Ilusi Kampus Yang Membina Bangsa
“Kita harus turun tangan, mengenal lingkungan dan merumuskan keadaan. Masa depan harus dalam genggaman. Bergeraklah bersama, sekarang!”
Masa transisi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bina Bangsa menjadi Universitas belum berlalu, sangat jauh dari kata berhasil! Mahasiswa baru lagi-lagi hadir ditengah kompleksnya persoalan yang tak kunjung usai, minimnya kesiapan Rektorat untuk melangsungkan penyelenggaraan pendidikan maupun kesiapan bersama seluruh organisasi intra Perguruan Tinggi untuk menaungi ‘benih-benih’ bangsa masa depan. Sudah sepatutnya kita mengakui bahwa begitu banyaknya keresahan sama yang lama dan di alami bersama oleh seluruh mahasiswa maupun antar organisasi mahasiswa, keresahan-keresahan yang berada dibalik tirai ketidaktahuan atau bahkan ketidakpedulian yang sejatinya bisa dihilangkan.
Hanya saja sampai saat ini mahasiswa belum menemukan simpul ‘benang merah’ untuk mengakhiri seluruh problematika yang terjadi, nampak seakan-akan kampus memang seperti itu adanya, sekedar kegiatan belajar mengajar didalam kelas tanpa ada kelanjutan diluar kelas selain tumpukan tugas dari dosen yang terasa membebani, tugas pun tidak mungkin dikerjakan di wilayah kampus dalam kondisi sulitnya mengakses wifi yang seharusnya difasilitasi dengan baik oleh kampus, hal ini semakin mempertegas ketidaknyamanan mahasiswa dalam menempuh pendidikan dalam kecanggihan teknologi dunia.
Maka ilmu pengetahuan mengalami stagnasi di ranah akademik sekalipun. Terkesan Pendidikan Tinggi hanya menjadi formalitas untuk mendapat selembar kertas yang diistimewakan bernama Ijazah disertai gelar agungnya, propaganda yang di gembar-gemborkan guna kehidupan berbahagia setelah lulus, mampu ditukar berupa pekerjaan dengan uang berlimpah. Kini mahasiswa seperti wayang kehilangan dalang yang penuh ketidakberdayaan, menjalani kehidupan tanpa gairah. Sehingga akhirnya kerugian jatuh kepada mahasiswa sendiri; terasingkan oleh tanggung jawab moral, intelektual dan sosial.
Sekiranya marilah sejenak sudi menengok sedikit ke pedalaman kampus yang belum lama berevolusi menjadi Universitas, dimulai dari Program Studi yang disediakan, berbasis teknologi berdasarkan persetujuan negara dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0, dilakukan tanpa perbandingan guna keseimbangan pada keseluruhan Program Studi yang berorientasi kepada kebutuhan rakyat dan perkembangan zaman, seakan sedang berlari menggapai ‘Tuhan-Tuhan Digital’ atau tidak lain hanya memenuhi kebutuhan pasar.
Herannya lagi, tampilan layar (website) akademik dimodivikasi dari tampilan layar sebelumnya yang tanpa perhitungan matang berdampak pada rusaknya sistem informasi yang biasa digunakan Mahasiswa untuk mengisi KRS Online. Untung saja infrastruktur (gedung) mulai dibangun, jika tidak, sangat reformis sejati, terlalu mengedepankan perubahan bentuk/kuantitas tanpa memperhatikan kualitas. Walaupun sudah menjadi kebutuhan dalam membangun infrastruktur, sebab selain perubahan STIE menjadi Universitas, uang kuliah mahasiswa baru pada setiap tahun ajaran baru selalu naik dari tahun sebelumnya.
Pada dasarnya tidak ada perubahan di kampus selain pertambahan Program Studi, dan demi menjaga nama baik Universitas dimata dunia, struktur-struktur baru organisasi mahasiswa tiba-tiba muncul ke permukaan gelanggang civitas akademika atas dasar intruksi Rektorat, dibentuk bukan berdasarkan kesadaran mahasiswa akan kebutuhan berorganisasi. Dan organisasi yang sudah ada sebelumnya sedang kalang-kepayang seperti biasanya, pengulangan-pengulangan peristiwa yang terus menerus sama persoalannya, bahkan nanti pun mungkin akan terjadi kembali, yaitu salah menyalahkan atas ketiadaan garis koordinasi yang jelas secara tegas antar organisasi semakin melemahkan kekuatan organisasi secara menyeluruh, hal ini juga melatarbelakangi BEM dan DPM Universitas bertindak diluar fungsinya dan terkesan hanya terlihat sebagai forum komunikasi tanpa kedaulatan, bukan sebagai pelaku sejarah, konseptor sekaligus eksekutor. Disisi lain, seluruh organisasi selalu dibatasi ruang geraknya dan jalur birokrasi amat rumit yang sengaja dibuat rumit serta pemotongan anggaran kebutuhan secara besar-besaran dalam melakukan kegiatan.
Padahal kampus menuntut mahasiswa menjadi kreatif dan inovativ, tentu saja pada garis haluan kebermanfaatan, dan hal itu hanya dapat terlaksana jika mahasiswa memiliki kebebasan akademik maupun mimbar, tidak luput daripada dukungan penuh pihak Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi, tanggungjawabnya terhadap civitas akademik. Faktor kebebasan dan dukunganlah yang mampu membuat ilmu pengetahuan senantiasa berkembang. Adapun kedudukan organisasi intra Perguruan Tinggi merupakan pelengkap non-struktural Perguruan Tinggi, artinya organisasi memiliki keluasan beraktifitas, dibangun berdasarkan kebutuhan seluruh umat manusia pada masa yang akan datang, seminimal mungkin berfungsi sebagai wadah untuk membantu menemukan dan atau mengembangkan setiap potensi mahasiswa. Maka tepatlah bahwa mahasiswa dengan naluriah masa mudanya harus berkreasi dan berinovasi atas banyaknya waktu luang, kejernihan berfikir dan nuraninya terlibat berorganisasi yang memiliki keluasan beraktifitas; kondisi subjektif yang ingin meluaskan pandangan dan kondisi objektif bahwa kampus sedang tidak baik-baik saja.
Sebab kampus periode abad 21 harus tetap pada jalurnya, sebagai taman pengetahuan yang menguji kesesuaian perkembangan zaman dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat atau dunia para pecinta kebenaran dengan nilai-nilai keilmiahan, dalam rangka meregenerasi manusia-manusia Indonesia supaya membangun peradaban di tanah air tanpa ada lagi penindasan.
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) memiliki keluasan otonomi dan bersifat nirlaba, artinya seluruh pengelolaan pada PTS diatur oleh Badan Penyelenggara (kepemilikan pribadi berbadan hukum) dan diselenggarakan bukan demi keuntungan uang semata. Oleh karena itu, negara tidak lagi mencampuri segala urusan pada PTS sebagai kelanjutan dari ketidaksanggupan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau kekuasaan memang cenderung korup, tidak mempedulikan tanggungjawabnya kepada rakyat sebagai kewajiban utama, hanya mengurusi persoalan investasi pembangunan ditambah kemudahan perizinan dengan mengorbankan hak-hak rakyat kecil, fokus pada pertumbuhan ekonomi yang justru distribusi keuntungannya tidak merata dan terjadinya penggelembungan harta pada segelintir orang. Penindasan terhadap rakyat semakin meluas, begitu pula pendidikan yang tidak luput daripadanya. Tidaklah mengherankan apabila tindakan-tindakan pengekangan dilakukan sebagai suatu upaya pelemahan ruang gerak mahasiswa, dan tidak adanya kesamaan kehendak semakin mempermudah untuk melemahkan sekalipun mengalami kesamaan nasib. Lagi pula jelas selama ini belum pernah ada rumusan atau konsep mengenai sistem dan bentuk pemerintahan mahasiswa, maka kewenangannya hanya berdasar kehendak pribadi, tanpa batasan dan tidak terbantahkan, seperti halnya kepuasan manusia. Sehingga membentuk karakter kampus hanya menjadi menara gading yang jauh dari lingkungannya, kehilangan peran kemasyarakatannya.
Namun kesempatan senantiasa menunggu keputusan untuk mengakhiri penindasan dengan keberanian, semangat persatuan dan arah perjuangan. Tepatlah kiranya Konstitusi tertulis atas kesepakatan bersama seluruh organisasi menjadi jalan keluar sebagai landasan dasar otoritas bersama, dimana setiap organisasi memiliki hak setara dan menjamin keberlangsungan aktifitas satu sama lain. Meleburkan diri sebagai satu kesatuan Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Bina Bangsa supaya mengupayakan keamanan dan kenyamanan bersama.
“Jika kehidupan memang tentang cinta, maka rayakanlah dan #MenangkanPancasila.”
Penulis: Reky Pamungkas (Ketua Eksekutif Wilayah LMND Banten,)
Masa transisi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bina Bangsa menjadi Universitas belum berlalu, sangat jauh dari kata berhasil! Mahasiswa baru lagi-lagi hadir ditengah kompleksnya persoalan yang tak kunjung usai, minimnya kesiapan Rektorat untuk melangsungkan penyelenggaraan pendidikan maupun kesiapan bersama seluruh organisasi intra Perguruan Tinggi untuk menaungi ‘benih-benih’ bangsa masa depan. Sudah sepatutnya kita mengakui bahwa begitu banyaknya keresahan sama yang lama dan di alami bersama oleh seluruh mahasiswa maupun antar organisasi mahasiswa, keresahan-keresahan yang berada dibalik tirai ketidaktahuan atau bahkan ketidakpedulian yang sejatinya bisa dihilangkan.
Hanya saja sampai saat ini mahasiswa belum menemukan simpul ‘benang merah’ untuk mengakhiri seluruh problematika yang terjadi, nampak seakan-akan kampus memang seperti itu adanya, sekedar kegiatan belajar mengajar didalam kelas tanpa ada kelanjutan diluar kelas selain tumpukan tugas dari dosen yang terasa membebani, tugas pun tidak mungkin dikerjakan di wilayah kampus dalam kondisi sulitnya mengakses wifi yang seharusnya difasilitasi dengan baik oleh kampus, hal ini semakin mempertegas ketidaknyamanan mahasiswa dalam menempuh pendidikan dalam kecanggihan teknologi dunia.
Maka ilmu pengetahuan mengalami stagnasi di ranah akademik sekalipun. Terkesan Pendidikan Tinggi hanya menjadi formalitas untuk mendapat selembar kertas yang diistimewakan bernama Ijazah disertai gelar agungnya, propaganda yang di gembar-gemborkan guna kehidupan berbahagia setelah lulus, mampu ditukar berupa pekerjaan dengan uang berlimpah. Kini mahasiswa seperti wayang kehilangan dalang yang penuh ketidakberdayaan, menjalani kehidupan tanpa gairah. Sehingga akhirnya kerugian jatuh kepada mahasiswa sendiri; terasingkan oleh tanggung jawab moral, intelektual dan sosial.
Sekiranya marilah sejenak sudi menengok sedikit ke pedalaman kampus yang belum lama berevolusi menjadi Universitas, dimulai dari Program Studi yang disediakan, berbasis teknologi berdasarkan persetujuan negara dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0, dilakukan tanpa perbandingan guna keseimbangan pada keseluruhan Program Studi yang berorientasi kepada kebutuhan rakyat dan perkembangan zaman, seakan sedang berlari menggapai ‘Tuhan-Tuhan Digital’ atau tidak lain hanya memenuhi kebutuhan pasar.
Herannya lagi, tampilan layar (website) akademik dimodivikasi dari tampilan layar sebelumnya yang tanpa perhitungan matang berdampak pada rusaknya sistem informasi yang biasa digunakan Mahasiswa untuk mengisi KRS Online. Untung saja infrastruktur (gedung) mulai dibangun, jika tidak, sangat reformis sejati, terlalu mengedepankan perubahan bentuk/kuantitas tanpa memperhatikan kualitas. Walaupun sudah menjadi kebutuhan dalam membangun infrastruktur, sebab selain perubahan STIE menjadi Universitas, uang kuliah mahasiswa baru pada setiap tahun ajaran baru selalu naik dari tahun sebelumnya.
Pada dasarnya tidak ada perubahan di kampus selain pertambahan Program Studi, dan demi menjaga nama baik Universitas dimata dunia, struktur-struktur baru organisasi mahasiswa tiba-tiba muncul ke permukaan gelanggang civitas akademika atas dasar intruksi Rektorat, dibentuk bukan berdasarkan kesadaran mahasiswa akan kebutuhan berorganisasi. Dan organisasi yang sudah ada sebelumnya sedang kalang-kepayang seperti biasanya, pengulangan-pengulangan peristiwa yang terus menerus sama persoalannya, bahkan nanti pun mungkin akan terjadi kembali, yaitu salah menyalahkan atas ketiadaan garis koordinasi yang jelas secara tegas antar organisasi semakin melemahkan kekuatan organisasi secara menyeluruh, hal ini juga melatarbelakangi BEM dan DPM Universitas bertindak diluar fungsinya dan terkesan hanya terlihat sebagai forum komunikasi tanpa kedaulatan, bukan sebagai pelaku sejarah, konseptor sekaligus eksekutor. Disisi lain, seluruh organisasi selalu dibatasi ruang geraknya dan jalur birokrasi amat rumit yang sengaja dibuat rumit serta pemotongan anggaran kebutuhan secara besar-besaran dalam melakukan kegiatan.
Padahal kampus menuntut mahasiswa menjadi kreatif dan inovativ, tentu saja pada garis haluan kebermanfaatan, dan hal itu hanya dapat terlaksana jika mahasiswa memiliki kebebasan akademik maupun mimbar, tidak luput daripada dukungan penuh pihak Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi, tanggungjawabnya terhadap civitas akademik. Faktor kebebasan dan dukunganlah yang mampu membuat ilmu pengetahuan senantiasa berkembang. Adapun kedudukan organisasi intra Perguruan Tinggi merupakan pelengkap non-struktural Perguruan Tinggi, artinya organisasi memiliki keluasan beraktifitas, dibangun berdasarkan kebutuhan seluruh umat manusia pada masa yang akan datang, seminimal mungkin berfungsi sebagai wadah untuk membantu menemukan dan atau mengembangkan setiap potensi mahasiswa. Maka tepatlah bahwa mahasiswa dengan naluriah masa mudanya harus berkreasi dan berinovasi atas banyaknya waktu luang, kejernihan berfikir dan nuraninya terlibat berorganisasi yang memiliki keluasan beraktifitas; kondisi subjektif yang ingin meluaskan pandangan dan kondisi objektif bahwa kampus sedang tidak baik-baik saja.
Sebab kampus periode abad 21 harus tetap pada jalurnya, sebagai taman pengetahuan yang menguji kesesuaian perkembangan zaman dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat atau dunia para pecinta kebenaran dengan nilai-nilai keilmiahan, dalam rangka meregenerasi manusia-manusia Indonesia supaya membangun peradaban di tanah air tanpa ada lagi penindasan.
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) memiliki keluasan otonomi dan bersifat nirlaba, artinya seluruh pengelolaan pada PTS diatur oleh Badan Penyelenggara (kepemilikan pribadi berbadan hukum) dan diselenggarakan bukan demi keuntungan uang semata. Oleh karena itu, negara tidak lagi mencampuri segala urusan pada PTS sebagai kelanjutan dari ketidaksanggupan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau kekuasaan memang cenderung korup, tidak mempedulikan tanggungjawabnya kepada rakyat sebagai kewajiban utama, hanya mengurusi persoalan investasi pembangunan ditambah kemudahan perizinan dengan mengorbankan hak-hak rakyat kecil, fokus pada pertumbuhan ekonomi yang justru distribusi keuntungannya tidak merata dan terjadinya penggelembungan harta pada segelintir orang. Penindasan terhadap rakyat semakin meluas, begitu pula pendidikan yang tidak luput daripadanya. Tidaklah mengherankan apabila tindakan-tindakan pengekangan dilakukan sebagai suatu upaya pelemahan ruang gerak mahasiswa, dan tidak adanya kesamaan kehendak semakin mempermudah untuk melemahkan sekalipun mengalami kesamaan nasib. Lagi pula jelas selama ini belum pernah ada rumusan atau konsep mengenai sistem dan bentuk pemerintahan mahasiswa, maka kewenangannya hanya berdasar kehendak pribadi, tanpa batasan dan tidak terbantahkan, seperti halnya kepuasan manusia. Sehingga membentuk karakter kampus hanya menjadi menara gading yang jauh dari lingkungannya, kehilangan peran kemasyarakatannya.
Namun kesempatan senantiasa menunggu keputusan untuk mengakhiri penindasan dengan keberanian, semangat persatuan dan arah perjuangan. Tepatlah kiranya Konstitusi tertulis atas kesepakatan bersama seluruh organisasi menjadi jalan keluar sebagai landasan dasar otoritas bersama, dimana setiap organisasi memiliki hak setara dan menjamin keberlangsungan aktifitas satu sama lain. Meleburkan diri sebagai satu kesatuan Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Bina Bangsa supaya mengupayakan keamanan dan kenyamanan bersama.
“Jika kehidupan memang tentang cinta, maka rayakanlah dan #MenangkanPancasila.”
Penulis: Reky Pamungkas (Ketua Eksekutif Wilayah LMND Banten,)