Demokrasi Desa Dan Asal Usul Money Politik di Tingkat Grass Root
ilustrasi lawan korupsi |
Bulan-bulan kemarin Negara kita
ramai dengan penyelenggaraan Pemilu yang dimana partisipasi dan kesadaran
politik masyarakat terhadap politik bisa kita bilang meningkat signifikan. Panasnya
pilpres kemarin telah memecah masyarakat menjadi kubu-kubu dan saling sentimen
satu sama lain terhadap dukungannya masing-masing. Konstalasi elit dan kedinamisan
politik para borjuasi begitu cepatnya terselesaikan dengan kekecewaan
masyarakat pemilih ditingkat bawah terhadap jagoannya masing-masing. Bagaimana
tidak, over sentimen yang sedemikian kakunya di lapisan masyarakat untuk saling
mengelu-elukan calon pilihannya harus kandas lantaran para calon (Pemenang dan
yang kalah) berdamai di meja makan menikmati hidangan makan malam secara riang
gembira seolah-olah semua perseteruan para pendukung sudah tidak berarti lagi.
Hampir mayoritet lawan politik kubu 01 berbondong-bondong datang ke istana
satu-satu nyaris seperti sedang undian kupon yang disugukan oleh pemenang
pemilu untuk yang kedua kalinya.
Dalam dunia politik, hal yang
mustahil sekalipun bisa saja terjadi. Dan kenyataan pahit itu mau tidak mau,
kecewa ataupun tidak tetap harus ditelan oleh para pendukung yang kalah dengan
beban menanggung semua cibiran dari barisan pemenang. Konstalasi elite selesai,
meski upaya untuk meletupkan kekecewaan itu kandas tanpa ada kepastian yang
berarti, kue kekuasaan yang di undi di istana telah habis dicomot oleh para lawan
politik yang kalah.
Tidak mau kalah, genderang
pertarungan politik arus bawah (Grass Root) kini sedang berlangsung secara
serentak dengan panasnya pula. Tentu saja penyelenggaraan politik arus bawah
atau Pilkades bukan hal baru di negara kita. Perkembangan sistem pemilihan
ditingkat bawah ini mengapa harus pula dilakukan secara demokratis tentu saja
dipengaruhi oleh populasi manusia ditingkat desa yang kian hari makin
meningkat. Kita tahu, pada masa dimana desa hanya dihuni oleh puluhan orang
saja, pemilihan kepala desa dilakukan secara musyawarah mufakat dengan tanpa
adanya perseteruan. Dalam era ini pemimpin desa biasa dipanggil Panepuluh, yang
arti sederhananya memimpin puluhan kepala keluarga dan akan dipanggil Buyut
jika pertimbangan dipilihnya karena faktor usia. Namun ada yang lebih primitif
dari sistem ini. Ada pula pemimpin desa mendeklarasikan dirinya sendiri karena
ia satu satunya orang yang paling pertama berdomisili di satu pedesaan. Dan
diberbagai belahan desa lainnya, tentu saja pemimpin desa akan ada disemua desa
karena adanya hasrat manusia secara alamiah untuk hidup secara teratur dengan
penamaan masing-masing disesuaikan dengan kultur dan budaya sekitarnya.
Kian hari populasi manusia semakin
meningkat dan kehidupan di desa tidak lagi soal kekerabatan yang dekat. Meski
tidak ada yang berubah dalam struktur sistem pemilihannya, namun ada inovasi
pada penyebutan seorang pimpinan Desa, yaitu Penatus yang berarti kepala desa
yang memimpin seratus kepala keluarga. Adapula Penewu yang berarti kepala desa
yang memimpin Seribu kepala Keluarga dalam sebuah desa. Dan semua inovasi
penyebutan itu selalu dipengaruhi oleh tingkat populasi manusia di Desa yang
terus bertambah. Namun ada pula yang disesuaikan dengan penamaan administrasi
desanya. Seperti Dusun, kepala desanya disebut Kepala Dusun (Kadus).
Pada perjalanannya, Panepuluh,
Penatus, Penewu dan sejabannya mengemban tugas yang berat dan melalui
persyaratan yang tidak main-main. Harus memiliki kriteria khusus antara lain
faktor umur, kecakapan, sakti mandraguna dan mafhum akan adat istiadat dan
budaya leluhurnya. Karena menjadi kepala desa bukan untuk satu kebanggaan atas
jabatan mampu menaklukan sesama manusianya. Tetapi mengemban misi dan tanggung
jawab keselamatan atas manusia lain dari ancaman-ancaman yang tidak diinginkan
oleh masyarakat desa.
Model-model kepemimpinan di desa
yang primitif tersebut bisa kita ambil benang merahnya bahwa untuk ,menjadi
seorang kepala desa tidak pernah semberono dan urakan, tetapi harus memiliki
kecakapan yang matang dan menjadi manusia yang unggul dibanding manusia yang
lainnya. Tentu saja untuk supaya mampu memimpin dengan kapasitet yang unggul
utamanya ditopang oleh faktor umur yang mapan ditengah budaya feodalisme di
Negara kita masih kental. Dilain sisi, faktor usia dengan kriteria mampu
sepenuh-penuhnya memahami kultur dan budaya akan berimplikasi pada ketatnya
menjaga kelestarian alam agar keseimbangannya tetap terjaga.
Pada masa belanda masuk ke
indonesia, mereka mulai mempengaruhi sistem pemilihan kepala desa supaya
dirubah dengan cara pemilihan langsung dimana untuk menjadi kepala desa harus
dipilih langsung oleh semua warga desa yang cukup umur dan mengerti hukum.
Modelnya cukup unik yaitu adu panjang di tanah lapang. Sementara untuk bisa
mencalonkan diri harus mendapat persetujuan dari Wedana. Cara yang kompetitif
dengan satu pemahaman baru dimana kepala desa menjadi satu jabatan bergengsi
merupakan modal awal suap menyuap itu lahir di dalam lapisan masyarakat
pedesaan. Dari sini pulalah banyak bermunculan istilah yang sekarang kita
kenal, tem sukses yang bekerja untuk Bacades dor to dor membawa berbagai
bingkisan dan hadiah supaya ketika berlangsung Pilkades memilih salah satu
calon yang dikampanyekan. Pergeseran sistem pemilihan kepala desa mampu
merombak secara singkat kultur dan budaya masyarakat kita hingga terkikis
habis. Sampai saat ini, budaya yang tidak baik ini terus mengakar ke urat nadi
masyarakat Indonesia.
Untuk pemilihan se kelas desa, para
calon akhir-akhir ini rela menghambur-hamburkan uang hingga miliaran rupiah
hanya untuk menjadi seorang kepala desa. Apa istimewanya?
Sejak adanya UU No 6 Tahun 2014
tentang Desa, tertera pada Pasal 33 huruf g (Sebelum dibatalkan oleh putusan MK
dalam perkara Nomor 128/PUU-XIII/2-15) syarat menjadi kepala desa antara lain:
- WNI
- Bertaqwa kepada Tuhan YMH
- Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, Melaksanakan UUD 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI dan Bhineka Tunggal Ika
- Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat
- Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun saat mendaftar
- Bersedia dicalonkan menjadi kepala Desa
- Terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) Tahun sebelum pendaftaran (Dihapus)
- Tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara
- Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) Tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan pelaku kejahatan berulang-ulang
- Tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
- Berbadan sehat
- Tidak pernah sebagai kepala desa selama 3 (Tiga) kali masa jabatan dan
- Syarat lain yang diatur dalam peraturan daerah
Dari persyaratan yang diatur oleh UU
Desa diatas tentu saja ada beberapa point penting untuk melegitimasi supaya
demokrasi liberal era sekarang tetap dipertahankan secara utuh terkhusus untuk
ketentuan nomor 5 (Lima) dimana kelabilan akan jati dirinya pribadi pada umur yang
terhitung muda menjadi problem meski tidak pokok. Kecuali kecakapan pribadi
setiap calon betul betul sudah mapan. Dan memang, faktor umur yang sudah
betul-betul terhitung tua pun di era demokrasi liberal seperti sekarang tidak
menjamin, kondisi seperti ini mengharuskan kerja kebudayaan lebih maju untuk di
dorong karena munculnya problem baru di hampir semua desa, yaitu Kapitalis
Birokrat dimana tujuan pertarungan politik grass root yang dipertaruhkan untuk
memberi karpet merah terhadap korporasi-korporasi dalam mengesploitasi sumber
daya alam potensial di desa. Seperti pertambangan, eksploitasi lahan-lahan
produktif masyarakat serta berbagai sumber penghidupan pokok yang lain untuk
dikuasai kelas pemodal.
Maraknya OTT di tingkat desa oleh
KPK karena dana desa juga cukup memprihatinkan. Anggaran yang besar yang
dianggarkan oleh pemerintah pusat sebetulnya menjadi jalan untuk supaya desa
juga mampu bersaing dengan kota. Tentu saja dengan persyaratan yang dibuat
lewat UU Desa agak sulit didistribusikan karena keblingeran kepala desa dalam
menggunakan anggaran.
Tidak jarang, acapkali dana desa
turun, kegunaannya selalu didistribusikan untuk perbaikan jalan yang ketahanan
bangunannya juga bisa kita uji kelayakan. Pengembangan sumber daya-sumber daya
yang potensial di desa tidak mampu dikelola dengan cakap karena proses kerja
kebudayaannya mangkrak. Disitulah awal pengelewengan dana desa yang akhir-akhir
ini kerap terjadi.
----------------------
sumber:
https://suarabanyuurip.com/kabar/baca/catatan-pilkades-1--sejarah-pilkades-dari-masa-ke-masa