BPJS GAGAL, SEPERTI APA SOLUSINYA?

Aksi LMND Serang Menuntut Pembubaran BPJS

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional  dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Jaminan Sosial. Seperti yang disebut dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004, BPJS merupakan badan hukum nirlaba

BPJS ini juga yang menggantikan beberapa lembaga sosial yang ada seperti Lembaga Asuransi Jaminan Kesehatan PT Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan dan lembaga jaminan sosial Ketenagakerjaan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.

Dalam prakteknya, perubahan ini dilakukan secara bertahap antara lain pada awal tahun 2014 lalu oleh PT Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan, baru kemudian pada tahun 2015 disusul BPJS Ketenagakerjaan.

Sejak awal pelaksanaannya hingga sekarang, berbagai macam problem muncul dalam badan ini. Defisit yang terus membengkak dari tahun ke tahun akibat pengelolaan keuangan yang bermasalah harus ditanggung oleh Negara dan harus merugi dalam jumlah yang cukup besar. 

Seperti yang tertera dalam UU NO 20 Tahun 2004 bahwa prinsip dasar BPJS juga sudah tidak lagi Nirlaba, selama ini BPJS selalu bicara tentang Profit untuk mencari keuntungan.

Dalam keadaan serba bermasalah karena Negara tidak ingin menalangi defisit keuangan BPJS yang menggeludak, pada Kamis 24 Oktober 2019 Presiden menaikan iuran sampai 100 persen lewat Perpres No 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2020 mendatang. Dalam peraturan baru itu kita bisa lihat klasifikasinya sebagai berikut:

Peserta Mandiri : Rp 42.000 per bulan untuk kelas III (tiga)
Sebesar Rp. 110.000 per bulan untuk kelas II (dua)
Sebesar Rp. 160.000 per bulan untuk kelas I (satu)

Besaran yang dibebankan kepada rakyat tersebut tentu saja sangat betentangan dengan Konstitusi yang telah mengamanatkan Negara untuk menjamin hak dasar warga negaranya dalam  mengakses layanan kesehatan tanpa diskriminasi dan rintangan biaya (UUD 1945 pasal 28 H). Besaran yang telah ditentukan oleh Perpres baru tersebut tentu saja sangat merugikan rakyat ditengah sulitnya memenuhi kebutuhan sehari hari terlebih untuk keluarga kelas menengah kebawah. Sebelum kenaikan iuran saja, 32 juta peserta mandiri BPJS Kesehatan (PBPU) secara keseluruhan, 16 juta atau 50 persen dari peserta nunggak membayar iuran. Faktor utamanya tentu saja alasan ekonomi yang serba tidak berkecukupan.

Perlu dicatat, meski kelas menengah kebawah (miskin) sudah ditanggung iurannya oleh pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI), hal demikian nampaknya perlu pula untuk dipertanyakan jika kita merujuk pada pada kriteria miskin menurut BPJS. Garis kemiskinan per mart 2019 hanya Rp 425.250 per bulan. Padahal masih banyak orang miskin yang tidak tercatat dan dinyatakan masuk kriteria tidak miskin.

Kenaikan iuran ini juga tidak didahuli pertimbangan yang matang oleh pemerintah. Tidak ada pertimbangan karena difisit yang terus menerus terjadi tidak pernah ada upaya evaluasi secara serius dan audit sebelum kenaikan iuran dinaikan. Padahal tindakan demikian amat perlu, barangkali problemnya tidak hanya disitu, tetapi dalam hal hal lain yang dikeluarkan oleh BPJS. 

Sangsi-sangsi yang akan ditetapkan untuk peserta yang tidak menaati atutan baru tersebutpun nampaknya menjadi pertimbangan yang substantif agar BPJS sebagai sistem yang gagal tersebut untuk dibubarkan. Pasalnya, akan ada penagihan langsung yang melibatkan Debt collector supaya iuran tidak nunggak serta akan ada sangsi publik yang diberikan kepada rakyat antara lain: mempersulit Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Sertifikat Tanah Paspor serta Surat Tanda Nonor Kendaraan (STNK). Tidak patut kiranya, BPJS sebagai layanan sosial yang merupakan hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh Negara harus mendapatkan sangsi layaknya penerima kredit komersial atau peserta asuransi komersial. Jika kita mau berujuk pada UU SJSN, bukankah salah satu asasnya adalah asas kemanusiaan?

Selain kesalahan-kesalahan yang memberatkan rakyat, Prinsip dasar BPJS berbadan hukum nirlaba sekarang sudah diliberalisasi pula. Dimana liberalisasinya?

Sebanyak 63 persen rumah sakit yang ada di Indonesia adalah milik swasta. Jika demikian adanya, wajar belaka jika orientasi Sistem kesehatan bukan lagi sosial tetapi malah komersial. Selain itu obat-obatan yang beredar juga di Impor dari luar . Ada kurang lebih 26 perusahaan farmasi milik asing, dari mulai yang generik, generik bermark dan yang paten. Obat-obatan yang ada tersebut sulit didapatkan oleh rakyat karena besaran harga yang tidak terjangkau karena harga tersebut ditentukan oleh mekanisme pasar, kadangkala turun kadangkala naik. Terhadap sistem BPJS yang menggunakan asuransi sosial juga sangat bertentangan dengan konstitusi. Jika menggunakan sistem asuransi sosial tentu saja akan selalu bicara untung dan rugi dalam pelaksanaannya. Padahal, jaminan kesehatan seharusnya jaminan sosial yang harus menjamin hak-hak dasar warga Negara tanpa diskriminatif.

Pada Rabu (27/11) Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah Banten, Lampu dan Kalimantan menyelenggarakan konferensi pers dan menyatakan bahwa ada 1,1 juta Peserta di Banten nunggak iuran per 1 November sebesar Rp. 766,722 miliar. Dari 1,1 juta jiwa tersebut klasifikasinya sebagai berikut:

  1. Peserta Mandiri kelas 1 sebanyak 209,304 jiwa dengan jumlah tunggakan (Rp. 279, milyar)
  2. Peserta kelas ll sebanyak 319,579 jiwa dengan jumlah tunggakan (Rp. 253 milyar)
  3. Peserta kelas lll sebanyak 670,735 jiwa dengan jumlah tunggakan (Rp. 233 milyar)

Dari peserta yang nunggak iuran yang tersebar di Prov. Banten tertinggi ditempati oleh Kota Serang yakni dari total 198,097 jiwa, total tunggakan yang wajib dibayar sebesar Rp. 67,1 miliar. Kabupaten/kota yang lain adalah Kab. Tangerang dari total 151,994 jiwa, yang menunggak iuran sebesar Rp 55,6 miliar. Selanjutnya Kabupaten Serang dari total 78,539 jiwa yang menunggak, tunggakan sebesar Rp 28,4 Miliar. Sementara kota Tangerang dari total 75,808 jiwa, yang menunggak iuran sebesar Rp. 27,2 miliar.

Dari berbagai problematika yang kami sampaikan diatas, kami menilai bahwa BPJS sebagai badan penyelenggara jaminan sosial sejatinya tidak pernah menjadi sebuah lembaga yang sosial. Ada banyak binsis dan keuntungan yang diraup untuk memperkaya diri sendiri dengan cara memeras uang rakyat Indonesia. BPJS telah gagal menjadi penyelenggara jaminan sosial bagi rakyat.

Kami menawarkan supaya BPJS dibubarkan dan diganti dengan Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta (JAMKESRATA)



Skemanya sebagai berikut:

  1. Negara bertanggung jawab penuh terhadap sistem layanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesiadengan fasilitas kelas lll, total coveraged
Rp. 10.000/bulan x 12 bln = 120.000/tahun/jiwa.

120.000/jiwa/tahun x 270.000.000 = Rp 32.400.000.000.000
32,4 Triliun Negara siapkan untuk JAMKESRATA/Tahun. Ini tidak akan habis terpakai jika tata kelolanya dilakukan dengan benar

  1. Mengembalikan program layanan kesehatan pada program jaminan kesehatan Mayarakat atau JAMKESMAS dan bagi daerah dengan penyesuaian kemampuan keuangan daerah masing-masing, kembali pada program JAMKESDA. Karena program ini sudah terbukti efektif dengan cukup menggunakan KK/KTP dan efisien dalam penggunaan anggaran juga total coveraged
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url