-liberal.


Kebijakan pemerintahan Jokowi - JK, sebagaimana pemerintahan sebelumnya, secara ketat berjalan dalam kerangka kapitalisme neo-liberal ini. Dalam waktu hampir lima tahun berkuasa, pelaksanaan kebijakan neo-liberal selalu didahulukan sehingga menguatkan karakternya yang khas sebagai kaki tangan kapitalis asing, khususnya yang bermodal besar.

Sudah cukup banyak bukti bahwa pemerintahan ini menjalankan bentuk-bentuk ekonomi neoliberal; melanjutkan apa yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya seperti mencabut subsidi (baik BBM, TDL, pupuk, iuran BPJS, dl), liberalisasi perdagangan seperti impor beras yang menyengsarakan petani, dan kebijakan-kebijakan pro pasar lainnya. Jadi untuk keuntungan siapa dan siapa yang harus menderita kerugian dari sistem kapitalisme neo liberal di dalam perekonomian Indonesia yang tergantung dan didoninasi oleh kepentingan kaum imperialis ini telah menjadi sangat jelas.


Pelaksanaan kebijakan ini tidaklah dijalankan sendiri oleh pemerintahan Jokowi JK, melainkan juga atas dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagian besar pemilik (pengontrol) media massa nasional, serta ahli-ahli ekonomi pendukungnya. Peran DPR dapat terlihat jelas dari politik anggaran yang tercantum dalam APBN. Sebagai contoh, porsi untuk membayar utang luar negeri jauh lebih besar daripada anggaran pendidikan dan kesehatan rakyat, serta keseluruhan anggaran pembangunan. Pola seperti ini juga telah berlangsung pada rejim sebelumnya pasca Soekarno.

Menjadi jelas, bahwa seluruh kekuatan yang berkuasa, atau para pemegang otoritas pemerintahan, berada di pihak kaum imperialis neo-liberal. Sementara di sisi lain kekuatan-kekuatan yang berada di posisi menentangnya belum dapat berada di seberangnya. Sampai sejauh ini pihak yang mewakili kepentingan kaum imperialis neo-liberal berada dalam posisi politik yang unggul, sedang di pihak yang menentangnya masih belum dapat melawan secara efektif dan mengubah imbangan politik tersebut.


Kepentingan pokok imperialisme di Indonesia saat ini berbeda dengan awal abad 20. Jika dahulu kaum imperialis-kolonialis menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi kapitalisme perkebunan (agraris), yakni untuk menghasilkan komoditi pertanian bagi pasar-pasar di Eropa, seiring dengan semakin pesatnya industri di negeri-negeri pusatnya imperialis-hasil penghisapan negara jajahan, kini kepentingan pokok dari kaum imperialis dan negeri-negeri imperialis terhadap negeri seperti Indonesia adalah menjadikannya sebagai sumber bahan baku utama bagi industri modern di negeri-negeri imperialis.


Sumber bahan baku apa yang dibutuhkan itu? Bukan lagi hasil-hasil pertanian dan perkebunan, karena sejak awal dekade 1970-an kemampuan produksi industri pertanian di negeri-negeri imperialis sendiri sudah sanggup dipenuhi sendiri. Ditambah lagi mulai banyak ditemukan bahan-bahan sintetis yang dapat menggantikannya. Bahkan jika kita lihat perkembangan ekonomi dewasa ini, karena berlebihnya produksi pertanian di negeri-negeri pusatnya mperialis, terjadi perang perdagangan di antara mereka sendiri, antara imperialis pertanian Eropa dengan Amerika, Amerika dengan Jepang dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan negeri-negeri seperti Indonesia, kepentingannya sudah berubah seratus delapan puluh derajat, yaitu, rakyat Indonesia hanya dibutuhkan sebagai pasar produk-produk pertanian, ini jelas tergambar dari pola kebijakan swasembada pangan yang digembar- gemborkan oleh rejim Jokowi - JK hanya dijadikan jargon politik semata. kebijakan yang terhadap produksi pertanian yang dijalankan malah membuka kran impor yang seluas-luasnya.


Lalu sumber bahan baku apa yang sungguh dibutuhkan? Sumber- Sumber dan hasil-hasil pertambangan minyak, energi, dan mineral di negeri- negen seperti Indonesia lah yang hingga sekarang terus mereka buru, dan bagaimanapun caranya untuk dikuasai, dan dikeruk keuntungannya. Untuk kepentingan apa? Pertama, untuk menghidupkan industri modern di negera mereka sendiri; karena banyak sumber-sumber energi dan mineral penting hingga kini belum bisa tergantikan dengan sumber-sumber sintetik atau rekayasa lainnya.

Kalaupun ada penemuan sulit dioperasionalkan karena bertabrakan kepentingan dengan raksasa-raksasa imperialis pertamba dan mineral yang sudah mapan. Kedua, hasil-hasil pengolahan sumber energi dan mineral yang bahan bakunya dari negeri-negeri seperti Indonesia, hasil- hasil produksinya selain untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dan barang konsumsi bagi negerinya sendiri bahkan juga diekspor ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.



Dari sinilah dapat dimengerti mengapa produksi baja terbesar justru berada di Jepang, sebuah negeri yang tidak mempunyai pertambangan bijih besi. Kebutuhan minyak untuk menopang industri menjadikan pula konsumsi minyak terbesar adalah juga di negeri-negeri imperialis utama.

Sehingga jelaslah motif Amerika Serikat dan para sekutunya menyerbu negara penghasil minyak Irak dan saat ini coba mengintervensi politik Venezuela dengan menjadikan kaum oposisi sebagai kaki tangannya untuk menjatuhkan pemerintahan Nicolás Maduro Moros dengan menghabiskan biaya ratusan miliar dollar, yaitu mengamankan politik imperialisnya di seluruh dunia, dengan cara apapun.

Oleh karena begitu dibutuhkan dan berharganya hasil- hasil pertambangan energi dan mineral, cara-cara politik apapun akan mereka digunakan, termasuk menjadi sponsor, otak, dan pendukung utama penggulingan rejim nasionalis Soekarmo dan pembantaian massal jutaan rakyat Indonesia dalam mendirikan kediktatoran Orde Baru, dan kini oleh karena epik kolonialisme dengan cara-cara militer sudah sulit untuk dijalankan, kaum imperialis dan pemerintahan nasionalnya menggunakan senjata-senjata baru. Senjata yang paling efektif dan mematikan adalah melalui politik hutang luar negeri. Kebijakan pembangunan yang selama ini dilakukan oleh rejim Jokowi - JK dengan membangun jalan, pelabuhan, dan bandara lewat pembiayaan hutang luar negeri telah menunjukkan wajah aslinya.

Pembangunan yang dilakukan ternyata tidak mampu mendorong maju pertumbuhan industri dasar seperti baja dan semen. alih-alih mendorong maju industri dasar baja dan semen dalam negeri, yang ada malah industri dasar dalam negeri yang dikuasai BUMN terancam bangkrut karena mengalami kerugian yang cukup besar. Ini merupakan konsekuensi logis dari politik hutang yang dilakukan pemerintah Indonesia kepada Cina.

Melalui senjata inilah begitu mudahnya kaum imperialis menerapkan liberalisasi investasi melalui kebijakan pemerintah. Bagi perekonomian nasional hutang luar negeri selain membuat takluk terhadap nafsu kaum imperialis untuk mengatur kebijakan serta menguasai kekayaan alam Indonesia juga telah menimbulkan beban nasional yang permanen, yaitu, terkurasnya keuangan negara. Dengan senjata ini pula, kaum imperialis dan pemerintahan nasionalnya juga mendapat keuntungan dari bunga, biaya komitmen, jasa kontraktor dan konsultan. 

Akibat dan dampak yang harus ditanggung oleh Rakyat Indonesia dari kebijakn hutang yang dilakukan pemerintah tidak kepalang tanggung besarnya: kekuatan produktif dalam negeri dilumpuhkan, dihambat, dan dihancurkan yang mengakibatkan industrialisasi nasional menjadi tidak bisa dijalankan, seluruh kebutuhan nasional dari barang modal (bahan baku, banan setengah jadi dan teknologi) hingga barang konsumsi selalu dijalankan dengan impor, impor, dan impor; sebagai dampak lanjutan dari kebangkrutan industri dalam negeri yaitu tingkat kesejahteraan rakyat terus merosot dan dan angka pengangguran Indonesia saat ini ada diurutan kedua terbanyak diantara Negara-negara ASEAN.


Sebelumnya artikel ini telah dimuat dalam buletin Garis Massa edisi 1 September 2019


Next Post
No Comment
Add Comment
comment url