Persoalan Papua Dan Jalan Keluarnya
Hak untuk menentukan nasibnya sendiri kembali
terdengar dari ujung timur wilayah Republik Indonesia. Bahkan lebih massif dan
melibatkan banyak orang--puluhan ribu rakyat Papua meneriakkan referendum di
tengah Republik ini sedang merayakan hari kemerdekaannya yang ke-74 tahun.
Gelombang aksi massa ini dipicu dari beberapa kejadian penyerangan terhadap
mahasiswa Papua di sejumlah kota yang menggelar aksi massa memperingati
Perjanjian New York (New York Agreement) yang sudah berusia 56 tahun.
Sebenarnya hasrat untuk menentukan nasibnya sendiri seperti api dalam sekam,
dimana hasrat ini akan berkobar menjadi bara api yang besar jika terjadi
insiden yang dapat memicu rasa senasib bagi rakyat Papua. Rasa senasib yang
dirasakan oleh rakyat Papua adalah rasa senasib yang dirasakan oleh seluruh rakyat
Papua yang sejak pemerintahan orde baru ditindas oleh sistem kediktatoran
dengan menggunakan alat kekerasan negara dalam mengeksploitasi sumber daya alam
yang terkandung di bumi Papua.
Papua dan wiyah-wilayah yang termasuk ke dalam Republik Indonesia merupakan wilayah jajahan Belanda, inilah yang melandasi Presiden Republik Indonesia pertarma--Soekarno bersikeras bahwa dimana kesatuan ini didasarkan pada rasa senasib sepenanggungan sebagai wilayah yang dijajah oleh Belanda. Inilah basis history kenapa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya dari Sabang sampai Iran Jaya (baca : Papua) merunakan wilavah kesatuan yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia, Merauke pada 17 Agustus 1945. Empat tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda tetap saja belum mau hengkang dari Papua. Indonesia berusaha terus memaksa Belanda, salah satunya adalah melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), Konferensi ini berlangsung di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus Indonesis, kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke Indonesia 2 (dua) tahun kemudian.Pada tahun 1949. KMB itu diikuti dengan Pengakuan dan Penyerahan kekuasaan atas wilayah jajahan Belanda 1949.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Penyerahan itu dilakukan secara simbolis dengan dua upacara. Upacara pertama berlangsung di Amsterdam, di Istana Op de Dam, dihadiri oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta, sekaligus perdana menteri, sebagai pemimpin delegasi Indonesia dan Ratu Juliana serta segenap kabinet Belanda Upacara kedua berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dihadiri oleh wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana menteri Indonesia.
Penanganan persoalan Papua yang saat ini seakan tidak jauh beda dengan saat Orde Baru berkuasa, penanganannya masih saja menggunakan kekerasan. Rezim Jokowi JK seakan-akan tidak pernah belajar dari sejarah, bahwa kekerasan cara-cara militeristik tidak akan mampu menyelesailkan masalah, yang ada hanya akan membangkitkan perlawanan dan rasa dendam akan perlakuan yang diterimanya. Pemerintah seharusnya melakukan pendekatan yang lebih humanis dengan mengajak rakyat Papua untuk berdialog seluas-luasnya untuk mengatasi masalah Papua, menarik militer dari bumi Papua, dan menghentikan sementara segala jenis investasi yang mengeksploitasi sumberdaya alam bumi papua, pemerintah juga harus merevisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua dimana Undang-undang ini harus melibatkan secara aktif Orang Asli Papua dalam menentukan kebijakan, Orang Asli Papua jangan hanya dijadikan Objek kebijakan, tapi harus menjadi subjek dalam menentukan kebijakan. Pelibatan secara aktif Orang Asli Papua ini haruslah difasilitasi dengan membentuk Dewan Rakyat Papua (DRP). DRP ini merupakan perwakilan dari suku-suku yang ada di Papua dan perwakilan dari partai politik yang dipilih mealui Pemilihan Umum. Pembentukan lembaga ini berlandaskan pada mandulnya Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dibentuk oleh Undang-undang Otonomi Khusus, dalam tugas dan fungsinya tidak signifikan dalam menentukan kebijakan bagi bumi dan rakyat Papua, karena MRP terpisah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR) MRP tak ubahnya sebagai lembaga stempel kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (baca Gubernur dan DPRP) serta pemerintah pusat. Revisi Undang-undang Otonomi Khusus harus lebih mengutamakan aspek sosiologis rakyat Papua, sehingga Undang-undang vang dibentuk benar-benar mengakomodir keinginan rakyat Papua yang terdiri dari suku-suku adat.
Oleh : Syamsul Ma'arief (Ketua Departemen Pengembangan Organisasi EW-LMND Banten)
Tulisan ini diambil dari bulletin Garis Massa edisi: 1 September 2019
Papua dan wiyah-wilayah yang termasuk ke dalam Republik Indonesia merupakan wilayah jajahan Belanda, inilah yang melandasi Presiden Republik Indonesia pertarma--Soekarno bersikeras bahwa dimana kesatuan ini didasarkan pada rasa senasib sepenanggungan sebagai wilayah yang dijajah oleh Belanda. Inilah basis history kenapa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya dari Sabang sampai Iran Jaya (baca : Papua) merunakan wilavah kesatuan yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia, Merauke pada 17 Agustus 1945. Empat tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda tetap saja belum mau hengkang dari Papua. Indonesia berusaha terus memaksa Belanda, salah satunya adalah melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), Konferensi ini berlangsung di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus Indonesis, kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke Indonesia 2 (dua) tahun kemudian.Pada tahun 1949. KMB itu diikuti dengan Pengakuan dan Penyerahan kekuasaan atas wilayah jajahan Belanda 1949.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Penyerahan itu dilakukan secara simbolis dengan dua upacara. Upacara pertama berlangsung di Amsterdam, di Istana Op de Dam, dihadiri oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta, sekaligus perdana menteri, sebagai pemimpin delegasi Indonesia dan Ratu Juliana serta segenap kabinet Belanda Upacara kedua berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dihadiri oleh wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana menteri Indonesia.
Penanganan persoalan Papua yang saat ini seakan tidak jauh beda dengan saat Orde Baru berkuasa, penanganannya masih saja menggunakan kekerasan. Rezim Jokowi JK seakan-akan tidak pernah belajar dari sejarah, bahwa kekerasan cara-cara militeristik tidak akan mampu menyelesailkan masalah, yang ada hanya akan membangkitkan perlawanan dan rasa dendam akan perlakuan yang diterimanya. Pemerintah seharusnya melakukan pendekatan yang lebih humanis dengan mengajak rakyat Papua untuk berdialog seluas-luasnya untuk mengatasi masalah Papua, menarik militer dari bumi Papua, dan menghentikan sementara segala jenis investasi yang mengeksploitasi sumberdaya alam bumi papua, pemerintah juga harus merevisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua dimana Undang-undang ini harus melibatkan secara aktif Orang Asli Papua dalam menentukan kebijakan, Orang Asli Papua jangan hanya dijadikan Objek kebijakan, tapi harus menjadi subjek dalam menentukan kebijakan. Pelibatan secara aktif Orang Asli Papua ini haruslah difasilitasi dengan membentuk Dewan Rakyat Papua (DRP). DRP ini merupakan perwakilan dari suku-suku yang ada di Papua dan perwakilan dari partai politik yang dipilih mealui Pemilihan Umum. Pembentukan lembaga ini berlandaskan pada mandulnya Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dibentuk oleh Undang-undang Otonomi Khusus, dalam tugas dan fungsinya tidak signifikan dalam menentukan kebijakan bagi bumi dan rakyat Papua, karena MRP terpisah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR) MRP tak ubahnya sebagai lembaga stempel kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (baca Gubernur dan DPRP) serta pemerintah pusat. Revisi Undang-undang Otonomi Khusus harus lebih mengutamakan aspek sosiologis rakyat Papua, sehingga Undang-undang vang dibentuk benar-benar mengakomodir keinginan rakyat Papua yang terdiri dari suku-suku adat.
Oleh : Syamsul Ma'arief (Ketua Departemen Pengembangan Organisasi EW-LMND Banten)
Tulisan ini diambil dari bulletin Garis Massa edisi: 1 September 2019