Perempuan Dan Gerakan Perempuan Di Negara Miskin
https://teviwawointana.files.wordpress.com/2013/09/camila-vallejo-demonstran-cantik-dari-chile-002-mudasir.jpg |
Salah satu yang berhasil mempertahankan ciri gerakan massa perempuan yang politis, anti globalisme neoliberal dan tidak sektarian adalah organisasi payung perempuan Gabriella di Philipina. Perwakilan Gabriella di parlemen Philipina terus melanjutkan tradisi politik revolusioner Gabriella dengan terus terlibat aktif dalam gerakan anti imperialisme dan aksi-aksi anti Arroyo baru- baru ini.
Lain dengan Brazil dimasa kediktatoran, politisasi kaum perempuan di Brazil begitu cepat. Organisasi perempuan yang pada awalnya hanya membagikan susu pada ibu-ibu miskin berkembang menjadi gerakan anti kediktatoran yang meluas. Namun angka-angka yang mencerminkan kemajuan (politisasi) perempuan tersebut, seperti peningkatan 5 kali lipat kaum perempuan yang masuk Universitas hingga setara dengan jumlah laki-lakinya di akhir 80an; peningkatan 18, 5% populasi perempuan yang aktif secara ekonomi antara tahun 1970-1980, masih didominasi oleh perempuan klas menengah dan berkulit putih. Pada pertengahan 2003, Konfederasi Nasional Kaum Pekerja Pertanian (National Confederation of Agricultural Workers-CONTAG) dan organisasi-organisasi lainnya mengorganisir 30.000 kaum perempuan Brazil untuk menuntut akses terhadap tanah dan air, pelayanan kesehatan, kenaikan upah, dan peraturan untuk mencegah kekerasan seksual.
Di Chile presiden kiri tengah Michelle Bachelet menunjuk 10 perempuan dan 10 laki-laki dalam kabinetnya, juga Menteri Pertahanan dan staf serta menteri ekonominya. Namun semua itu belum tentu berarti bagi perjuangan pembebasan perempuan, karena Bachelet dari awal tak tegas menolak neolibealisme Di Bolivia, Presiden Evo Morales. membentuk kabinet yang sebagian besar berasal dari masyarakat adat, serikat pekerja dan kaum perempuan sektor-sektor yang paling parah menjadi sasaran neoliberalisme. Nila Heredia, seorang Professor Universitas dan juga pejuang pembela hak sipil dipilih sebagai Menteri Kesehatan, dan Casimira Rodriguez scorang antropologis dan aktivis perempuan menjadi Menteri Kehakiman/Peradilan
Setelah Kuba, Venezuela adalah negeri berikutnya yang sedang berjuang memberikan basis bagi pembebasan perempuan melalui Revolusi Bolivarian yang demokratik dan anti imperialisme. Konsitusi Republik Kelima Venezuela yang terkenal sebagai konstitusi paling baik melebihi Magna Charta, menjamin hak-hak perempuan secara khusus. Bahkan konstitusi diputuskan melalui referendum setelah sebelumnya kaum perempuan melalui Front Perempuan Konstitusional Pergerakan Republik Kelima (FCMMVR) mengorganisir aktivis-aktivis feminis, mantan-mantan pejuang gerilya perempuan, ibu-ibu rumah tangga, para profesional, dan anggota-anggota organisasi perempuan seperti Women for Venezuela dan United Women Leaders untuk mendata persoalan perempuan yang harus dijawab oleh Konstitusi. Hasilnya, konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa perempuan berhak atas kewarganegaraan penuh, berhak bersuara atas diskriminasi, pelecehan seksual dan kekerasan rumah tangga. Tak cukup sampai disitu, Konstitusi Venezuela adalah satu-satunya konstitusi di Amerika Latin yang menyatakan pekerjaan rumah tangga sebagai sebuah akivitas produktif secara ekonomi, dan menjamin ibu rumah tangga memperoleh jaminan sosial (pasal 88).
Konstitusi juga menghindari penggunaan bahasa yang seksis. Contohnya, terkait dengan sebutan orang konsititusi menggunakan baik kata presidente(mengacu ada presiden laki-laki) maupun presidenta (presiden perempuan). Untuk mengatasi 50% kaum pcrempuan yang bekerja di sektor informal dan berupah rendah, pemerintah Chavez membentuk Bank Pembangutnan Perempuan (BANMUJER) pada 8 Maret 2001. Bank memberikan pinjaman berbunga rendah kepada kelompok perempuan untuk berproduksi. Sering kali pinjaman-pinjaman tersebut tak mampu dikembalikan, namun landasan pembentukan BANMUJER bukanlah profit, melainkan kemajuan tenaga produktif perempuan. Hasilnya, partisipan program-program (mission) politik dan komunitas sosial, serta pertemuan- pertemuan politik lainnya, paling banyak oleh kaum perempuan. Hasil-hasil ini dipertahankan dengan pembentukan INAMUJER (National Institute for Women) yang dikoordinatori oleh Maria Leon (bekas pejuang gerilya dan aktivis perempuan). Tujuan utamanya adalah mempertahankan hak-hak politik yg saat ini sudah diperoleh dan meluaskannya hingga masyarakat demokratik secara politik sosial dan budaya menjamin pembebasan perempuan.
Perang Rakyat yang dimulai sejak Februari 1996 sampai saat ini di Nepal, meluas di 73 distrik dari 75 distrik. Mobilisasi kaum perempuan adalah yang terbanyak dalam perang tersebut. Diantara semua organisasi massa lainnya, organisasi perempuan, ANWA(R)All Nepalese Women's Association, adalah yang paling aktif dan paling militan dibarisan depan pergerakan bahkan kaum perempuan lebih dulu menyerahkan perhiasan-perhiasan warisan keluarganya untuk kepentingan perjuangan. Setelah diberlakukannya keadaan Darurat di bulan November 2001, semakin banyak perempuan yang diperkosa, dibunuh, dan hilang. Namun situasi ini tidak menyurutkan peningkatan partisipasi perempuan dalam Perang Rakyat di Nepal. Terkait erat dengan kepemimpinan Partai Komunis Nepal (CPN-Maois), lapangan perjuangan kaum perempuan adalah di dalam Partai, Ketentaraan, dan Front Persatuan. Saat ini semakin banyak kaum perempuan memiliki keberanian berontak melawan perkawinan yang menindas dan secara politik tidak tepat. Juga meningkatnya kecenderungan perempuan yang menjanda untuk menikah lagi (yang dikutuk oleh tradisi Hindu Ortodoks).
Dipalestina kaum perempuan juga terlibat dalam bermacam bentuk perlawanan, termasuk perjuangan bersenjata. Bahkan, perjuangan kaurn perempuan Palestina adalah inti dari sejarah keseluruhan periuangan rakyat Palestina. Pada Intifada pertama (1987), kaum perempuan berperan penting dalam memimpin demonstrasi, membangun komite- komite pelayanan rakyat, dan mempelopori kampanye boikot produk-produk Israel di Gaza dan West Bank. Mayoritas NGO perempuan yang bergantung pada pendanaan NGO perempuan negeri imperialis sering tak mengaitkan feminisme dengan kehendak pembebasan nasional perempuan Palestina. Kaum perempuan yang bergerak di jalan-jalan berkeyakinan bahwa akar penyebab penindasan mereka juga terkait dengan penjajahan/pendudukan negerinya. Kaum perempuan inilah yang bertahan dalam pergerakan pada Intifada kedua pasca Oslo. Ratusan kaum perempuan Hamas berperan besar di dalam berbagai Universitas, termasuk Universitas terbesar di Palestina Al-Najah, dimana pergerakan memperoleh kemenangan gemilang pada pemilihan dewan mahasiswa. Kaum perempuan Hamas menghendaki kesempatan yang sama untuk menyebarluaskan ideologi pergerakan ke sebanyak mungkin rumah rakyat Palestina mereka melakukan kuajungan rutin ke rumah- rumah di distrik-distrik ratusan keluarga Palestina. Peran besar mereka dan rekor pelayanan sipil, kesehatan dan bakti-bakti sosial untuk masyarakat tak bisa dikalahkan laki-laki. Hasilnya, kemenangan Hamas pada Pemilu di Palestina Januari lalu, serta ada pemilu tingkat kabupaten, dimana jumlah pendukung Hamas dari kalangan perempuan jauh lebih besar dibandingkan dari kalangan laki-laki dan Hamas menempatkan enam orang perempuan di parlemen. Rakyat mengakui bahwa "Sebelum Hamas (menjalankan programnya), perempuan tidak melek situasi politik. Hamas-lah yang menunjukkan dan menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Perempuan sekarang jauh lebih sadar.
Oleh : Diah Kusuma Ningrum (Bendahara EW- LMND Pandeglang)
Tulisan ini diambil dari buletin Garis Massa Edisi 1 september 2019