Reformasi Membuka Keran Demokratisasi Diberbagai Sektor Fundamental
Pada hakikatnya setiap manusia tidak bisa hidup secara
sendiri-sendiri. Bekerja sama, gotong royong dan saling memberi pada sesama adalah
kebutuhan paling dasar yang harus dilakukan. sama persis dengan yang pernah disampaikan
Al-Farabi dalam memulai pemikiran politiknya:
Tatkala
menyinggung asal-usul kemunculan Negara atau kota ia menyampaikan bahwa
masyarakat muncul dari keberadaan persatuan diantaraindividu-individu yang saling
membutuhkan satu sama lain. Tidak seorangpun dapat mencukupi ataupun memenuhi
sendiri kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan primer maupun sekunder. Saling
bahu-membahu antar individu ini dalam masyarakat merupakan hakikat
kecenderungan kodrati (al-fitrah al-tabi’iyyah) dalam manusia.
Dengan adanya watak
alamiah yang melekat di dalam diri manusia tersebut, Islam hadir untuk mengatur
agar tidak adanya penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam mengatur kehidupan manusia tersebut, agama islam begitu luas menyajikan berbagai
solusi dan penyelesaiannya termasuk tentang Negara dan Politik. Karena
bagaimanapun Islam mempunyai hubungan yang berkesinambungan dengan politik,
sosial, ekonomi, hukum, pendidikan keluarga serta masyarakat.
Politik yang disebut dalam
istilah islam dengan Siasah, merupakan unsur terpenting untuk memelihara
urusan umat (ri’ayatu suunil ummah), baik dalam maupun luar negeri.
Sementara pelaksana praktisnya melalui Negara (daulah), sedangkan umat
melakukan muhasabah ( kritik, saran dan nasihat) kepada Negara (daulah).[2]
Namun demikian untuk
mengatur agar tidak adanya tumpang tindih antara Agama dan Negara (urusan
politik), dibutuhkan satu konsepsi dan terobosan yang jelas agar tindakan
mencampur adukkan persoalan Agama dan Negara dalam kehidupan berbangsa mampu
ditanggulangi dengan baik. Tentu saja dalam hal ini seorang politikus tidak
diperkenankan menjadi seorang da’i secara bersamaan. kegiatan berdakwah harus
dilangsungkan secara terpisah dari kegiatan politik. Mengingat Dakwah dan
Politik adalah dua ‘kata’ yang penuh kontradiktif dikalangan umat islam saat
ini. Aktivitas politik dipahami sebagai aktivitas dunia, sementara dakwah
adalah aktivitas akhirat.
Bagaimana seandainya
seorang penda’i ingin menjadi seorang politikus?. Tentu saja untuk menetralisir
agar tidak terjadinya tumpang tindih antar Agama dan Negara seperti yang
dijelaskan diatas maka seorang da’i harus menanggalkan semua atribut dan
perilaku keustadzannya. Demikian pula sebaliknya, apabila seorang politikus
ingin menjadi seorang ustadz, ia pun harus menanggalkan baju politiknya. Jika
tidak, ia akan dicurigai, menggunakan agama sebagai alat politik.
Namun, persoalannya tidak
hanya berhenti pada masalah islam dan politik. Saat ini, ketika dakwah mulai
bersentuhan dengan aktifitas politik praktis, ia akan dan pasti berhadapan
dengan sistem Demokrasi; sebuah sistem yang banyak digugat ketika harus vis
a vis dengan islam sebagai ideologi umat. Akibatnya, hingga saat ini islam
selalu termarginalkan dalam percaturan politik formal. Padahal, kenyataannya
sadar ataupun tidak, saat ini umat tengah menghadapi sistem politik yang masih
menganggap demokrasi sebagai sarana terbaik dalam merealisasikan keadilan dalam
pemerintahan. Pada posisi inilah umat mengalami dilema antara musyarakah
siasiyah atau malah menutup diri terhadap dunia politik praktis.[3]
Dalam kondisi dilematis
tentang pentingnya menegakkan substansi ideologi agama disatu sisi dan adanya
sistem demokrasi disi lain memberi pertanyaan baru dibenak kita sekarang,
hendak bagaimana kedepan sebetulnya kiprah partai politik islam ini yang
notabene berasaskan islam sebagai rujukannya ditengah situasi konsepsi
demokrasi yang semakin liberal dan terbuka secara luas?.
Persoalan ini memang amat pelik nan rumit. Namun
sebetulnya, ini hanya persoalan bagaimana kita mampu mendudukkan posisi secara
komitmen dimana kita ingin tampil. Lagipula, menurut saya persoalan yang
dihadapi tidak menyangkut perihal yang substantif. Sekalipun misalnya kita
harus melepas semua atribut keustadzan kita untuk menjadi seorang politikus,
jika ikrar hati kita konsisten berada dijalan yang telah ditetapkan oleh
syariat, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar seperti yang diperintah dan mampu
membedakan mana yang hak dan yang bathil saya kira tidak ada persoalan.
Pada prinsipnya, baik doktrin agama maupun tatanan
demokrasi yang diterapan untuk sebuah negara pada ujungnya sama-sama bertujuan
mendistribusikan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Sementara Politik yang
sama-sama kita percayai sebagai panglimanya sudah harus tidak lagi menjadi
persoalan yang berlarut-larut kita perdebatkan. Sekalipun panglimanya
menggunakan jubah islam, jika ia tidak mampu mendistribusikan keadilan atau
bertindak semena-mena terhadap rakyat tidak ada gunanya sama sekali. Pun
demikian sebaliknya, ditengah hiruk pikuk sistem demokrasi yang liberal dan
memberi kebebasan penuh kepada masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan mampu
memberikan kedaulatan pangan secara utuh, sekalipun ia lahir dari barat kenapa
tidak?
Namun demikian, membahas partai politik yang berbasiskan
islam cukup menarik untuk dikaji mengingat dalam sejarah Indonesia politik
islam (Partai Politik Islam) menjadi fenomena yang selalu mengiringi
perkembangan Negara kita. Dalam hal ini, kita akan mencoba mengidentifikasi
kemana sebetulnya kiprah politik islam yang diusung beberpa partai politik di
Indonesia dari era reformasi sampai sekarang.
Dalam kondisi Demokrasi yang tidak mampu dikanalisasi,
agaknya sulit mengidentifikasi persoalan ini. padahal sebelumnya jika kita
melihat kembali lahirnya sebuah konsepsi Demokrasi, secara historis ia telah
dikenal sejak abad ke-5 SM, dimana dapat dirujuk pada negara (polis) Athena
serta pemikiran-pemikiran Aristoteles, Plato dan sebagainya. Namun, gagasan
demorasi tersebut lenyap di dunia barat sejak Romawi dikalahkan oleh Eropa
barat dan barat dikuasi oleh Nasrani yang membangun pemerintahan otoriter dan
menindas kebebasan rakyatnya. Pada waktu itu, di Barat dikembangkan pemikiran
bahwa kehidupan sosial dan spiritual rakyat harus tunduk kepada Paus (gereja)
dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politik harus tunduk kepada raja.[4]
Namun sebetulnya di Islam
juga dikenal sebuah sistem demokrsi seperti yang pernah diungkapkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam konstitusi madinah: “sesungguhnya, setiap
orang yang ada di kota ini (madinah), tanpa kecuali, adalah satu komponen yang
integral tanpa perbedaan. Seluruh orang yang ada di Madinah wajib
mempertahankan wilayah yatsrib dari serangan musuh”.
Jika disepakati, ungkapan
Rasulullah diatas, merupakan starting point kehidupan demokrasi yang
merubah total budaya qabilah (klan) menjadi budaya ummah dalam
sejarah Islam. Sebelum Rasulullah mendapat kepercayaan politik di Madinah untuk
menjadi koordinator sosial, sistem otoritas klan mendominasi sistem sosial di
dunia Arab dalam waktu yang cukup lama. Walaupun Rasulullah telah mendapat
kepercayaan politik penuh dari masyarakat Madinah, beliau masih tetap melakukan
konsultasi dengan publik (musyawarah) dalam menentukan kebijkan supaya mereka
ikut terlibat didalamnya. [5]
Kembali lagi pada pokok pembahasan, meski secara garis ideologis paham
Islam dan sistem demokrasi berbenturan,
namun pasca tumbangnya ordebaru partai politik islam mempunyai ruang yang lebar.
Bukan hanya itu, seperti yang digambarkan oleh Liliromli dalam buku Islam yes,
Partai islam yes, "Liberalisasi politik awal pasca ordebaru ditandai antara lain terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat.
Ketika rezim orde baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya
yang selama bertahun-tahun dikerangkeng.Dengan adanya tuntutan tersebut yang
terjadi kemudian: luapan kebebasan, yaitukebebasan berbicara,
kebebasan pers dan kebebasan membentu korganisasi. Dikalangan masyarakat juga,
dalam rangka kebebasan, terjadi berbagai tuntutan-tuntutan yang
sebelumnya tidak pernah terjadi.Fenomena tuntutan pengembalian tanah yang
dulu dikuasai oleh negara atau perkebunan milik negara, sebagai contohnya.[6]
Semua kebebasan
yang diraih dari buah reformasi tersebut membangkitkan kembali partai-partai berasas
agama yang sebelumnya diberangus. Fenomena berdirinya partai-partai politik,
khususnya yang berbasis islam, dianggap sebagai bangkitnya politik aliran Dikatakan sebagai bangkitnya kembali politik aliran karena selama orde baru,
politik aliran diberangus.Pada masa itu,
rezim orde baru melakukan kebijakan dealinirisasi dengan serangkaian kebijakan:
depolitisasi massa, floating mass, dan deideologisasi dengan memberlakukan pancasila sebagai asas tunggal.[7]
Setelah keran Demokrasi
dibuka pasca lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada tahun 21 mei 1998
atas desakkan maasa dan digantikan jabatannya oleh Wakil Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang
Pemilu dan RUU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU
ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut tim 7, yang diketuai oleh
Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagi, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR
dan disahkan menjadi UU, Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
anggota-anggotanya adalah wakil dari partai pilitik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan pemilu 1999 dengan
pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak
sekali peserta.[8
Penyelenggaraan pemilu yang persiapannya tergolong
singkat, yakni 7 juni 1999 tersebut diikuti oleh banyak peserta pemilu, yakni
48 partai. Dan ini termasuk jumlah partai yang jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM yakni 141 partai. Pemilu 1999 kala
itu juga dicirikan sebagai bentuk menjamurnya partai yang berhaluan islami
antara lain: Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, Partai Ummat Islam, Partai
Masyumi Baru, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Syariat Islam Indonesia,
Partai Abul Yatama, Partai Syariat Islam Indonesia 1905, Partai Politik Islam
Indonesia Masyumi, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, Partai Islam Demokrat, Partai Persatuan, Partai Cinta Damai, Partai
Kebangkitan Bangsa, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia, Partai
Kebangkitan Umat dan Partai Nahdatul Ulama, meskipun definisi parpol islami terebut dapat diperluas karena ada
pula parpol yang dibentuk dengan modal massa ormas islam.
[1]Nanang tahqiq, Politik islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 6.
15.
[4]Nashir fahmi, Menegakkan syariat islam ala PKS... h. 30.
[6]LiliRomli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta:
PustakaPelajar, 2006), h. 106.
[7]LiliRomli, Islam Yes Partai Islam Yes… h. 115
[8]“KPU Kabupaten Wajo” http://www.kpu-wajokab.web.id/2017/08/pemilu-1999.html?m=1, diakses pada 26 juni 2017, pukul 22.48 WIB.