Menyapa Pagi di Sambut Mentari
Saat
pagi menyapa, cahaya mentari mulai terlihat dari ufuk Timur yang muncul dari
persembunyianya dengan senyum ramahnya. Perlahan cahaya mentari itu naik ke
langit dengan dihiasi burung-burung yang indah. Sang mentari merebahkan
sinarnya dan masuk melalui celah jendela kamar dengan diiringi kicauan burung
yang begitu menyejukkan hati. Hangatnya sinar mentari telah merasuk ke tubuh
kecil ku dan pepohanan hijau diluaran sana.
Aku
adalah seorang gadis Jawa yang terlahir dari keluarga sederhana yang diberi
nama Elisa Violita, anak bungsu yang mulai beranjak dewasa. Usia ku yang
semakin bertambah membuatku berfikir bahwa aku harus tumbuh menjadi gadis yang
mandiri dan harus melatih diri untuk bekerja keras dalam hal mencapai masa
depan.
Suara
alarm yang tiba-tiba terdengar membuatku tersadar dari mimpi. Tak lama aku
mematikan alarm yang sedang berbunyi. Mulai saat itulah aku baru sadar bahwa
saat ini aku sedang berada di tanah perantauan. Perbedaan pulau telah membuatku
rindu akan suasana rumah. Suara lirih ibu yang begitu merdu ku dengar di setiap
pagi untuk membangunkan ku dari tidur. Kini suara indah itu berganti dengan
suara alarm yang mengagetkan karena suaranya yang begitu nyaring menyakitkan
telinga. Aktifitas pagi saat aku membantu ibu untuk memasak, sarapan bersama,
berbincang dan kegiatan indah lainnya kini tiada lagi ku rasakan. Seketika aku
pun terdiam, aku sadar bahwa dulu aku sering menyianyiakan apa yang telah di
anugerahkan Allah SWT kepadaku saat masih berada dirumah.
Waktu
terus berjalan, kemudian tak lama temanku menyuruhku untuk mandi karena harus
berangkat ke kampus. Sebut saja Indah, ia adalah teman kamarku sekaligus orang
yang pertama kali aku kenal di tanah perantauan.
“Elisa, bangun! udah siang nih, cepet
mandi !” perintah Indah padaku
“Iya
ndah, siap” jawabku sambil beranjak dari tempat tidur.
Tak
lama aku dan Indah melangkahkan kaki demi masa depan yang aku sendiri tidak tahu
akan seperti apa, sukses atau tidak? bahagia atau tidak ? entahlah! Kita hanya
dapat berencana, berdoa, dan berusaha, selebihnya menjadi urusan Allah SWT.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB, kami pun tiba di kampus dan sudah
duduk di dalam kelas. Pagi itu aku melihat wajah-wajah baru yang datang dengan
gembira, mungkin ini hal menyenangkan bagi mereka karena hari itu merupakan
hari pertama kami duduk di bangku perkuliahan yang penuh dengan teman-teman
baru dan suasana baru yang membuat mereka tersenyum ceria. Namun tidak dengan
ku, disini aku merasakan sepi, tanpa sanak saudara dan jauh dari orang tua.
“Elisa, kamu kenapa dari tadi murung saja ?” Tanya Indah penasaran
“Indah,
aku disini merasa sendiri dan sepi. aku ingin pulang, Aku rindu ibuku” jawabku
murung
“Elisa, kamu gak boleh terpuruk,
kamu harus ingat ada orang tua dan keluarga yang harus kamu bahagiakan. Buatlah
mereka bangga dengan mu”. Jawab Indah lembut
“Iya
ndah, aku tau itu. Sejak awal aku menetap disini aku sama sekali tidak
merasakan kenyamanan, aku bingung bagaimana cara mengakhiri semua ini. Rasanya
aku hanya ingin pulang”.
“Apakah dengan kamu berputus asa
begini masalahmu akan selesai ? bagaimana dengan orang tua dan masa depan mu ?”
“Entahlah,
batinku tidak karuan rasanya” Jawabku sambil menghela nafas
“Baiklah, tenangkan dan pikirkan
baik-baik lagi, dan ingat niat awal kamu kesini untuk apa”. Indah coba
meyakinkanku
“Iya
ndah, aku gak boleh gegabah dengan hal ini, makasih ya untuk motivasinya”
jawabku dengan berbalas senyum
“Iya sama-sama, yaudah yuk kita
pulang”. Ajak Indah sambil menggandengku.
Sinar
mentari begitu menyengat, jalan yang ku lalui begitu gersang rasanya. Keringat
bercucuran, nafas pun terengah-engah. Saat itulah ku anggap sebagai perjuangan
kecil untuk masa depanku. Dengan kemantapan hati dan aku bertekad aku pun mampu
sukses dan aku mampu membuat bangga orang tua dan keluarga. Demi mereka aku
harus kuat.
Semua
berlalu begitu cepat. Entahlah bagaimana mesin waktu bekerja. Sejak saat itu
aku selalu meyakinkan hati bahwa inilah yang terbaik. Mencari kenyamanan,
menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan positif, dan berusaha lebih keras
lagi. Tak henti untuk selalu berdoa semoga waktu membawaku menuju kebahagiaan
diiringi dengan Ridho Allah SWT.
***
Dari
hal ini aku mendapat pelajaran bahwa malam aka nada siang, gelap aka nada
terang, kesulitan aka nada kemudahan. Maka dari itu setiap pagi aku gemar
menyapa pagi dengan senyuman hangat dan penuh harapan indah yang akan di sambut
oleh hangatnya mentari pagi. Inilah yang aku namakan Menyapa Pagi di Sambut
Mentari.