Stop Merampas Kemanusiaan Kami, Wujudkan Sistem Pendidikan yang Memanusiakan
Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (EW-LMND) DIY
Nomor : 010/EW-LMND-DIY/XII/2019
Hal : Pernyataan sikap
Lam. : -
Ditunjuknya
Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Kemendikbud)
Republik Indonesia seakan memberi warna baru bagi kabinet Jokowi-Ma’ruf.
Di usianya yang masih cukup muda ini Nadiem berkali-kali mengemukakan
terobosan-terobosan baru di dunia pendidikan nasional.
Pertama ialah evaluasi kelembagaan yaitu revisi paradigma lembaga pendidikan sebagai pelayan bukan lagi sebagai pengawas dan evaluasi anggaran. Kedua perbaikan struktur kelembagaan agar sepenuhnya bermanfaat bagi pembelajaran. Ketiga revolusi mental di masyarakat, bukan di dalam sistem institusi pendidikan saja. Keempat pengembangan teknologi agar dapat membantu guru dalam menjalankan kegiatan pendidikan.
Pertama ialah evaluasi kelembagaan yaitu revisi paradigma lembaga pendidikan sebagai pelayan bukan lagi sebagai pengawas dan evaluasi anggaran. Kedua perbaikan struktur kelembagaan agar sepenuhnya bermanfaat bagi pembelajaran. Ketiga revolusi mental di masyarakat, bukan di dalam sistem institusi pendidikan saja. Keempat pengembangan teknologi agar dapat membantu guru dalam menjalankan kegiatan pendidikan.
Visi pendidikan dalam pemikiran Nadiem mengandung gagasan yang lebih
maju dibandingkan dengan kebijakan menteri sebelumnya. Visi tentang
kemerdekaan belajar bagi peserta didik memberikan keleluasaan peserta
didik untuk belajar dan memilih sesuatu yang dipelajari sesuai minat dan
bakatnya. Visi pendidikan yang semacam ini sebenarnya selaras dengan
pembangunan industri kreatif. Out put pendidikan akan melahirkan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang lebih kreatif dan inovatif. Namun terobosan ini
masih dalam kerangka corak ekonomi yang sama, yaitu corak ekonomi
kapitalistik. Paradigma pendidikan masih mengabdi pada kepentingan
pasar, seperti apa yang belum direvisi di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005/2025. Alhasil, SDM yang lahir dari
pendidikan Indonesia layaknya “mayat hidup” yang hanya patuh menerima
perintah.
Paling
terbaru ialah keberanian Nadiem Makarim untuk menghapus Ujian Nasional
(UN) pada tahun 2021. Penghapusan UN tampak menjadi kontroversi yang
berguna bagi warna baru kabinet Jokowi-Ma’ruf. Pasalnya ada masalah yang
lebih mendasar dari pada UN. Persoalan yang lebih mendasar dibandingkan
UN ialah perihal tingkat partisipasi masyarakat terhadap dunia
pendidikan yang semakin menurun di setiap jenjangnya. Tidak tersentuhnya
persoalan ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen pemerintahan
Jokowi-Ma,ruf terhadap akses masyarakat pada dunia pendidikan.
Survei
sosial-ekonomi nasional dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
adanya adanya 4,5 juta anak Indonesia belum pernah menyentuh dunia
pendidikan. Tingginya biaya pendidikan menjadi alasan utamnya. BPS juga
mencatat sebesar 10% kenaikan biaya pendidikan tiap tahunnya.
Berdasarkan angka yang dirilis kemendigbud.co.id,
Angka Partisipasi Kasar (APK) 2018 tingkat menunjukkan angka 90,36,
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 76,5, dan Sekolah Menengah Atas (SMA)
77,88. Sedangkan APK Perguruan Tinggi 2018 menurut BPS menunjukkan angka
30,19. Dari data tersebut menunjukkan adanya ketimpangan APK di setiap
jenjang pendidikan. Terutama masih rendahnya partisipasi masyarakat di
Perguruan Tinggi.
Kesenjangan
pertisipasi masyarakat yang semakin menurun di setiap jenjangnya tidak
terlepas dari daya jangkau masyarakat terhadap pendidikan. Oleh
karenanya alokasi anggaran bagi dunia pendidikan nampak tidak tepat
sasaran. Dari 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada
2018 lalu sebesar Rp 444,131 triliun. Anggaran tersebut mengalir ke
pemerintah pusat Rp 149,68 triliun, melalui transfer ke Daerah dan Dana
Desa sebesar Rp 279,45 triliun, dan anggaran pendidikan melalui
pembiayaan sebesar Rp 15 triliun. Anggaran pendidikan melalui belanja
pemerintah pusat tersebar ke 20 kementerian dan lembaga. Paling besar
mengalir ke Kementerian Agama yaitu Rp 52,68 triliun, disusul
Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi Rp 40,39 triliun, dan baru
ketiga disusul Kemendikbud sebesar 40,09 triliun.
Melalui
apa yang mengemuka di atas, mestinya pemerintahan saat ini lebih jeli
lagi dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Ada yang lebih
fundamental. Alih-alih menyabut akar persoalan pendidikan nasional,
pemerintah justru membuat manufer yang hanya membuang-buang tenaga untuk
mencari sensasi. Mulai dari berfoto di salah satu Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) memperingati hari Anti Korupsi, sampai penghapusan UN.
Padahal yang lebih mendasar ialah revisi paradigma pendidikan dalam
RPJPN yang mengabdi pada pasar menjadi mengabdi pada manusia. Selain
itu, penyelesaian persoalan rendahnya akses pendidikan bagi warga
negaranya pun mendesak untuk segera diatasi.
Oleh
karena itu, kami dari Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi Daerah Istimewa Yogyakarta (EW LMND DIY) menuntut pemerintah
untuk:
1. Mencabut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi
2. Mewujudkan pendidikan geratis untuk seluruh rakyat Indonesia
3. Menyusun kurikulum pendidikan nasional yang manusiawi
4. Memperluas dan memajukan fasilitas pendidikan di seluruh Indonesia
Yogyakarta, 13 Desember 2019
Hormat kami,
Ketua EW LMND DIY
Irfan Rahngiar