MENJEMPUT CINTA DUNIA AKHIRAT
Kicauan burung-burung yang menawan menemani saat-saat mentari beranjak menuai sinarnya. Bayangan tentang kisah hidup yang dulupun ikut masuk dalam pikiran ini tanpa permisi. Tak terlalu ku ingat, waktu pertama kali aku menghembuskan nafas di dunia ini, seperti apa aku ? dan bagaimana bahagianya orang tua ku ?. Hanya beberapa yang ku ingat, anggap saja itu satu bagian memori indah yang Tuhan titipkan padaku.
Beranjak dewasa atau sudah dewasa, entahlah siapa yang perduli dengan semua ini. Dewasa atau tidaknya seseorang itupun hanya persepsi semata, hanya saja fisik yang sekarang ini memang tak serapuh waktu masih kecil dulu. Tapi jika bicara tentang masalah hati dengan pikiran, mungkin sangat berbeda. Masalah yang kita hadapi bukan hanya sekedar terjatuh karena belajar berjalan namun lebih dari itu.
Ada sepenggal cerita tentang hidupku dengan ayahku. Ayah, cinta pertama dunia akhiratku. Ayah, sosok pertama kali yang membisikkan tauhid di telingaku. Ayah, sebuah kata sederhana dengan seribu keajaiban. Ayah, pernahku merasa sangat kehilangan dan membutuhkanmu, bahkan setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu. Ingatkah ayah saat aku kecil kau meninggalkan ku ? saat itu, betapa menderitanya aku.
Saat aku berusia 2 tahun ayah sudah meninggalkanku. Saat itu aku belum mengerti arti penting hadirnya seorang ayah dalam hidupku. Selama ayah pergi, jarang sekali kita bertemu, bahkan hanya untuk sekedar mengucap kata rindu pun sulit. Waktu terus bergulir mengikuti dunia, usiaku pun semakin bertambah dan semakin mengerti arti penting nya seorang ayah. Rasa sepi, sunyi tanpa hadirnya ayah semakin hari semakin terasa. Ketika kami sedang menikmati makan malam dimeja makan, ku sisipkan pertanyaan tentang ayah kepada ibu.
“Ibu, ayah dimana, ko gak pernah pulang ?” Tanya ku kepada ibu
”Ayah kan lagi cari uang untuk sekolah kamu dan kakak-kakak kamu” sahut ibu
“Terus, kapan ayah pulang bu ?” Tanya ku lagi kepada ibu
“sebentar lagi juga ayah pulang nak” berusaha menenangkanku
Ibu slalu menjawab seperti itu, dan menenangkan agar aku mengerti dengan keadaan saat itu.
Entah mengapa hati ini terasa tercabik-cabik dan sedih yang luar biasa bahkan seringkali hampir meneteskan air mata ketika melihat teman dan ayahnya sedang bermain bersama, bercanda tawa, dan saling berbagi kisah. Aku iri, sangat iri dengan teman yang dapat berkumpul dengan keluarganya yang utuh dan di warnai oleh canda tawa dan kebersamaan. Ya, betapa beruntungnya mereka.
Hingga tibalah aku beusia 12 tahun, saat itu aku sudah lulus Sekolah Dasar dan sedang mempersiapkan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama. Aku pun ingin sekali memanfaatkan waktu liburku untuk mencari ayah, mencari cinta pertama dan terakhir dunia akhiratku. Saat sedang membantu ibu memasak aku mencoba meminta izin kepada ibu.
“Ibu, aku kan masih libur sekolah nih, boleh gak kalo aku cari ayah ? Tanyaku dengan penuh harap.
“Ayahkan ada di Padang nak, kenapa kamu mau cari ayah ?” Tanya ibu sambil menatapku
“Iya bu, aku tau ayah ada di Padang, tapi kan selama ini kita gak pernah tau tempat tinggal ayah di sana, aku mau ketemu ayah, dan jemput ayah bu” Jelas ku dengan mata berkaca-kaca
“Tapi nak, ayah baik-baik saja di sana, sebentar lagi juga ayah pulang” jawab ibu seraya memalingkan wajahnya
“ Naah… kebetulan ayah mau pulang, jadi kenapa gak sekalian kita jemput ayah bu ?” Jawabku
“Gak bisa nak, kalo kita pergi nanti siapa yang akan merawat kakak-kakakmu yang masih sekolah ?” Jelas ibu
Saat itu hatiku cukup kecewa, keinginanku tidak dapat restu dari ibu. Tapi, aku harus terus berusaha meyakinkan ibu bahwa aku bisa mencari ayah. Dan ternyata Allah maha mengetahui dan maha memberi pertolongan. Saat itu ada tetangga yang akan pergi ke Kota dimana ayah berada. Sebut saja ibu Nina.
“ya udah, kalo gitu aku pergi ikut sama bu Nina aja ya bu?” Lanjutku lagi
“Ibu Nina ?” dengan wajah terkejut
“Iya bu, bu Nina katanya mau ke Padang, dan rumahnya dekat dengan rumah ayah di sana”. Berusaha menjelaskan
“Jangan sayang, kamu masih terlalu kecil untuk pergi jauh apalagi bukan sama ibu”. Jelas ibu dengan wajah khawatir
“Ibu, aku udah besar, percaya sama aku, aku pasti akan pulang dengan selamat dan membawa pulang ayah”. Berusaha meyakinkan ibu
“Tapi nak…”
“Ibu, aku mohon izinkan aku, aku rindu ayah, aku ingin peluk ayah, main bareng ayah kaya temen-temen yang lain. Tolong bu”. Memotong pembicaraan ibu sambil menggengam tangan ibu
Ibu pun merasa kasihan dan tak tega melihatku menangis memohon-mohon padanya.
“Baiklah nak, ibu izinin tapi kamu harus hati-hati dan janji pulang lagi kesini”. Jawab ibu
“Bener bu, boleh ?” jawabku dengan wajah gembira
“Iya, tapi mau ibu pastikan dulu dengan bu Nina, dan minta tolong untuk menjaga dan membawa mu pulang lagi ke rumah”. Jelas ibu
“Siap ibu, aku janji akan berhati-hati dan pulang ke rumah lagi”. Jawab ku dengan senang
Aku tau ada rasa khawatir di raut wajah ibu. Ibu pun sebenarnya tidak tega membiarkanku untuk pergi tanpanya. Namun karna keadaan saat itu yang tidak memungkinkan untuk ibu ikut denganku. Aku terus meyakinkan ibu dan kakak-kakakku bahwa aku akan baik-baik saja. Aku akan kembali ke rumah dengan selamat dan mebawa ayah pulang.
**
Di kamar ibu membantuku menyiapkan pakaian yang akan ku bawa. Tak lama bu Nina menghampiri ku ke rumah. Wajah yang tak biasa terlihat dari wajah ibu, kecemasan, kekhawatiran mulai menjalar ke seluruh hati dan jiwanya. Dan tak terasa air mata membasahi pipi ibuku. Aku pun menangis, betapa sakitnya hati ini melihat ibu menangis karena ku. Berat rasanya ketika untuk pertama kalinya meninggalkan ibu walau hanya sebentar. Entah perasaan apa yang aku rasakan saat itu, senang, sedih, takut, bercampur jadi satu.
“Ibu, aku pamit pergi dulu ya?” sambil menggapai tangan ibu
“Iya nak, kamu hati-hati, baik-baik di sana, pokoknya jadi anak yang baik”. Pesan ibu dengan mata berkaca-kaca
“Iya bu, aku akan jaga diri dan jadi anak yang baik, ibu jangan khawatir”. Meyakinkan ibu
“Iya sayang”. Sahut ibu sambil memelukku
Kemudian ibu mengantarku ke halaman rumah dan membawakan tas bajuku.
“Bu Nina, saya titip anak saya ya”. Ucap ibu
“Iya bu, Insya Allah anak ibu akan baik-baik saja”. Jawab bu Nina
“Iya bu, trimakasih banyak”.
“kami berangkat dulu ya bu, Assalamualaikum” ucap bu Nina sambil bersalaman dengan ibu
“Iya bu, walaikumsalam. hati-hati dijalan”.
Entahlah, perasaan apa yang ibu rasa saat itu, yang aku tau ibu sangat khawatir padaku.
Mobil kami pun mulai menyala dan perlahan pergi menjauh meninggalkan rumah, dari balik kaca mobil aku tak berkedip melihat ibu yang masih tetap berdiri di halaman rumah dengan wajah cemas.”Ibu, aku akan baik-baik saja, aku pasti akan pulang lagi ke rumah, kita pasti akan bersama-sama lagi, doakan aku yang akan berjuang menjemput ayah pulang, doakan!” (bergumam dalam hati)
Selama dalam perjalanan tak henti aku memikirkan ibu dirumah, bagaimana keadaannya, perasaannya, tapi disisi lain aku sangat bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan ayah. Aku akan buktikan kepada dunia bahwa akupun punya ayah, akupun bisa bermain dan bahagia bersama ayah.
Perjalanan terasa begitu panjang dan melelahkan, tak sabar rasanya ingin segera sampai dan berjumpa dengan ayah. Hingga akhirnya mobil kami berhenti di halaman sebuah rumah kecil yang berada di pedesaan sudut kota Padang. Kemudian bu Nina mengajakku untuk turun, aku pun membuka pintu dan perlahan turun dari mobil sambil melihat heran ke arah rumah itu.
“Bu Nina, ini rumah siapa ?” Tanya ku dengan heran
“Ini rumah ayahmu, nak”. Jawab bu Nina
“Sungguh bu ?” jawabku dengan wajah gembira
“iya, sungguh?.
“Alhamdulillah, akhirnya kita sampai juga”.
Tak sabar lagi rasanya hati ingin segera bertemu dengan ayah
“Tok… tok… tok…
Assalamualaikum…” Ucap bu Nina
“Walaikumsalam…” sahut dari dalam rumah
Berdebar rasanya hatiku ketika mendengar suara laki-laki menjawab salam dari dalam rumah. Tak lama dibukalah pintu itu.
“Bu Nina, anakku, kalian sudah sampai “. Dengan wajah terkejut
“Alhamdulillah pak”. Sahut bu Nina
“Anakku, apa kabar kamu nak ?”sambil memelukku
“aku baik ayah, ayah gimana ?”
“Ayah baik nak. Mari-mari semuanya masuk, kita ngobrol didalam saja”. Sambil mengangkat tangan tanda ajakan.
Dan kami pun masuk ke dalam rumah. Perbincangan hangat di ruang tamu terjalin antara ayah, aku dan keluarga bu Nina yang sudah lama tidak bertemu dengan ditemani teh hangat pagi itu. Tak lama bu Nina dan keluarganya berpamitan untuk pergi melanjutkan perjalanan ke rumah nya di sana.
“Kalo begitu saya pamit dulu ya pak, anak saya sudah menunggu dirumah” sambil mengangkat tangan untuk bersalaman
“Oh, baik bu, terimakasih banyak bu sudah membawa anak saya kesini dan sudah menjaganya” jawab ayah dan bersalaman
“Iya pak sama-sama. Yasudah kami pamit pak, Assalamuaikum”
“Walaikumsalam” Jawab ayah
“Bu Nina trimakasih, hati-hati dijalan” triakku kepada bu Nina sambil melambaikan tangan
“Iya nak, sama-sama” jawab bu Nina dari dalam mobil
Kemudian aku dan ayah kembali masuk kedalam rumah dengan hati yang bahagia, akhirnya sekian lama kami dapat betemu lagi. “Trimakasih Tuhan engkau masih berikan kami umur panjang dan kesempatan untuk saling menatap”. (gumam ku dalam hati)
Selama bersama ayah aku merasakan kasih sayang dari sosok ayah yang begitu besar, perhatiannya yang selama ini tidak begitu aku rasakan, kali ini begitu terasa. Setiap hari bersamanya, menceritakan banyak hal, berlibur bersama, kemanapun bersama. Tapi, sepertinya aku harus mematahkan keinginan ku untuk membawa ayah pulang dan berjumpa dengan ibu di rumah. Sayangnya ayah harus menyelesaikan pekerjaannya, sehingga ayah harus tetap disana dan aku harus pulang tanpa ayah.
10 hari bersama ayah tak cukup rasanya untuk meruntuhkan rasa rindu padanya. Namun, aku harus melanjutkan sekolah ku di kampung, terpaksa aku harus pulang meninggalkan ayah seorang diri di sana. Meski demikian setidaknya aku sudah bertemu dan merasakan bahagianya hidup bersama ayah.
“Ayah, aku pulang dulu ya, kalo pekerjaan ayah disini udah selesai, ayah cepet pulang.” Pintaku kepada ayah
“Iya sayang, ayah akan segera pulang”. Jawab ayah dengan mata berkaca-kaca
“Ayah janji ya”. Sambil memeluk ayah dengan erat
“Iya sayang ayah janji. Yaudah kamu hati-hati di jalan, jadi anak yang baik ya?” sambil menatapku
“Baik ayah, Assalamualaikum”
“Walaikumsalam sayang, kamu hati-hati nak” dengan wajah penuh kekhawatiran
“Iya ayah”
Tak terasa di sepanjang jalan air mata ku menetes, perpisahan ini begitu menyakitkan bagiku. Cinta yang sudah ku temukan kini harus ku tinggalkan lagi. Untuk menunggu ayah pulang butuh waktu yang cukup lama. Semakin umurku bertambah aku semakin dewasa. Aku ingin tahu kenapa ayah tidak mau bekerja dirumah. Saat kami sedang duduk santai diruang keluarga aku memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu.
“Ibu, kenapa selama ini ayah gak pernah pulang dan gak mau kerja dikampung kaya dulu lagi?”. aku memulai pembicaraan
“Kenapa kamu tiba-tiba nanya itu nak ?”
“Aku hanya ingin tahu bu”.
“Begini nak, ayahmu ditipu sama saudara kita sendiri sampai usaha ayah dirumah bangkrut. Jadi, ayah harus pergi mencari uang yang lebih besar biar kamu dan kakak-kakakmu bisa lanjut sekolah dan melunasi hutang saudara ayahmu”. Jelas ibu dengan nada pelan
“Astagfirullahaladzim, jadi selama ini ayah harus mempertanggungjawabkan apa yang bukan dilakukan sama ayah bu?”. Tanyaku dengan wajah terkejut
“Iya nak, Itu sebabnya kenapa ayah gak pernah pulang, karna kalo pulang akan ada Rentenir yang mencari ayah”. Jelas ibu kembali
“Ya Allah bu, kasihan sekali ayah. Maafkan aku yang gak pernah mengerti ibu dan ayah”. Dengan wajah penuh penyesalan
“Tidak apa-apa nak, memang kami menyembunyikan hal ini dari kamu, dulu kamu masih terlalu kecil untuk tau hal ini” jelas ibu
“Iya bu, maafkan aku” sambil menundukan kepala
“Yasudah sekarang kamu sudah tau, kamu gak usah sedih lagi, perjuangan ayah dan kakak-kakakmu alhamdulillah dipermudah oleh Allah, jadi sekarang masalah sudah selsai dan ayah sudah sering pulang. Doakan saja untuk kesehatan dan keselamatan ayah”. Jelas ibu dengan lembut
“Baik bu, aku slalu doakan untuk kesehatan dan keselamatan kita semua”
**
Dulu aku pernah berfikir bahwa ayahku tidak menyayangiku, ayah egois, ayah jahat, ayah telah meninggalkan gadis kecilnya, gadis kecil yang membutuhkannya, yang slalu ingin di manja, dan berkumpul dengan keluarga yang utuh seperti teman-temannya.
Namun, kini aku baru mengerti kenapa selama ini ayah meninggalkanku, ibu dan kakak-kakakku. Yakinlah ayah, ibu, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umatnya yang slalu bersabar. Allah akan membantu kita selama kita slalu bertawakal kepadaNya. Walaupun sekarang ayah tetap tak slalu disamping anak-anaknya, tapi kami tetap bersyukur Allah telah memberi kemudahan untuk menyelesaikan masalah keluarga kami. Allah telah memberikan kesehatan dan umur panjang sehingga ayah masih bisa berkumpul dengan kami.
Bagiku keluarga adalah permata yang tak ternilai harganya. Bersama keluarga adalah kebahagiaanku. Bersama keluarga akan menjadi sesuatu yang sulit untuk didefinisikan. Bahagia slalu keluargaku.
Terimakasih Tuhan, engkau telah menolong keluarga kami.
Terimakasih ibu, kakak-kakak, kalian telah memberikan banyak pelajaran tentang arti hidup.
Dan terimakasih ayah. Engkaulah cinta pertama dan terakhir dunia akhiratku.
”Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”
(QS. Ath-Thalaq [64]:4)
“Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”
(QS. Al-Anfal [8]:46)
TAMAT;
BIODATA
Perkenalkan nama saya Eri Susianti, biasa dipanggil Eri. anak ke-5 dari lima bersaudara yang lahir 21 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1998 di Lampung Selatan. Saya berdomisili di Desa Taman Sari, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Lampung Selatan. Tapi sekarang saya sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negri Sultan Maulana Hasanudin Banten semester 5, dan jurusan yang saya ambil adalah Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Nomor telepon saya 081317282814, dan Instagram saya @Erry_susyanti.
Dari riwayat belajar yang saya miliki, saya masih bisa dibilang sangat mentah dalam hal menulis, entah mengapa sering terlintas dalam benak untuk menjadi seorang penulis meskipun saya belum pernah mempelajari teknik-teknik penulisan sebuah karya yang benar selain yang saya pelajari saat sekolah dulu. Terinspirasi dari beberapa tokoh penulis yang menunjukkan sapa dan hatinya melalui tulisan yang indah membuat saya tertarik untuk ikut membuat karya tulis.
Ini adalah karya kedua saya setelah pernah mengikuti lomba Cerpen Nasional saat bulan Maret tahun 2019 lalu di Jogjakarta, saya masuk dalam 15 besar, itupun salah satu motivasi saya untuk menulis lagi. Saya harap naskah saya kali ini dapat menjadi langkah selanjutnya untuk terus mengasah kemampuan saya dalam bidang menulis. Bimbingan dan kritik sangat saya perlukan dalam meningkatkan keputusan pembaca dalam karya saya selanjutya. terimakasih
Beranjak dewasa atau sudah dewasa, entahlah siapa yang perduli dengan semua ini. Dewasa atau tidaknya seseorang itupun hanya persepsi semata, hanya saja fisik yang sekarang ini memang tak serapuh waktu masih kecil dulu. Tapi jika bicara tentang masalah hati dengan pikiran, mungkin sangat berbeda. Masalah yang kita hadapi bukan hanya sekedar terjatuh karena belajar berjalan namun lebih dari itu.
Ada sepenggal cerita tentang hidupku dengan ayahku. Ayah, cinta pertama dunia akhiratku. Ayah, sosok pertama kali yang membisikkan tauhid di telingaku. Ayah, sebuah kata sederhana dengan seribu keajaiban. Ayah, pernahku merasa sangat kehilangan dan membutuhkanmu, bahkan setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu. Ingatkah ayah saat aku kecil kau meninggalkan ku ? saat itu, betapa menderitanya aku.
Saat aku berusia 2 tahun ayah sudah meninggalkanku. Saat itu aku belum mengerti arti penting hadirnya seorang ayah dalam hidupku. Selama ayah pergi, jarang sekali kita bertemu, bahkan hanya untuk sekedar mengucap kata rindu pun sulit. Waktu terus bergulir mengikuti dunia, usiaku pun semakin bertambah dan semakin mengerti arti penting nya seorang ayah. Rasa sepi, sunyi tanpa hadirnya ayah semakin hari semakin terasa. Ketika kami sedang menikmati makan malam dimeja makan, ku sisipkan pertanyaan tentang ayah kepada ibu.
“Ibu, ayah dimana, ko gak pernah pulang ?” Tanya ku kepada ibu
”Ayah kan lagi cari uang untuk sekolah kamu dan kakak-kakak kamu” sahut ibu
“Terus, kapan ayah pulang bu ?” Tanya ku lagi kepada ibu
“sebentar lagi juga ayah pulang nak” berusaha menenangkanku
Ibu slalu menjawab seperti itu, dan menenangkan agar aku mengerti dengan keadaan saat itu.
Entah mengapa hati ini terasa tercabik-cabik dan sedih yang luar biasa bahkan seringkali hampir meneteskan air mata ketika melihat teman dan ayahnya sedang bermain bersama, bercanda tawa, dan saling berbagi kisah. Aku iri, sangat iri dengan teman yang dapat berkumpul dengan keluarganya yang utuh dan di warnai oleh canda tawa dan kebersamaan. Ya, betapa beruntungnya mereka.
Hingga tibalah aku beusia 12 tahun, saat itu aku sudah lulus Sekolah Dasar dan sedang mempersiapkan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama. Aku pun ingin sekali memanfaatkan waktu liburku untuk mencari ayah, mencari cinta pertama dan terakhir dunia akhiratku. Saat sedang membantu ibu memasak aku mencoba meminta izin kepada ibu.
“Ibu, aku kan masih libur sekolah nih, boleh gak kalo aku cari ayah ? Tanyaku dengan penuh harap.
“Ayahkan ada di Padang nak, kenapa kamu mau cari ayah ?” Tanya ibu sambil menatapku
“Iya bu, aku tau ayah ada di Padang, tapi kan selama ini kita gak pernah tau tempat tinggal ayah di sana, aku mau ketemu ayah, dan jemput ayah bu” Jelas ku dengan mata berkaca-kaca
“Tapi nak, ayah baik-baik saja di sana, sebentar lagi juga ayah pulang” jawab ibu seraya memalingkan wajahnya
“ Naah… kebetulan ayah mau pulang, jadi kenapa gak sekalian kita jemput ayah bu ?” Jawabku
“Gak bisa nak, kalo kita pergi nanti siapa yang akan merawat kakak-kakakmu yang masih sekolah ?” Jelas ibu
Saat itu hatiku cukup kecewa, keinginanku tidak dapat restu dari ibu. Tapi, aku harus terus berusaha meyakinkan ibu bahwa aku bisa mencari ayah. Dan ternyata Allah maha mengetahui dan maha memberi pertolongan. Saat itu ada tetangga yang akan pergi ke Kota dimana ayah berada. Sebut saja ibu Nina.
“ya udah, kalo gitu aku pergi ikut sama bu Nina aja ya bu?” Lanjutku lagi
“Ibu Nina ?” dengan wajah terkejut
“Iya bu, bu Nina katanya mau ke Padang, dan rumahnya dekat dengan rumah ayah di sana”. Berusaha menjelaskan
“Jangan sayang, kamu masih terlalu kecil untuk pergi jauh apalagi bukan sama ibu”. Jelas ibu dengan wajah khawatir
“Ibu, aku udah besar, percaya sama aku, aku pasti akan pulang dengan selamat dan membawa pulang ayah”. Berusaha meyakinkan ibu
“Tapi nak…”
“Ibu, aku mohon izinkan aku, aku rindu ayah, aku ingin peluk ayah, main bareng ayah kaya temen-temen yang lain. Tolong bu”. Memotong pembicaraan ibu sambil menggengam tangan ibu
Ibu pun merasa kasihan dan tak tega melihatku menangis memohon-mohon padanya.
“Baiklah nak, ibu izinin tapi kamu harus hati-hati dan janji pulang lagi kesini”. Jawab ibu
“Bener bu, boleh ?” jawabku dengan wajah gembira
“Iya, tapi mau ibu pastikan dulu dengan bu Nina, dan minta tolong untuk menjaga dan membawa mu pulang lagi ke rumah”. Jelas ibu
“Siap ibu, aku janji akan berhati-hati dan pulang ke rumah lagi”. Jawab ku dengan senang
Aku tau ada rasa khawatir di raut wajah ibu. Ibu pun sebenarnya tidak tega membiarkanku untuk pergi tanpanya. Namun karna keadaan saat itu yang tidak memungkinkan untuk ibu ikut denganku. Aku terus meyakinkan ibu dan kakak-kakakku bahwa aku akan baik-baik saja. Aku akan kembali ke rumah dengan selamat dan mebawa ayah pulang.
**
Di kamar ibu membantuku menyiapkan pakaian yang akan ku bawa. Tak lama bu Nina menghampiri ku ke rumah. Wajah yang tak biasa terlihat dari wajah ibu, kecemasan, kekhawatiran mulai menjalar ke seluruh hati dan jiwanya. Dan tak terasa air mata membasahi pipi ibuku. Aku pun menangis, betapa sakitnya hati ini melihat ibu menangis karena ku. Berat rasanya ketika untuk pertama kalinya meninggalkan ibu walau hanya sebentar. Entah perasaan apa yang aku rasakan saat itu, senang, sedih, takut, bercampur jadi satu.
“Ibu, aku pamit pergi dulu ya?” sambil menggapai tangan ibu
“Iya nak, kamu hati-hati, baik-baik di sana, pokoknya jadi anak yang baik”. Pesan ibu dengan mata berkaca-kaca
“Iya bu, aku akan jaga diri dan jadi anak yang baik, ibu jangan khawatir”. Meyakinkan ibu
“Iya sayang”. Sahut ibu sambil memelukku
Kemudian ibu mengantarku ke halaman rumah dan membawakan tas bajuku.
“Bu Nina, saya titip anak saya ya”. Ucap ibu
“Iya bu, Insya Allah anak ibu akan baik-baik saja”. Jawab bu Nina
“Iya bu, trimakasih banyak”.
“kami berangkat dulu ya bu, Assalamualaikum” ucap bu Nina sambil bersalaman dengan ibu
“Iya bu, walaikumsalam. hati-hati dijalan”.
Entahlah, perasaan apa yang ibu rasa saat itu, yang aku tau ibu sangat khawatir padaku.
Mobil kami pun mulai menyala dan perlahan pergi menjauh meninggalkan rumah, dari balik kaca mobil aku tak berkedip melihat ibu yang masih tetap berdiri di halaman rumah dengan wajah cemas.”Ibu, aku akan baik-baik saja, aku pasti akan pulang lagi ke rumah, kita pasti akan bersama-sama lagi, doakan aku yang akan berjuang menjemput ayah pulang, doakan!” (bergumam dalam hati)
Selama dalam perjalanan tak henti aku memikirkan ibu dirumah, bagaimana keadaannya, perasaannya, tapi disisi lain aku sangat bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan ayah. Aku akan buktikan kepada dunia bahwa akupun punya ayah, akupun bisa bermain dan bahagia bersama ayah.
Perjalanan terasa begitu panjang dan melelahkan, tak sabar rasanya ingin segera sampai dan berjumpa dengan ayah. Hingga akhirnya mobil kami berhenti di halaman sebuah rumah kecil yang berada di pedesaan sudut kota Padang. Kemudian bu Nina mengajakku untuk turun, aku pun membuka pintu dan perlahan turun dari mobil sambil melihat heran ke arah rumah itu.
“Bu Nina, ini rumah siapa ?” Tanya ku dengan heran
“Ini rumah ayahmu, nak”. Jawab bu Nina
“Sungguh bu ?” jawabku dengan wajah gembira
“iya, sungguh?.
“Alhamdulillah, akhirnya kita sampai juga”.
Tak sabar lagi rasanya hati ingin segera bertemu dengan ayah
“Tok… tok… tok…
Assalamualaikum…” Ucap bu Nina
“Walaikumsalam…” sahut dari dalam rumah
Berdebar rasanya hatiku ketika mendengar suara laki-laki menjawab salam dari dalam rumah. Tak lama dibukalah pintu itu.
“Bu Nina, anakku, kalian sudah sampai “. Dengan wajah terkejut
“Alhamdulillah pak”. Sahut bu Nina
“Anakku, apa kabar kamu nak ?”sambil memelukku
“aku baik ayah, ayah gimana ?”
“Ayah baik nak. Mari-mari semuanya masuk, kita ngobrol didalam saja”. Sambil mengangkat tangan tanda ajakan.
Dan kami pun masuk ke dalam rumah. Perbincangan hangat di ruang tamu terjalin antara ayah, aku dan keluarga bu Nina yang sudah lama tidak bertemu dengan ditemani teh hangat pagi itu. Tak lama bu Nina dan keluarganya berpamitan untuk pergi melanjutkan perjalanan ke rumah nya di sana.
“Kalo begitu saya pamit dulu ya pak, anak saya sudah menunggu dirumah” sambil mengangkat tangan untuk bersalaman
“Oh, baik bu, terimakasih banyak bu sudah membawa anak saya kesini dan sudah menjaganya” jawab ayah dan bersalaman
“Iya pak sama-sama. Yasudah kami pamit pak, Assalamuaikum”
“Walaikumsalam” Jawab ayah
“Bu Nina trimakasih, hati-hati dijalan” triakku kepada bu Nina sambil melambaikan tangan
“Iya nak, sama-sama” jawab bu Nina dari dalam mobil
Kemudian aku dan ayah kembali masuk kedalam rumah dengan hati yang bahagia, akhirnya sekian lama kami dapat betemu lagi. “Trimakasih Tuhan engkau masih berikan kami umur panjang dan kesempatan untuk saling menatap”. (gumam ku dalam hati)
Selama bersama ayah aku merasakan kasih sayang dari sosok ayah yang begitu besar, perhatiannya yang selama ini tidak begitu aku rasakan, kali ini begitu terasa. Setiap hari bersamanya, menceritakan banyak hal, berlibur bersama, kemanapun bersama. Tapi, sepertinya aku harus mematahkan keinginan ku untuk membawa ayah pulang dan berjumpa dengan ibu di rumah. Sayangnya ayah harus menyelesaikan pekerjaannya, sehingga ayah harus tetap disana dan aku harus pulang tanpa ayah.
10 hari bersama ayah tak cukup rasanya untuk meruntuhkan rasa rindu padanya. Namun, aku harus melanjutkan sekolah ku di kampung, terpaksa aku harus pulang meninggalkan ayah seorang diri di sana. Meski demikian setidaknya aku sudah bertemu dan merasakan bahagianya hidup bersama ayah.
“Ayah, aku pulang dulu ya, kalo pekerjaan ayah disini udah selesai, ayah cepet pulang.” Pintaku kepada ayah
“Iya sayang, ayah akan segera pulang”. Jawab ayah dengan mata berkaca-kaca
“Ayah janji ya”. Sambil memeluk ayah dengan erat
“Iya sayang ayah janji. Yaudah kamu hati-hati di jalan, jadi anak yang baik ya?” sambil menatapku
“Baik ayah, Assalamualaikum”
“Walaikumsalam sayang, kamu hati-hati nak” dengan wajah penuh kekhawatiran
“Iya ayah”
Tak terasa di sepanjang jalan air mata ku menetes, perpisahan ini begitu menyakitkan bagiku. Cinta yang sudah ku temukan kini harus ku tinggalkan lagi. Untuk menunggu ayah pulang butuh waktu yang cukup lama. Semakin umurku bertambah aku semakin dewasa. Aku ingin tahu kenapa ayah tidak mau bekerja dirumah. Saat kami sedang duduk santai diruang keluarga aku memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu.
“Ibu, kenapa selama ini ayah gak pernah pulang dan gak mau kerja dikampung kaya dulu lagi?”. aku memulai pembicaraan
“Kenapa kamu tiba-tiba nanya itu nak ?”
“Aku hanya ingin tahu bu”.
“Begini nak, ayahmu ditipu sama saudara kita sendiri sampai usaha ayah dirumah bangkrut. Jadi, ayah harus pergi mencari uang yang lebih besar biar kamu dan kakak-kakakmu bisa lanjut sekolah dan melunasi hutang saudara ayahmu”. Jelas ibu dengan nada pelan
“Astagfirullahaladzim, jadi selama ini ayah harus mempertanggungjawabkan apa yang bukan dilakukan sama ayah bu?”. Tanyaku dengan wajah terkejut
“Iya nak, Itu sebabnya kenapa ayah gak pernah pulang, karna kalo pulang akan ada Rentenir yang mencari ayah”. Jelas ibu kembali
“Ya Allah bu, kasihan sekali ayah. Maafkan aku yang gak pernah mengerti ibu dan ayah”. Dengan wajah penuh penyesalan
“Tidak apa-apa nak, memang kami menyembunyikan hal ini dari kamu, dulu kamu masih terlalu kecil untuk tau hal ini” jelas ibu
“Iya bu, maafkan aku” sambil menundukan kepala
“Yasudah sekarang kamu sudah tau, kamu gak usah sedih lagi, perjuangan ayah dan kakak-kakakmu alhamdulillah dipermudah oleh Allah, jadi sekarang masalah sudah selsai dan ayah sudah sering pulang. Doakan saja untuk kesehatan dan keselamatan ayah”. Jelas ibu dengan lembut
“Baik bu, aku slalu doakan untuk kesehatan dan keselamatan kita semua”
**
Dulu aku pernah berfikir bahwa ayahku tidak menyayangiku, ayah egois, ayah jahat, ayah telah meninggalkan gadis kecilnya, gadis kecil yang membutuhkannya, yang slalu ingin di manja, dan berkumpul dengan keluarga yang utuh seperti teman-temannya.
Namun, kini aku baru mengerti kenapa selama ini ayah meninggalkanku, ibu dan kakak-kakakku. Yakinlah ayah, ibu, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umatnya yang slalu bersabar. Allah akan membantu kita selama kita slalu bertawakal kepadaNya. Walaupun sekarang ayah tetap tak slalu disamping anak-anaknya, tapi kami tetap bersyukur Allah telah memberi kemudahan untuk menyelesaikan masalah keluarga kami. Allah telah memberikan kesehatan dan umur panjang sehingga ayah masih bisa berkumpul dengan kami.
Bagiku keluarga adalah permata yang tak ternilai harganya. Bersama keluarga adalah kebahagiaanku. Bersama keluarga akan menjadi sesuatu yang sulit untuk didefinisikan. Bahagia slalu keluargaku.
Terimakasih Tuhan, engkau telah menolong keluarga kami.
Terimakasih ibu, kakak-kakak, kalian telah memberikan banyak pelajaran tentang arti hidup.
Dan terimakasih ayah. Engkaulah cinta pertama dan terakhir dunia akhiratku.
”Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”
(QS. Ath-Thalaq [64]:4)
“Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”
(QS. Al-Anfal [8]:46)
TAMAT;
BIODATA
Perkenalkan nama saya Eri Susianti, biasa dipanggil Eri. anak ke-5 dari lima bersaudara yang lahir 21 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1998 di Lampung Selatan. Saya berdomisili di Desa Taman Sari, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Lampung Selatan. Tapi sekarang saya sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negri Sultan Maulana Hasanudin Banten semester 5, dan jurusan yang saya ambil adalah Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Nomor telepon saya 081317282814, dan Instagram saya @Erry_susyanti.
Dari riwayat belajar yang saya miliki, saya masih bisa dibilang sangat mentah dalam hal menulis, entah mengapa sering terlintas dalam benak untuk menjadi seorang penulis meskipun saya belum pernah mempelajari teknik-teknik penulisan sebuah karya yang benar selain yang saya pelajari saat sekolah dulu. Terinspirasi dari beberapa tokoh penulis yang menunjukkan sapa dan hatinya melalui tulisan yang indah membuat saya tertarik untuk ikut membuat karya tulis.
Ini adalah karya kedua saya setelah pernah mengikuti lomba Cerpen Nasional saat bulan Maret tahun 2019 lalu di Jogjakarta, saya masuk dalam 15 besar, itupun salah satu motivasi saya untuk menulis lagi. Saya harap naskah saya kali ini dapat menjadi langkah selanjutnya untuk terus mengasah kemampuan saya dalam bidang menulis. Bimbingan dan kritik sangat saya perlukan dalam meningkatkan keputusan pembaca dalam karya saya selanjutya. terimakasih