Jilid l Pemerintahan Jokowi-Jk Dalam Kacamata Anak Bangsa
Presiden terpilih akan segera dilantik. Sebagai petahana yang telah memenangkan pilpres, ada banyak catatan merah pada periode sebelumnya yang tidak mampu dituntaskan secara serius oleh pemerintah. Terlepas kemenangan yang kedua ini dijadikan dalih untuk memperbaiki semuanya, meningkatan dalam semua sektor yang menyangkut kepentingan publik makin memprihatinkan dipenghujung kekuasaannya ini. Tentu hal ini menjadi landasan bagi siapa saja yang bahwa dalam periode kedua ini segala persoalan urgent akan mampu diselesaikan oleh pemerintah.
Fakta ilmiahnya, sejumlah regulasi yang disahkan dalam akhir kekuasaannya, semua aturan diliberalisasi demi memberikan karpet merah seluas-luasnya untuk kelas-kelas pemodal. Bagaimana dengan kelas bawah, Apakah semua kebijakan yang disahkan akhir-akhir ini menguntungkan untuk mereka?
Sejak paket UU yang pro rakyat akan direvisi, gelombang massa diberbagi daerah memprotes secara besar-besaran. Hasilnya, pemerintah dengan berbagai upaya mencoba meredam supaya radikalisasi gerakan dilapisan kelas bawah dan kelas tersadarkan ini tidak berkelanjutan. Alhasil, beberapa regulasi yang sedang diotak-atik ditunda pengesahannya, disisi lain, pemerintah juga melakukan intimidasi keberbagai kampus dan sekolah agar melarang peserta didiknya tidak melakukan unjuk rasa. Upaya ini bisa saja dikatan berhasil untuk sementara waktu, tetapi ada point penting yang musti dicatat, sebuah perlawanan selalu lahir dari ketertindasan. Dan kebangkitan perlawanan itu mungkin saja cukup dengan metode agitasi, sebuah rasa akan tumbuh dengan sendirinya dari ketertekanan, gairah untuk berlawan itu akan lahir dengan menggebu-gebu.
Pendidikan
Pendidikan merupakan hak dasar warga negara yang pemerintah sepenuh-penuhnya harus memberikan akses yang merata terhadap lapisan masyarakat diberbagai daerah. Serta memberikan jaminan akses biaya yang tidak memberatkan pada pesera didik. Namun, tidak demikian adanya. Diperguruan tinggi, sejak disahkannya UU No 12 Tahun 2012, pemerintah malah memberikan wewenang terhadap orang perorangan untuk mengelola secara leluasa lembaga pendidikan.
Akhirnya, dunia pendidikan tidak lagi berorientasi pada mencerdaskan kehidupan bangsa, namun diarahkan kepada pasar dimana setiap lulusan-lulusan perguruan tinggi diarahkan pada dunia kerja. Ditengah lapangan kerja yang desak-desakan, tentu ini menjadi faktor menjamurnya pengangguran yang terus menerus meningkat. Alih-alih Orientasi pendidikan yang semakin tidak menentu, Mendikbud malah ingin adanya upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui ekspor rektor dari luar. Tentu saja ini cukup menggelitik.
Nampaknya, peningkatan mutu pendidikan tidak melulu ditentukan oleh tenaga-tenaga pengajarnya saja. Faktor lain yang juga amat menopang tentu saja sarana prasarana yang memadai dalam segala hal pemenuhan kebutuhan peserta didik di lingkungan akademiknya. Seperti mudahnya mengakses referensi dan bacaan-bacaan yang luas dan lengkap di perpustakaan yang disediakan, metode pendidikan atau sistem pendidikan yang diperbaharui serta nyamannya belajar mengajar di kelas agar tidak berkesan monoton. Ditengah maraknya pembangunan kampus dimana-mana, ini semua dilakukan hanya untuk sekadar mengejar akreditasi atau pemenuhan penampungan peserta didik baru yang semakin hari semakin membengkak. Sementara setiap dibuka prodi baru di Kampus, pemenuhan standar keilmuan lewat fasilitas perpus tidak diperhatikan secara baik. Wajar saja, setiap lulusan-lulusan yang dihasilan tidak kompeten dibidangnya masing-masing.
Itu dilingkungan perguruan tinggi, Belum lagi soal sistem zonasi yang diberlakukan baru-baru ini lewat Permendikbud No. 51/2018 di sekolah. Ditengah akses pendidikan yang tidak merata disemua daerah, pemberlakuan sistem ini cukup merugikan masyarakat yang ada dipedalaman. Masih banyak kiranya di berbagai daerah terpencil sekolah-sekolah sampai jenjang menengah keatas mampu dinikmati oleh masyarakat di zonanya masing-masing.
Namun, wacana peningkatan anggaran yang akan dikeluarkan dikemudian hari oleh negara, moga-moga pula dibarengi dengan perombakan sistem pendidikan dengan berporoskan pada amanat UUD 1945 supaya Indonesia kedepan dipegang oleh generasi-generasi yang sadar bahwa bangsanya sedang dicengkram oleh imperialisme yang menyengsarakan rakyat banyak
Kesehatan
Kesehatan adalah pula sama pentingnya dalam sebuah negara, dan merupakan sepenuh-penuhnya tanggung jawab negara pula. Selama lima tahun Indonesia didalam kendali kepemimpinan Jokowi-JK, sejumlah kebijakan mengenai kesehatan tidak berarti apa-apa. Taraf kesehatan masyarakat Indonesia sampai diakhir kekuasaanya dalam periode pertama ini cukup menjadi bukti, pelayanan pemerintah untuk masyarakat mampu secara mudah mengakses kesehatan diabaikan. Ada sejumlah langkah penting yang luput dari perhatian pemerintah sehingga berdampak buruk bagi kelangsungan hidup sehat manusia antara lain: penyakit kronis, penyakit menular, dan sakit jiwa. Maraknya tiga jenis penyakit ini seharusnya pemerintah sudah ambil sikap untuk melakukan upaya pencegahan secara serius.
Dilansir dari ccnindonesia.com Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukan, prevalensi sejumlah kondisi kesehatan meningkat dibandingkan Riskesdas 2013. Tekanan darah tinggi atau hipertensi naik dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen.
Data yang diisebut dimuka mengindikasikan, ditengah kegagalan pemerintah melakukan kampanye Gerakan Masyarakat Sehat (Germas), evaluasi kerja tidak getol dilakukan untuk memperbaiki berbagai kegagalan program yang dibuat pemerintah. Akhirnya berkesan, semua program yang dibuat untuk mengajak supaya masyarakat membiasakan diri hidup sehat tidak ubahnya sebagai formalitas belaka yang tidak memberikan dampak yang berpengaruh untuk kesehatan masyarakat.
Disisi lain, akses kesehatan yang baru-baru ini diwacanakan naik oleh pemerintah semakin membuat masyarakat susah dan sengsara. Aturan hukum yang nanti akan disahkan memuat antara lain kenaikan iuran dan sangsi bagi penunggak iuran.
Faktor kenapa iuran kesehatan ini harus dinaikan tentu saja alasannya karena ada defisit dalam tubuh BPJS. Sejak pemberlakuannya di 2014 lalu, issu defisit ini sudah meramaikan publik. Tentang betul atau tidaknya, pemerintah agaknya sulit untuk ikut campur dalam pembuktian itu karena BPJS bukan lagi lembaga sosial yang mudah diakses dalam kondisi-kondisi tertentu dan mendesak. BPJS merupakan badan milik orang perorangan yang berbadan hukum langsung dibawah kordinasi presiden
Pembebanan biaya yang besar kepada masyarakat peserta BPJS terkesan negara melepaskan tanggung jawab sepenuh-penuhnya dalam urusan kesehatan. Jika dalam periode kedua ini pemerintah tidak melakukan efaluasi secara detail mengenai persoalan tersebut, dan program BPJS terus diberlakukan, masa depan Indonesia membawa rakyatnya sehat untuk lima tahun kedepan tentu cukup memprihatinkan dan gagal. Kenaikan iuran yang cukup besar tersebut, belum tentu juga defisit mampu terselesaikan, kecuali pemerintah berani sepenuh-penuhnya mengembalikan badan ini menjadi Jamkesmas.
Pertanahan
UUPA 1960 dimana “Tanah Untuk Rakyat” menjadi spirit yang menjiwai undang-undang tersebut menjadi satu persoalan yang serius ketika ada wacana pemerintah ingin merubahnya untuk memudahkan akses pemodal dalam melakukan investasi. Sebagaimana mestinya tanah, ia merupakan sumber penghidupan manusia yang paling pokok diantara sumber-sumber penghidupan yang lain. Karena darinya manusia tercipta dan meneruskan keturunan dan darinya manusia menyambung tali temali kehidupan. Ketika sumber pokok ini harus pula diliberalisasi dan pengelolaannya diberikan pada korporasi untuk dieksploitasi sumber daya alamnya, papua sebagai sumber mas dan uranium dan kalimantan, dimana tanah tanahnya penuh dengan galian lubang dieksploitasi batu baranya untuk memasok kebutuhan listrik, menjadi contoh yang objektif yang darinya kita harus belajar bagaimana brutalnya korporasi dalam menjalankan bisnisnya.
Dampak kerusakan lingkungan yang dihasilan dari aktifitas pengerukan tersebut luar biasa besar sehingga merusak ekosistem alam yang paling istimewa kita miliki juga berimplikasi pada kesehatan serta penghidupan masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Belum lagi soal zonasi laut, pengembangan bibit unggul oleh petani, masa depan perempuan ditengah cengkraman patriarkis serta berbagai permasalahan-permasalahan lain yang menyangkut hak-hak dasar warga negara Indonesia, semuanya dikerdilkan oleh negara untuk pengabdiannya yang besar terhadap pemodal.
Tentu saja, peran negara yang sudah diluar batas ini harus dicegah dengan cara mendidik lapisan-lapisan masyarakat yang termarjinalkan untuk melawan dan mendorong negara agar kembali dari cara pandangnya yang kapitalistik menuju berkepribadian bangsa yang utuh, yakni Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal cara pandang yang utuh tersebut, tentu aja Pancasila dan UUD 1945 dalam kesehariannya tidak sebatas menjadi kata-kata yang esensinya mati, tapi diimplementasikan dengan baik dan benar. Hampir semua warga Negara meyakini bahwa Pancasila menjadi dasar yang kokoh dan tidak tergantikan. Namun itu semua bisa kita uji dengan penerapan yang betul betul diterapkan dalam berbangsa dan bernegara.
Adapun sebagian orang yang menganggap bahwa Pancasila tidak lagi ideal, argumen mendasar dari itu adalah karena negara gagal dan tidak mampu mempraktekkan pancasila dalam membawa manusia Indonesia kepada adil makmur dan negara berkesejahteraan yang dulu pernah menjadi ratapan bersama oleh para pendiri bangsa Indonesia.
Penulis: Syamsul Ma'arief (Ketua Departemen Pengembangan Organisasi LMND Banten)
Fakta ilmiahnya, sejumlah regulasi yang disahkan dalam akhir kekuasaannya, semua aturan diliberalisasi demi memberikan karpet merah seluas-luasnya untuk kelas-kelas pemodal. Bagaimana dengan kelas bawah, Apakah semua kebijakan yang disahkan akhir-akhir ini menguntungkan untuk mereka?
Sejak paket UU yang pro rakyat akan direvisi, gelombang massa diberbagi daerah memprotes secara besar-besaran. Hasilnya, pemerintah dengan berbagai upaya mencoba meredam supaya radikalisasi gerakan dilapisan kelas bawah dan kelas tersadarkan ini tidak berkelanjutan. Alhasil, beberapa regulasi yang sedang diotak-atik ditunda pengesahannya, disisi lain, pemerintah juga melakukan intimidasi keberbagai kampus dan sekolah agar melarang peserta didiknya tidak melakukan unjuk rasa. Upaya ini bisa saja dikatan berhasil untuk sementara waktu, tetapi ada point penting yang musti dicatat, sebuah perlawanan selalu lahir dari ketertindasan. Dan kebangkitan perlawanan itu mungkin saja cukup dengan metode agitasi, sebuah rasa akan tumbuh dengan sendirinya dari ketertekanan, gairah untuk berlawan itu akan lahir dengan menggebu-gebu.
Pendidikan
Pendidikan merupakan hak dasar warga negara yang pemerintah sepenuh-penuhnya harus memberikan akses yang merata terhadap lapisan masyarakat diberbagai daerah. Serta memberikan jaminan akses biaya yang tidak memberatkan pada pesera didik. Namun, tidak demikian adanya. Diperguruan tinggi, sejak disahkannya UU No 12 Tahun 2012, pemerintah malah memberikan wewenang terhadap orang perorangan untuk mengelola secara leluasa lembaga pendidikan.
Akhirnya, dunia pendidikan tidak lagi berorientasi pada mencerdaskan kehidupan bangsa, namun diarahkan kepada pasar dimana setiap lulusan-lulusan perguruan tinggi diarahkan pada dunia kerja. Ditengah lapangan kerja yang desak-desakan, tentu ini menjadi faktor menjamurnya pengangguran yang terus menerus meningkat. Alih-alih Orientasi pendidikan yang semakin tidak menentu, Mendikbud malah ingin adanya upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui ekspor rektor dari luar. Tentu saja ini cukup menggelitik.
Nampaknya, peningkatan mutu pendidikan tidak melulu ditentukan oleh tenaga-tenaga pengajarnya saja. Faktor lain yang juga amat menopang tentu saja sarana prasarana yang memadai dalam segala hal pemenuhan kebutuhan peserta didik di lingkungan akademiknya. Seperti mudahnya mengakses referensi dan bacaan-bacaan yang luas dan lengkap di perpustakaan yang disediakan, metode pendidikan atau sistem pendidikan yang diperbaharui serta nyamannya belajar mengajar di kelas agar tidak berkesan monoton. Ditengah maraknya pembangunan kampus dimana-mana, ini semua dilakukan hanya untuk sekadar mengejar akreditasi atau pemenuhan penampungan peserta didik baru yang semakin hari semakin membengkak. Sementara setiap dibuka prodi baru di Kampus, pemenuhan standar keilmuan lewat fasilitas perpus tidak diperhatikan secara baik. Wajar saja, setiap lulusan-lulusan yang dihasilan tidak kompeten dibidangnya masing-masing.
Itu dilingkungan perguruan tinggi, Belum lagi soal sistem zonasi yang diberlakukan baru-baru ini lewat Permendikbud No. 51/2018 di sekolah. Ditengah akses pendidikan yang tidak merata disemua daerah, pemberlakuan sistem ini cukup merugikan masyarakat yang ada dipedalaman. Masih banyak kiranya di berbagai daerah terpencil sekolah-sekolah sampai jenjang menengah keatas mampu dinikmati oleh masyarakat di zonanya masing-masing.
Namun, wacana peningkatan anggaran yang akan dikeluarkan dikemudian hari oleh negara, moga-moga pula dibarengi dengan perombakan sistem pendidikan dengan berporoskan pada amanat UUD 1945 supaya Indonesia kedepan dipegang oleh generasi-generasi yang sadar bahwa bangsanya sedang dicengkram oleh imperialisme yang menyengsarakan rakyat banyak
Kesehatan
Kesehatan adalah pula sama pentingnya dalam sebuah negara, dan merupakan sepenuh-penuhnya tanggung jawab negara pula. Selama lima tahun Indonesia didalam kendali kepemimpinan Jokowi-JK, sejumlah kebijakan mengenai kesehatan tidak berarti apa-apa. Taraf kesehatan masyarakat Indonesia sampai diakhir kekuasaanya dalam periode pertama ini cukup menjadi bukti, pelayanan pemerintah untuk masyarakat mampu secara mudah mengakses kesehatan diabaikan. Ada sejumlah langkah penting yang luput dari perhatian pemerintah sehingga berdampak buruk bagi kelangsungan hidup sehat manusia antara lain: penyakit kronis, penyakit menular, dan sakit jiwa. Maraknya tiga jenis penyakit ini seharusnya pemerintah sudah ambil sikap untuk melakukan upaya pencegahan secara serius.
Dilansir dari ccnindonesia.com Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukan, prevalensi sejumlah kondisi kesehatan meningkat dibandingkan Riskesdas 2013. Tekanan darah tinggi atau hipertensi naik dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen.
Data yang diisebut dimuka mengindikasikan, ditengah kegagalan pemerintah melakukan kampanye Gerakan Masyarakat Sehat (Germas), evaluasi kerja tidak getol dilakukan untuk memperbaiki berbagai kegagalan program yang dibuat pemerintah. Akhirnya berkesan, semua program yang dibuat untuk mengajak supaya masyarakat membiasakan diri hidup sehat tidak ubahnya sebagai formalitas belaka yang tidak memberikan dampak yang berpengaruh untuk kesehatan masyarakat.
Disisi lain, akses kesehatan yang baru-baru ini diwacanakan naik oleh pemerintah semakin membuat masyarakat susah dan sengsara. Aturan hukum yang nanti akan disahkan memuat antara lain kenaikan iuran dan sangsi bagi penunggak iuran.
Faktor kenapa iuran kesehatan ini harus dinaikan tentu saja alasannya karena ada defisit dalam tubuh BPJS. Sejak pemberlakuannya di 2014 lalu, issu defisit ini sudah meramaikan publik. Tentang betul atau tidaknya, pemerintah agaknya sulit untuk ikut campur dalam pembuktian itu karena BPJS bukan lagi lembaga sosial yang mudah diakses dalam kondisi-kondisi tertentu dan mendesak. BPJS merupakan badan milik orang perorangan yang berbadan hukum langsung dibawah kordinasi presiden
Pembebanan biaya yang besar kepada masyarakat peserta BPJS terkesan negara melepaskan tanggung jawab sepenuh-penuhnya dalam urusan kesehatan. Jika dalam periode kedua ini pemerintah tidak melakukan efaluasi secara detail mengenai persoalan tersebut, dan program BPJS terus diberlakukan, masa depan Indonesia membawa rakyatnya sehat untuk lima tahun kedepan tentu cukup memprihatinkan dan gagal. Kenaikan iuran yang cukup besar tersebut, belum tentu juga defisit mampu terselesaikan, kecuali pemerintah berani sepenuh-penuhnya mengembalikan badan ini menjadi Jamkesmas.
Pertanahan
UUPA 1960 dimana “Tanah Untuk Rakyat” menjadi spirit yang menjiwai undang-undang tersebut menjadi satu persoalan yang serius ketika ada wacana pemerintah ingin merubahnya untuk memudahkan akses pemodal dalam melakukan investasi. Sebagaimana mestinya tanah, ia merupakan sumber penghidupan manusia yang paling pokok diantara sumber-sumber penghidupan yang lain. Karena darinya manusia tercipta dan meneruskan keturunan dan darinya manusia menyambung tali temali kehidupan. Ketika sumber pokok ini harus pula diliberalisasi dan pengelolaannya diberikan pada korporasi untuk dieksploitasi sumber daya alamnya, papua sebagai sumber mas dan uranium dan kalimantan, dimana tanah tanahnya penuh dengan galian lubang dieksploitasi batu baranya untuk memasok kebutuhan listrik, menjadi contoh yang objektif yang darinya kita harus belajar bagaimana brutalnya korporasi dalam menjalankan bisnisnya.
Dampak kerusakan lingkungan yang dihasilan dari aktifitas pengerukan tersebut luar biasa besar sehingga merusak ekosistem alam yang paling istimewa kita miliki juga berimplikasi pada kesehatan serta penghidupan masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Belum lagi soal zonasi laut, pengembangan bibit unggul oleh petani, masa depan perempuan ditengah cengkraman patriarkis serta berbagai permasalahan-permasalahan lain yang menyangkut hak-hak dasar warga negara Indonesia, semuanya dikerdilkan oleh negara untuk pengabdiannya yang besar terhadap pemodal.
Tentu saja, peran negara yang sudah diluar batas ini harus dicegah dengan cara mendidik lapisan-lapisan masyarakat yang termarjinalkan untuk melawan dan mendorong negara agar kembali dari cara pandangnya yang kapitalistik menuju berkepribadian bangsa yang utuh, yakni Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal cara pandang yang utuh tersebut, tentu aja Pancasila dan UUD 1945 dalam kesehariannya tidak sebatas menjadi kata-kata yang esensinya mati, tapi diimplementasikan dengan baik dan benar. Hampir semua warga Negara meyakini bahwa Pancasila menjadi dasar yang kokoh dan tidak tergantikan. Namun itu semua bisa kita uji dengan penerapan yang betul betul diterapkan dalam berbangsa dan bernegara.
Adapun sebagian orang yang menganggap bahwa Pancasila tidak lagi ideal, argumen mendasar dari itu adalah karena negara gagal dan tidak mampu mempraktekkan pancasila dalam membawa manusia Indonesia kepada adil makmur dan negara berkesejahteraan yang dulu pernah menjadi ratapan bersama oleh para pendiri bangsa Indonesia.
Penulis: Syamsul Ma'arief (Ketua Departemen Pengembangan Organisasi LMND Banten)