Orde Baru dan Penopang Kekuasaannya yang Otoritarianisme
Penulis: Ade Muchtar, Anggota Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi Unbaja editor: Syamsul Ma'arief |
Sebetulnya mudah saja untuk menelaah faktor mengapa Orde Baru dapat bertahan dalam waktu yang tidak wajar dalam sebuah sistem demokrasi. Hal demikian bisa dilihat dari kilas balik berdirinya Orde Baru itu sendiri.
Seperti diketahui, awal berdirinya Orde
ini diawali dengan genosida pada tahun 1965 dimana masyarakat sipil banyak
dibunuh oleh militer. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65)
mengklaim jumlah korban tewas dalam tragedi pasca gerakan 30 september 1965
lebih dari 3 juga orang.[1]
Laporan ini merujuk pada pengakuan Sarwo Edhie selaku Komandan Resimen Para
Komando angkatan Darat (RPKAD).
Pembunuhan massal terhadap sipil dengan
jumlah yang drastis seperti demikian tidak wajar adanya. Dalam buku Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30
September dan Kudeta Soeharto karangan John Rossa, ia menuliskan dalam
pengantar edisi bahasa Indonesianya, sebelum peristiwa 65 terjadi, dimana
Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno memimpin, Indonesia tidak pernah menimpakan
kesalahan kepada suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan. Kaum nasionalis
yang berjuang untuk kemerdekaan pada 1945-1949 tidak membunuh orang-orang
Belanda hanya karena mereka orang Belana. Setelah pemberontakan PRRI/Permesta
pada akhir 1950-an pemerintah Soekarno melarang PSI dan Masyumi karena
pemimpin-pemimpin kedua partai mendukung pemberontakan-pemberontakan tersebut.
Tetapi pemerintah Soekarno tidak menyatakan bahwa semua anggota kedua partai
adalah pengkhianat; pemerintah hendak menahan dan/ atau membunuh orang hanya
karena mereka anggota PSI atau Masyumi. Soekarno mengampuni
pemberontak-pemberontak Darul Islam – orang-orang yang memang mengangkat
senjata untuk melawan pemerintah kecuali pimpinan-pimpinan puncaknya. Bayangkan
seandainya prinsip kesalahan kolektif diterapkan pada anggota-anggota Golkar
dewasa ini: haruskah setiap anggota Golkar pada masa Orde Baru diminta
bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan Soeharto?.[2]
Dalam buku yang ditulis oleh M. Jasin
dalam Saya Tidak Pernah Minta Ampun
Kepada Soeharto (1998:72), para Jendral menyelenggarakan rapat di
Yogyakarta pada 7 Oktober 1965. Rapat tersebut dihadiri oleh Mayor Jenderal
Amirmachmud (Panglima Kodam Jakarta Raya), Mayor Jenderal H.R Dharsono
(Panglima Kodam Siliwangi, Jawa Barat), Mayor Jenderal Surono (Panglima Kodam
Diponegoro, Jawa Tengah), Mayor Jenderal Kemal Idris (Pangkostrad), Brigadir
Jendral Wijoyo Suyono (Komandan Pasukan Baret Merah RPKAD), dan M. Jasin
(Panglima Kodam Brawijaya, Jawa Timur. Hasil rapat tersebut memutuskan beberapa
rekomendasi penting, diantaranya: 1) Mendukung Jenderal Soeharto dalam
melaksanakan cita-cita Orde Baru, 2) Mengikis Segala Bentuk Penyelewengan Orde
Lama dan melaksanakan secara konsekuen cita-cita Pancasila dan UUD 1945.[3]
Dari keterangan tersebut tentu saja kita
sudah bisa mengambil benang merah, salah satu faktor yang membuat rezim
otoritarianisme Soeharto bertahan adalah karena kuatnya dukungan militerisme
yang mengawal hingga kejatuhannya pada Mei 1998. Tentu saja sebagai alat
kekuasaan dan kekerasan Negara, militer memiliki peran strategis dalam
menciptakan stabilitas nasional baik dalam proses pembangunan ekonomi maupun
dalam iklim sosial.
Dengan kekuatan kuasa yang ditopang
militer, dan dalih menjaga stabilitas nasional, ruang-ruang publik
disterilisasi dengan berbagai sistem dan aturan seperti menerapkan Asas Tunggal
Pancasila dimana partai politik dan ormas-ormas yang ada tidak boleh
berideologikan lain selain Pancasila, termasuk untuk Islam sendiri. Langkah ini
diambil pada pertengahan 1980-an dengan
menggabungkan kumpulan gagasan “indoktrinasi bersekala nasional”. Indoktrinasi
pemerintah orde baru dilakukan dengan cara sentralistik. Ideologi yang
sentralistik ini tentu saja memberikan pengaruh besar dalam berbagai bidang
termasuk dalam bidang pendidikan. Semua kebijakan pendidikan dikontrol dan
dikendalikan oleh pusat.[4]
Pendidikan sebagaimana diterangkan dalam
UUD 1945 merupakan prioritas yang paling utama, dan Soeharto, sebagai pemegang
tampuk kekuasaan yang super power agaknya tidak cuek dalam urusan pendidikan. Namun, pelaksanaan ala orde baru
tidak dilakukan sepenuh hati. Pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah orde
baru tidak lebih hanya menjadi alat politik belaka. Pancasila dan P4 akhirnya
menjadi salah satu kendaraan indoktrinasi politik. Hal demikian dilakukan demi
penyeragaman dalam berfikir dan bertinak.
Dalam keadaan serba tertekan dan
tertindas, ternyata sipil tidak serta merta bungkam. Keadaan psikis tersebut
selaras dengan adagium; “manusia akan berfikir keras ketika dalam keadaan
terdesak”. Meski semua elemen sipil dibatasi ruang aspirasinya, seperti
pengkerdilan partai politik, masa-masa akhir menjelang keruntuhan orde baru
muncul gerakan-gerakan radikal yang dipelopori oleh mahasiswa dan stakeholder
untuk menuntut orde baru mundur dari jabatan kekuasaannya. Sebut saja misalnya
Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian berkonfederasi menjadi Partai Rakyat
Demokratik (PRD) yang getol melakukan perlawanan meski harus dalam tekanan
militerisme orde baru. Partai rakyat ini menjadi satu-satunya partai pelopor
ditengah penyelarasan partai formal yang hanya direstui oleh Soeharto yaitu PDI
dan PPP.
Meski diambang kehancuran, ada banyak
pengamat dengan penuh percaya diri meramalkan bahwa rezim orde baru yang
otoriter akan berlanjut ke masa depan yang tidak terbatas, kemungkinan besar
dibawah Jenderal militer lain.[5]
Perubahan
Sosial
Ketika penumpasan kaum sipil dilakukan,
dan Soekarno diambang kehancurannya, Soeharto mulai melakukan
penertiban-penertiban terhadap kelompok sipil bahkan berlanjut sampai ia
menduduki kursi kekuasaannya. Kebebasan-kebebasan sipil dan aktifitas
masyarakat mulai dikontrol ketat. Kegiatan-kegiatan sosial masyarakat yang
sekiranya akan membahayakan kekuasaan orde baru turut pula dikontrol secara
ketat.
Semua kepentingan publik diselaraskan dengan kepentingan orde baru
secara sentralistik. Menyampaikan pendapat di muka umum dianggap sebagai
tindakan anti Pancasilais dan harus ditumpas. Begitu juga dengan kebebasan
pers. Sejumlah pemberitaan media massa baik dalam bentuk Koran maupun televisi diawasi.
Akhirnya, kehidupan sosial masyarakat sunyi dan tidak ada dinamika sama sekali
sebagaimana layaknya kehidupan dalam Demokrasi.
Kehidupan
Politik
Setelah Soeharto
didapuk sebagai pengendali kekuasaan Indonesia, kehidupan politik berubah
secara drastis dan cepat. Diatas telah banyak diulas, untuk memuluskan jalan
kekuasaannya, orde baru butuh stabilitas politik dengan menggaet militer
sebagai sekutu setianya sampai masa akhir jabatan. Dengan begitu secara
otomatis kekuasaan yang otoriter dan alat kekuasaan Negara yang dikendalikan
militer bersinergi terus menerus untuk menjaga Negara dari gejolak-gejolak
rakyat yang tidak menyukainya berkuasa. Sinergitas itu bisa kita kenal sebagai
Dwifungsi ABRI.
Sejumlah partai politik yang teridentifikasi memusuhi Negara
dan tidak selaras dengan konsepsi orde baru dibubarkan. Tidak sampai disitu,
penculikan dan pembunuhan sebagai cara yang tidak beradab masih terus dilakukan
sampai masa akhir jabatannya terhadap lawan-lawan politik yang terang-terangan
menentang kekuasaan, dan perlakuan itu ia benarkan. Dalam dunia pendidikan
nuansa-nuansa indoktrinasi amat kentara dengan perubahan berbagai macam
kurikulum dan pembelokan-pembelokan sejarah seputar G-30 S yang Kental dengan
PKI. Dalam membangun ideologi pembenaran bagi kediktatorannya, Soeharto
menampilkan diri sebagai juru selamat bangsa dengan menumpas G-30-S.
Rezim
Soeharto terus menerus menampakkan peristiwa itu dalam pokiran masyarakat
melalui semua alat propaganda Negara; buku teks, monument, nama jalan, film,
museum, upacara peringatan, dan hari raya nasional. Rezim Soeharto memberi
dasar pembenaran keberadaannya dengan menempatkan G-30-S pada jantung narasi
historinya dan menggambarkan PKI sebagai kekuatan jahat tak terpikirkan.[6]
Indoktrinasi yang dilakukan dengan durasi yang amat panjang ini membuahkan
hasil, setidaknya fakta itu bisa dilihat hari-hari ini, generasi yang hidup
dalam nuansa kebohongan orde baru sangat sensitif ketika mendengar PKI, dan
alam fikirnya langsung memberi respon bahwa PKI kejam, Jahat, Tidak Beradab dan
harus dibunuh.
NB: esay ini Judul Aslinya "Faktor yang Mempengaruhi Orde Baru Berkuasa Selama 3 Dekade", dikerjakan sebagai tugas mata kuliah PKN.
Reference
[1]“YPKP 65 Klaim 3 Juta Lebih
Korban Tewas Lantaran Dituduh PKI” https://m.cnnindonesia/nasional/2015093005475-20-81729/ypkp-65-klaim-3-juta-lebih-korban-tewas-lantaran-dituduh-pki,
diakses pada 20 Maret 2020, Pukul 19.41 wib
[2]Jhon Rossa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, (Jakarta:
Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, cetakan pertama, 2008),
h.xvii
[3]“Bagaimana Militer Menopang
Kekuasaan Soeharto Selama 32 Tahun” https://www.google.com/amp.tirto.id/bagaimana-militer-menopang-kekuasaan-seoharto-selama-32-tahun-elxw,
diakses pada 20 Maret 2020, Pukul 20:14 wib
[4]Sardiman dan Rhoma Dwi Arya
Yuliantri, Dinamika Pendidikan Pada Masa
Orde Baru, Hasil Laporan Penelitian Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta, h. 9.
[5]R. William Liddle, dalam artikel
edisi bahasa Inggris, Indonesia’s
Democratic Opening, h. 95.
[6]Jhon Rossa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto,…
h. 9.