Animimisme-Dinamisme Bukanlah Kepercayaan Leluhur Bangsa Indonesia.
Suatu Tinjauan kritis Mengenai Kepercayaan Leluhur Bangsa Indonesia
|
Dalam buku sejarah yang diajarkan tatkala kita masih duduk dalam bangku sekolah, sistem kepercayaan yang dianut nenek moyang kita pada masa purwakala adalah Animisme dan Dinamisme. Kepercayaan animisme adalah sistem kepercayaan kepada Roh yang mendiami semua benda seperti pohon, batu, sungai, gunung dan yang lainnya yang dianut oleh manusia. Kepercayaan ini timbul karena manusia, ketika masih hidup dalam sistem komunal yang primitif butuh atau selamat dari kejaran binatang buas atau dari kejaran musuh ketika bersembunyi dibalik pohon yang rindang atau bebatuan yang besar. Dari persembunyian itulah ia merasa aman dan percaya, bahwa dibalik benda-benda tersebut ada Dzat yang transendental yang bersemayam. Sementara Kepercayaan Dinamisme pun demikian, menganggap segala sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan yang dapat membantu manusia dan mendatangkan keberuntungan.
Lepas dari benar atau tidaknya sistem kepercayaan yang dianut oleh leluhur kita pada masa purwakala dulu, bahwa bertuhan sudah menjadi naluriah yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Dan jika betul bahwa itu merupakan sistem kepercayaan yang telah dianut oleh leluhur kita, apakah tidak mungkin, di Nusantara ini tidak ada Agama Samawi yang menyampaikan tentang Sang Hiang Tunggal yang patut disembah oleh manusia?
Dari ulasan buku yang dikarang oleh Agus Sunyoto yang berjudul "Sang Pembaharu, Perjuangan dan Ajarah Syej Siti Jenar" Buku ke 3 (tiga) diceritakan, saat Syeh Siti Jenar pulang dalam pengembaraannya belasan tahun lamanya ia mengemban misi untuk menyebar luaskan ajaran keselamatan dunia akhirat (Agama Islam) di Nusa Jawa ini. Jauh sebelum ia pergi memulai Sukuknya (perjalanan salih) nya, Syeh siti Jenar kerap kali menyaksikan sistem feodal jawa yang sama sekali ia tidak sukai. Baginya, baik kaula alit maupun raja, apakah dia kaya atau miskin, apapun kedudukannya dimuka bumi, manusia tetaplah manusia yang derajatnya setara (Egaliter) dengan manusia yang lain. Tidak berhak sedikitpun manusia menindas dan menghisap diantara sesama manusianya yang lain. Hanya ketakwaanlah yang membedakan derajar antar satu manusia dengan yang lainnya. Misi itulah yang pertama-tama ingin dicita-citakan oleh Syeh Siti Jenar di Bumi Nusa Jawa ini.
Saat berkeliling masuk ke desa-desa di Cirebon ditemani oleh Ki Samadullah atau Sri Mangana atau Raden Walangsungsang selaku Raja Cirebon sekaligus ayah angkat Siti Jenar, ia melihat perubahan-perubahan yang begitu besar sejak ayahandanya itu dinobatkan menjadi raja di Cirebon oleh Sri Prabu Guru Dewataprana Ratu Haji atau Prabu Siliwangi.
Ketika masuk di Desa kecil (Pasukuhan), Syeh Siti Jenar dan Raden Walangsungsang melihat sesosok laki-laki asing berukuran besar dihadapannya secara tiba-tiba. Setelah memulai perbincangan dan perkenalan, diketahui sosok bertubuh besar tersebut bernama Dang Hyang Semar. Percakapan ketiganya tidak berlangsung lama lantaran Dang Hyang Semar tidak ingin menampilkan sosoknya dihadapan Sri Mangana yang telah bersembah sujud kepadanya serta memiliki kekuatan kelam seribu hulubalang yang dipengaruhi ajaran Bhairawa haus darah manusia yang tidak pernah disukainya. Pada saat itu sesungguhnya Dang Hyang Semar ada berhadap-hadapan dengan Syeh Abdul Jalil dan berbincang-bincang dengan begitu akrabnya melalui al-ima yang dimilikinya tampa diketahui secara kasat mata oleh Sri Mangana.
Dalam perbincangan itu Dang Hyang Semar menyampaikan bahwa dirinya merupakan manusia yang diutus oleh Sang Hyang Tunggal untuk menyampaikan ajaran Tauhid kepada makhluk di nusa jawa ini ribuan tahun yang lalu.
Jauh sebelum manusia menempati bumi, sesungguhnya mahluk berbadan halus telah lebih dulu menghuni bumi ini dan melakukan kerusakan serta suka menumpahkan darah sesamanya. Ketika manusia menggantikan mereka untuk menghuni bumi, mereka terusir ke berbagai samudra raya dan ke pulau-pulau kecil. Namun manusia pun ternyata malukan hal yang sama seperti apa yang telah dilakukan oleh penghuni sebelumnya, yaitu melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Untuk mensucikan bumi dari manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab tersebut Sang Hyang Taya (Tuhan) menenggelamkan manusia dengan banjir bah. Dari peristiwa itu, Dang Hyang Semar dan para pengikutnya selamat dari bencana dan terdampar di sebuah tempat bernama Pulau Kendhang yang ternyata sudah dihuni oleh oleh makhluk berbadan halus berupa kawakan kera raksasa dan banga siluman.
Tentu saja sebagai manusia yang asing dan dipertemukan dengan makhluk yang tidak sejenis tidak serta merta diterima begitu saja. Setelah tiga ratus tahun lamanya berselisih kedua belah pihak menemui kesepakatan untuk bisa berdampingan tanpa saling mengganggu meski berbeda alam.
Ada setidaknya lima syarat dan kesepatan yang dibuat oleh kedua belah pihak untuk mengakhiri perselisihan antar keduanya antara lain:
Pertama, angsa manusia yang tinggal di Pulau Kendhang tidak diperbolehkan mengganggu adat kebiasaan bangsa berbadan halus, terutama adat
kebiasaan menyelenggarakan perayaan pesta darah manusia. Kedua, Dang Hyang Semar menjadi guru loka bagi bangsa manusia dan bangsa berbadan halus di Pulau Kendhang. Ketiga, seluruh bangsa halus harus tunduk di bawah perintah Dang Hyang Semar. Keempat, bangsa berbadan halus tidak akan mengganggu manusia yang benar-benar memuja Sang hyang Taya sebagaimana diajarkan Dang Hyang Semar. Kelima, untuk melangsungkan tradisi pesta darah manusia, bangsa berbadan halus diperbolehkan memilih korban manusia yang tidak mengikuti atau menyimpang dari ajaran Dang Hyang Semar.
Sejak disitulah Dang Hyang Semar bebas melakukan syi'ar, menyebarkan ajaran kepada umat manusia untuk hanya bersembah sujud kepada Sang Hyang Taya.
Dalam perbincangannya dengan Ayeh Siti Jenar, Dang Hyang Semar Menjelaskan bahwa Sang Hyang Taya (Jawa Kuno: Suwung, Hampa, Awang-awang) adalah Dzat yang tidak dilahirkan, tidak berawal juga berakhir serta tidak bisa dijangkau oleh manusia (transendental).
Karena Transenden, untuk menyembah-Nya Manusia mengenal-Nya melalui pengejawantahan kekuatan dan kekuasaan-Nya di alam ini sebagai Pribadi Ilahi yang menjadi Sumber segala sumber kehidupan yang tergelar di alam semesta, yakni Pribadi Ilahi yang memiliki Nama dan Sifat sebagai pengenal
keberadaan diri-Nya. Pengejewantahan pribadi ilahi itu disebut dengan Tu atau To. Dari nama dan sifat itulah manusia secara samar-samar sudah bisa mengenali keberadaan Dzat Sang Hyang Taya tersebut.
Meski pribadi Ilahi Tunggal, namun Dia memiliki dua sifat yang berbeda. Yang pertama Tu yang baik, yang memberikan kemuliaan, kemakmuran dan keselamatan kepada manusia, Tu yang pertama inilah yang disebut Tu-han. itulah yang dikenal dengan nama Sanghyang Tunggal (Maha Esa); Satu Pribadi Ilahi yang selain memiliki nama dan sifat Tunggal juga memiliki nama dan sifat Wenang (Mahakuasa). Yang kedua adalah sifat Tu atau To yang tidak baik, yaitu yang mendatangkan kejahatan, kehinaan, kenistaan, kesesatan, dan kebinasaan. Tu itulah yang dikenal dengan nama Han-Tu. Sifat Tu yang tidak baik, yaitu Han-Tu, itulah yang disebut dengan nama
Sang hyang Manikmaya (Jawa Kuno: Permata Khayalan). Sanghyang Manikmaya, Pribadi Ilahi yang hanya diketahui nama dan sifat-Nya itu, tak berbeda dengan Sanghyang Tunggal, yakni memiliki nama dan sifat Wenang juga.
Dalam menjalankan tugas sucinya itu sesungguhnya Dang Hyang Semar tidak sendirian. Ia dibantu oleh saudara sekandungnya yang bernama Sang To-Gog. Ajaran yang disampaikan Dang Hyang Semar untuk memuja Sang Hyang Tunggal adalah Agama Kapitayan, sementara yang disampaikan oleh sauraranya Sang To-gog adalah agama Tata Titi dalam memuja Sang Hyang Manikmaya.
Dari dua ajaran yang disampaikan oleh keduanya sesungguhnya bersumber pada yang Esa, hanya saja jalan penyembahannya yang berbeda. Jika Kapitayan proses penyembahannya hanya menempuh satu jalan, sementara Tata Titi harus menempuh berbagai macam jalan.
Dalam proses menyembah Sanghyang Taya (TU-han) ada dua cara yang harus dilakukan. Yang pertama menggunakan alat bantu yang diwejantahkan dalam wujud yang kasatmana seperti menggunakan Tu-Buh atau dengan wa-Tu. Sementara untuk menyembah Sanghyang manikmaya (han-TU) diwejuantahkan melalui berbagai sarana benda yang kasatmana seperti dengan wa-Tu, Tu-gu, un-Tu (gigi), pin-Tu, Tu-fang, Tu-nggu/(bendera), Tu-mbak, Tu-lup (sumpit), Tu-nggak (tonggak), Tu-rumbuhan (beringin), Tu-ban
(air terjun), Tu-k (mata air), To-peng, To-san (pusaka), To-pong (mahkota), To-parem (baju rompi), To-wok (lembing), To-ya (air), dengan sesaji-sesaji berupa Tumpeng, Tu-d (bunga pisang), dan Tu-mbu (tempat sesaji dari anyaman bambu).
Ketika manusia sudah dilimpahi keberkahan, mereka akan memiliki kekuatan gaib yang dilimpahkan kepada dirinya oleh Sanghyang Taya maupun Sanghyang Manikmaya. Jika kekuatan yang dilimpahkan kepada manusia itu bersifat memberkati, mengayomi, melindungi dan menyelematkan itu disebut dengan Tu-ah. Sementara jika kekuatan gaib itu bersifat menghukum, mengutuk, mendatangkan bencana, dan membinasakan maka itu disebut Tu-lah. Kita mungkin saja sering mendengar istilah terakhir ini, atau yang akrab dalam bahasa kita Ketulah. Orang-orang tua umumnya di kita masih menggunakan istilah ini jika melihat orang kecelakaan atau mendapatkan musibah.
Tu-ah dan Tu-lah yang dilimpahi kepada seseorang atas pemujaannya kepada Sanghyang Taya dan SangHyang Manikmaya ini ditandai dengan sifat PI (Jawa Kuno; Rahasia, tersembunyi). Dengan begitu, mereka yang telah dilimpahi kekuatan gaib tersebut ucapannya akan disebut Pi-dato, jika mereka mendengar sesuatu disebut PI-harsa, jika mereka mengajarkan sesuatu ilmu pengetahuan disebut PI-wulung, jika mereka memberi petuah disebut PI-tutur, jika mereka memberikan arah dan petunjuk disebut PI-tuduh, jika mereka memberikan hukuman disebut PI-dana, mereka memancarkan kekuatan dikatakan Pi-deksa, jika mereka memberikan keteguhan kepada orang lain disebut Pi-andel, jika mereka mengobati orang lain dikatakan jam-Pi, bahkan jika mereka sudah tua dan sering lupa dikatakan Pi-kun.
Orang-orang yang demikian lah menurut ajaran Kapitayan dan Tata Titi tersebut yang berhak menjadi pemimpin bagi umat manusia. Dan orang orang seperti ini dengan hormat orang menjulukinya Pi-nituha, Pi-nituhu, dha-Tu, dan ra-Tu. Pun ketika mereka mati disebut dengan PI-tara (Arwah Leluhur).
Meskipun benar bahwa nenek moyang kita menganut Animisme-Dinamisme, tidak mustahil bahwa ajaran Danghyang Semar ini juga menjadi kepercayaan yang mendominasi dikalangan orang-orang Baheula. Sama halnya dengan agama-agama besar pada masa sekarang yang agama minoritaspun turut membersamainya.
Bangsa Indonesia pada masa dahulunya merupakan bangsa yang berkebudayaan yang sudah mengenal kepercayaan Monoteis yang mengesakan Tuhan
Referensi selengkapnya klik download