BPJS Gagal, Wujudkan JAMKESRATA
Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi |
[SRMI Surabaya, LMND Surabaya, API KARTINI Surabaya]
Akhir-akhir ini perbincangan tentang jaminan sosial terutama BPJS Kesehatan semakin menyita perhatian setelah pemerintah menaikkan iuran sebesar 100% lewat Perpres No. 75 Tahun 2019. Perdebatanya yang mengemuka lebih pada persoalan teknis, defisit, carut-marut pelayanan dan besaran kenaikan iuran. Parahnya, pemerintah, BPJS Kesehatan dan para pendukungnya menyatakan bahwa penyebab defisit dan masalah BPJS Kesehatan berasal masih kecilnya iuran dan rakyat yang tidak patuh membayar iuran. Maka, mereka sepakat kenaikan iuran adalah solusi.
Padahal itu semua merupakan akibat dari sistem jaminan kesehatan yang dianut oleh Indonesia, yaitu jaminan kesehatan dengan prinsip asuransi sosial (UU No 40 Tahun 2004 pasal 19).
Sistem Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bermasalah. Selain pengelolaan anggarannya yang terus defisit dari tahun ke tahun, filosofi yang dianut BPJS sangat berorientasi profit. Padahal, jika merujuk ke mandat Konstitusi (UUD 1945 pasal 28 H), kesehatan dinyatakan sebagai salah satu hak dasar Warga Negara. Artinya, Negara harus menjamin hak setiap Warga Negara untuk bisa mengakses layanan kesehatan, tanpa diskriminasi dan rintangan biaya.
Karena itu, untuk mewujudkan mandat Konstitusi di bidang kesehatan rakyat, Kami mengajukan konsep Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta (JAMKESRATA).
Demikian halnya, dengan banyaknya masalah pada BPJS Kesehatan sekarang membuktikan bahwa sistem asuransi sosial ini tidak bisa memberikan pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang baik kepada rakyat.
Atas dasar analisis di atas, Kajian kami menyimpulkan:
1. Bahwa jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan adalah hak seluruh warga negara Indonesia (rakyat semesta) yang wajib dipenuhi oleh negara, sesuai Konstitusi (UUD 1945) dalam kerangka kemanusiaan yang adil dan beradab demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Bahwa dalam ketentuan umum (Pasal 1 ayat (3)) UU No. 40 /2004 dan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) yang memuat prinsip-prinsip asuransi telah menyalahi prinsip jaminan sosial sesuai konsitusi. Sehingga pelaksanaannya menjadi bermasalah dan akan terus merugikan rakyat dan negara.
3. Bahwa jaminan sosial tidak bisa diselenggarakan dengan sistem atau prinsip asuransi sosial.
4. Bahwa secara konsepsi maupun operasional BPJS telah gagal menjamin hak rakyat atas jaminan kesehatan sebagaimana amanat konstitusi.
5. Kegagalan BPJS tersebut di atas dibuktikan dengan: 1) tuntutan adanya iuran wajib dari warga negara; 2) defisit dari tahun ke tahun yang terus meningkat; 3) beban anggaran negara dan pemerintah daerah sangat besar tapi output pelayanan seringkali mengecewakan (bandingkan dengan Jamkesmas); 4) birokratisme yang berbelit-belit sehingga seringkali mengorbankan hak rakyat yang membutuhkan pengobatan/perawatan;
5) prinsip gotong royong yang telah termanipulasi seperti dijelaskan di atas, serta; 6) klaim fiktif dan korupsi yang merajalela.
6. Bahwa komersialisasi di sektor kesehatan telah berperan besar dalam membengkaknya biaya kesehatan dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu kami menawarkan solusi yang bersesuaian dengan Konstitusi dan UU:
1. Mencabut UU SJSN dan UU BPJS. Konsekuensinya adalah BPJS dibubarkan. Sebelum dibubarkan harus dilakukan audit menyeluruh terhadap BPJS dan seluruh rekanan yang terkait.
2. Wujudkan Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta (JAMKESRATA), yang menjamin seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali dengan standart layanan yang layak.
3. Jamkesrata merupakan bagian dari upaya negara untuk memberikan jaminan kesehatan yang promotif, preventif dan rehabilitatif. Oleh karena itu harus dilaksanakan secara langsung oleh negara melalui Kementerian Kesehatan.
4. Negara mengalokasikan Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) per warga negara setiap bulan untuk seluruh 270 juta WNI tanpa kecuali. Dengan skema ini negara mencadangkan (10,000 x 12 bulan x 270 juta penduduk) sekitar 32,400,000,000,000 (tiga puluh dua triliun empat ratus miliar rupiah) setiap tahun. Angka di atas jauh lebih kecil dibandingkan subsidi pemerintah untuk 96,8 juta PBI dari APBN ditambah 37,1 juta PBI dari APBD. Bahkan apabila alokasi dinaikkan jadi Rp. 20,000,- per warga negara (jadi total 64,8 triliun), pemerintah tetap dapat menghemat anggaran dalam jumlah yang besar.
5. Pemerintah Daerah dapat berpartisipasi dalam JAMKESRATA melalui alokasi APBD tapi tidak membatasi rakyat untuk berobat di manapun dalam wilayah Indonesia. Oleh karena itu data atau nomor kepesertaannya dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
6. Untuk mendukung program JAMKESRATA pemerintah harus membangun fasilitas kesehatan secara massal dan merata di seluruh Indonesia serta melakukan pengembangan (riset) untuk penyediaan obat-obatan generik berkualitas.
7. Pemerintah juga wajib mengembangkan konsep hidup sehat, terutama pada faktor perilaku dan lingkungan sehat yang berkontribusi 70% terhadap kesehatan manusia di samping kelainan bawaan dan akses kesehatan (30%).
8. Rasio jumlah dokter di Indonesia masih sangat kurang, yaitu 1 dokter untuk 5.000 penduduk. Untuk menghasilkan rasio jumlah dokter yang lebih baik maka tidak ada jalan lain kecuali pemerintah mendirikan lebih banyak fakultas kedokteran dan melakukan subsidi sekolah-sekolah tersebut.
9. Dengan sistem (Jamkesrata) ini skema pembiayaan semata-mata bersumber dari pajak (progresif) yang dihimpun melalui instrumen negara, sehingga tidak membutuhkan iuran khusus yang dijalankan oleh badan tersendiri seperti BPJS
BubarkanBPJS
WujudkanKesejahteraanSosial
Menangkanpancasila