Keberpihakan Penguasa Atas Tanah Dan Hilangnya semangat Reforma Agraria Yang Berprinsip Tanah Untuk Rakyat

Aksi Demonstrasi Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Tanah merupakan sumber penghidupan sejati bagi manusia yang darinya sambung hidup pangan bisa berlanjut. Apalagi di Indonesia, sandaran hidup manusianya selalu digantungkan kepada tanah yang subur nan luas. Jauh sebelum industri-industri besar berdiri dengan segala penyakit yang terkandung di dalamnya, setiap hari aktifitas masyarakat Nusantara akrab dengan nuansa tanah untuk menghasilkan berbagai macam buah buahan, padi, rempah-rempah dan lain lain yang kesemuanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk memberi legitimasi petani atas tanah, pemerintah pada awal awal kemerdekaan bersusah payah untuk menghasilkan saru peraturan dimana tanah tidak lagi hanya dimiliki oleh segelintir orang. Daya upaya yang penuh gejolak tersebut pada akhirnya mampu melahirkan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) dimana didalamnya mengatur berbagai hal pemerataan kepemilikan tanah antara lain, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tidak punya hak milik atas tanah. Dan spirit dari UUPA 1960 itu prinsipnya ialah tanah Untuk Rakyat.

Mengutip dari Majalah Historia tentang Reforma Agraria, untuk menjalankan UUPA 1960, Pemerintah melakukan beberapa program reforma agraria antara lain Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih atau melebihi batas maksimum pemilikan yang selanjutnya dibagikan kepada petani tak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH).

Tapi pelaksanaan ketiga program tersebut terhambat. Alasan umum, menurut Margo L. Lyon dalam “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa”, adalah administrasi yang buruk, korupsi, serta oposisi dari pihak tuan-tuan tanah dan organisasi keagamaan. Karena pelaksanaan landreformyang lamban, PKI dan BTI mengorganisir program-program gerakan petani untuk melaksanakan UUPA atau sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan provokatif atau hambatan dari tuan tanah atau pemilik perkebunan.

Kita sama-sama tahu, sejak lahirnya Orde Baru, pragram dan penguasaan tanah secara merata untuk rakyat tersendat dan rakyat selalu di indoktrinasi bahwa petani selalu identik dengan PKI. Ketika orde baru meminpin dengan slogan pembangunannya, tanah kemudian dialih fungsikan dan legalisasi UUPA 1960 dengan prinsip tanah untuk rakyat dirubah untuk kepentingan kelas pemodal dengan lahirnya UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan.

Kedaulatan rakyat atas tanah nampaknya semakin hari semakin mengkhawatirkan. Tanah lebih banyak dipergunakan untuk melayani kepentingan-kepentingan korporasi dengan dalih investasi yang padahal tidak pernah menguntungkan secara signifikan untuk rakyat Indonesia. Baru baru ini saja pemerintah berniat merancang satu Undang-undang dimana keberpihakannya lebih pada kelas pemodal yaitu RUU Pertanahan yang banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Ada setidaknya lima pokok krisis agraria yang sampai hari ini tidak mampu dijawab oleh pemerintah, dan adanya RUU Pertanahan tersebut akan semakin mempersulit krisis yang hari ini timbul. Dan lima krisis itu adalah Ketimpangan struktur agraria yang semakin tajam, Maraknya konflik agraria, Kerusakan ekoligis, Laju padat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian dan yang terakhir Kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.

Karena RUU Pertanahan tidak memiliki semangat prinsip Tanah Untuk rakyat dan wataknya lebih pada kapitalis neolib, maka tentu saja ruu tersebut bertentangan dengan cita-cita bangsa dimana tanah sepenuh-penuhnya harus didistribusikan kepada rakyat dan sepenuh-penuhnya untuk melayani kepentingan rakyat.

Ruu pertanahan Ini tidak lain merupakan kelanjutan dari agenda proyek nasional ala Jokowi-ma'ruf untuk seluas-luasnya memberikan karpet merah kepada asing dan korporasi untuk berinvestasi di dalam Negeri. Adanya kendala yang sering terjadi ditengah-tengah masyarakat yang menghambat kepentingan korporasi, Ruu pertanahan tersebut tidak mengupayakan perlindungan hak hak masyarakat adat atas tanah. Serta adanya wacana pembentukan bank tanah akan melahirkan konflik-konflik yang akan semakin meruncing serta akan melahirkan korupsi ditubuh birokrasi. Belum lagi soal Hak Guna Usaha (HGU) yang diwacanakan akan lebih diprioritaskan untuk pengusaha dibandingkan untuk diberikan pada petani. Dengan tidak adanya pertimbangan sedikitpun, hal ini akan menimbulkan kerusakan alam yang semakin meluas serta tidak memperhatikan luas wilayah dan pemukiman warga. Karena kita tahu, dengan adanya industri, korporasi tidak akan pernah mengindahkan beberapa hal yang sifatnya tertib sosial. Dan yang paling parah, dari luas wilayah tanah yang ada di indonesia, 30 ribu nya diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Ketika kawasan-kawasan hutan tersebut telah lama dikelola oleh rakyat untuk sambung hidup kesehariannya, akan disisihkan oleh negara demi melayani kepentingan pemodal besar.

Belum lagi soal pengadilan tanah yang akan dimuat dalam Uu Pertanahan tersebut dan berbagai persoalan lain yang semua hanya akan menindas masyarakat Indonesia.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url