Omnibus Law, Jalan menuju Liberalisasi dan Penindasan
Sepanjang akhir tahun 2019, pemerintah melalui berbagai kebijakannya yang dikeluarkan dengan legitimasi Undang-Undang telah banyak menyulut kemarahan publik dengan berujung pada sejumlah penolakan aksi massa dengan sebegitu massifnya. Meski demikian, mobilisasi massa besar-besaran yang digalang oleh sipil tidak serta merta membuat jera pemerintah untuk menghentikan sejumlah kebijakannya itu. Tentu saja kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang jauh dari problematika dasar rakyat. Malahan hampir semua kebijakan yang dikeluarkan semakin menjadi penyumbang terbesar atas penderitaan rakyat. Upaya pemerintah untuk merongrong kepentingan-kepentingan publik yang amat mendasar masih saja terus dilakukan. Setidaknya, di awal tahun 2020 ini pemerintah pemerintah sedang mengupayakan aturan baru yang tidak kalah kontroversialnya dengan Undang-Undang yang lain yang ramai di penghujung tahun 2019 kemarin, yaitu Undang-Undang sapu jagat atau "Omnibus Law" yang ramai dikritik secara keras oleh serikat-serikat buruh dan pada praktisi lainnya.
Selang beberapa hari setelah draf RUU ramai diperbincangkan oleh publik, Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD) menyelenggarakan dialog publik dengan beberapa narasumber yang dihadirkan antara lain: Rudi Hartono (KPP PRD), Nining Elitos (KASBI), Abra PG Talattof (INDEF), dan Lukman Hakim (FNPBI).
Sesuai dengan tema yang diusung, 'Omnibus Law Dalam Bingkai Pancasila', dialog tersebut mengarah pada kajian yang melihat Omnibus Law dalam perspektif Pancasila supaya menjadi aturan yang positif bagi kelangsungan hidup seluruh masyarakat kelas bawah Indonesia dan menjadi jawaban atas problem dasar rakyat yang selama ini terjerat ketakutan masa depan mereka yang tidak terarah. Seperti kemudahan mengakses kesehatan, pendidikan, mendorong maju industri nasional serta memajukan UMKM.
Namun tidak demikian yang terjadi, alasan sipil menolak adanya rancangan RUU tersebut juga termasuk dari dialog yang diselenggarakan PRD, RUU tersebut lebih mengarah pada Profit Oriented yang akan menguntungkan sebagian kecil kalangan yang tergolong pada kelas elit dan korporasi-korporasi besar. Selain itu, Omnibus Law ini proses legislasinya dilakukan tidak secara demokratis karena tidak banyak melibatkan banyak pihak. Dari sinilah tirik nadir mengapa Omnibus Law tersebut banyak dicurigai dan di keitik meski drafnya belum bisa diakses publik.
Yang paling getol melakukan penolakan atas RUU ini seperti yang kita tahu adalah serikat buruh, karena nantinya Imbas langsung dari akan adanya UU tersebut adalah mereka. Namun ditengah akan dipermudahnya investasi masuk ke Indonesia, masa depan pemuda tentu saja akan bergantung pada pekerja upahan/buruh. Problem dasar yang mencuat tentang Omnibus Law ini adalah liberalisasi dalam dunia ketenagakerjaan yang semakin diperluas yang implikasinya akan merugikan buruh itu sendiri, karena kedepan, mencari pekerjaan akan sangat mudah, tetapi disisi yg berbeda pemutusan hubungan kerja juga tidak kalah mudahnya dengan pesangon yang dikurangi atau bahkan sama sekali tidak ada.
Kita mungkin tidak asing dengan istilah Negara kelas, dimana sekarang Indonesia sendiri telah melakukannya. Kebijakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Negara terus menerus menjadi seperti upeti untuk menjamu kepentingan kapitalisme, dalam hal RUU Omnibus Law ini, serikat buruh memiliki kesimpulan bahwa tidak ada yang Pancasilais dalam draf RUU tersebut karena sama sekali tidak memuat nilai nilai demokratis dan berkedailan sosial.
Dalam memberikan tanggapannya, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Agus Jabo Priono, menyimpulkan secara de facto Omnibus Law tersebut akan menciptakan haluan negara yang baru yang mengarah pada neoliberalisme. Padahal seharusnya, Omnibus Law ini tetap dalam kendali preambule UUD 1945 yang didalamnya tercantum Pancasila sebagai dasar Negara, menjunjung tingga pasal 33 untuk melindungi kepentingan Nasional dan kepentingan rakyat dengan prinsip trisakti menuju Indonesia yang adil makmur. Pada prinsipnya, AJ (singkatan Agus Jabo) Sendiri sama sekali tidak alergi terhadap investasi, asalkan prinsip dasarnya tidak kolonial yang hanya menguntungkan pihak asing. Namun fair kita untung mereka juga untung.
Lagipula, dalam keadaan sekarang tidak ada aspek kemendesakan untuk menerbitkan Omnibus Law tersebut. Abra, selaku ekonom indef dalam diskusi yang berlangsung memberikan rasionalisasinya bahwa performa investasi, dari luar maupun dalam negeri sebetulnya masih amat bergairah. Dari rasionalisasi itu, sebaiknya ruu sapu jagat tersebut ditunda pembahasannya.
Selang beberapa hari setelah draf RUU ramai diperbincangkan oleh publik, Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD) menyelenggarakan dialog publik dengan beberapa narasumber yang dihadirkan antara lain: Rudi Hartono (KPP PRD), Nining Elitos (KASBI), Abra PG Talattof (INDEF), dan Lukman Hakim (FNPBI).
Sesuai dengan tema yang diusung, 'Omnibus Law Dalam Bingkai Pancasila', dialog tersebut mengarah pada kajian yang melihat Omnibus Law dalam perspektif Pancasila supaya menjadi aturan yang positif bagi kelangsungan hidup seluruh masyarakat kelas bawah Indonesia dan menjadi jawaban atas problem dasar rakyat yang selama ini terjerat ketakutan masa depan mereka yang tidak terarah. Seperti kemudahan mengakses kesehatan, pendidikan, mendorong maju industri nasional serta memajukan UMKM.
Namun tidak demikian yang terjadi, alasan sipil menolak adanya rancangan RUU tersebut juga termasuk dari dialog yang diselenggarakan PRD, RUU tersebut lebih mengarah pada Profit Oriented yang akan menguntungkan sebagian kecil kalangan yang tergolong pada kelas elit dan korporasi-korporasi besar. Selain itu, Omnibus Law ini proses legislasinya dilakukan tidak secara demokratis karena tidak banyak melibatkan banyak pihak. Dari sinilah tirik nadir mengapa Omnibus Law tersebut banyak dicurigai dan di keitik meski drafnya belum bisa diakses publik.
Yang paling getol melakukan penolakan atas RUU ini seperti yang kita tahu adalah serikat buruh, karena nantinya Imbas langsung dari akan adanya UU tersebut adalah mereka. Namun ditengah akan dipermudahnya investasi masuk ke Indonesia, masa depan pemuda tentu saja akan bergantung pada pekerja upahan/buruh. Problem dasar yang mencuat tentang Omnibus Law ini adalah liberalisasi dalam dunia ketenagakerjaan yang semakin diperluas yang implikasinya akan merugikan buruh itu sendiri, karena kedepan, mencari pekerjaan akan sangat mudah, tetapi disisi yg berbeda pemutusan hubungan kerja juga tidak kalah mudahnya dengan pesangon yang dikurangi atau bahkan sama sekali tidak ada.
Kita mungkin tidak asing dengan istilah Negara kelas, dimana sekarang Indonesia sendiri telah melakukannya. Kebijakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Negara terus menerus menjadi seperti upeti untuk menjamu kepentingan kapitalisme, dalam hal RUU Omnibus Law ini, serikat buruh memiliki kesimpulan bahwa tidak ada yang Pancasilais dalam draf RUU tersebut karena sama sekali tidak memuat nilai nilai demokratis dan berkedailan sosial.
Dalam memberikan tanggapannya, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Agus Jabo Priono, menyimpulkan secara de facto Omnibus Law tersebut akan menciptakan haluan negara yang baru yang mengarah pada neoliberalisme. Padahal seharusnya, Omnibus Law ini tetap dalam kendali preambule UUD 1945 yang didalamnya tercantum Pancasila sebagai dasar Negara, menjunjung tingga pasal 33 untuk melindungi kepentingan Nasional dan kepentingan rakyat dengan prinsip trisakti menuju Indonesia yang adil makmur. Pada prinsipnya, AJ (singkatan Agus Jabo) Sendiri sama sekali tidak alergi terhadap investasi, asalkan prinsip dasarnya tidak kolonial yang hanya menguntungkan pihak asing. Namun fair kita untung mereka juga untung.
Lagipula, dalam keadaan sekarang tidak ada aspek kemendesakan untuk menerbitkan Omnibus Law tersebut. Abra, selaku ekonom indef dalam diskusi yang berlangsung memberikan rasionalisasinya bahwa performa investasi, dari luar maupun dalam negeri sebetulnya masih amat bergairah. Dari rasionalisasi itu, sebaiknya ruu sapu jagat tersebut ditunda pembahasannya.