Menegaskan Kembali Nilai-nilai yang Terkandung Dalam Pancasila
Bermula dari sebuah peristiwa tragis yang terjadi pada 1 Oktober 1965. Tujuh perwira tinggi Indonesia diculik kemudian dibunuh. Peristiwa yang memicu timbulnya gejolak politik hingga menghantarkan Soeharto pada tampuk kekuasaan. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan G30S.
Tindakan yang terjadi dalam peristiwa G30S tersebut merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila yang menjadi ideologi dasar negara. Oleh karena itu, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 53 Tahun 1967, untuk menegaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan dasar atau falsafah yang berisi lima (panca) sila. Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan.
Apabila Pancasila tersebut ditolak, Soekarno menawarkan Tri (tiga) sila. Sila pertama ialah Sosio Nasionalisme. Pada saat menjabarkan, Bung Karno menyatakan "Nasionalisme kita harus mencari nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan. Sosio nasionalisme adalah Nasionalisme Masyarakat."
Sosio Nasionalisme merupakan nasionalisme yang menghendaki masyarakat tanpa kelas atau masyarakat adil makmur. Maka dari itu, Sosio Nasionalisme menawarkan beberap hal.
Pertama, Sosio Nasionalisme yang mempromosikan Nasionalisme Politik (Politik nasional yang berdaulat) dan Nasionalisme Ekonomi (Ekonomi sosial yang berdikari).
Sila berikutnya ialah Sosio Demokrasi, yang diperas dari politik ekonomi demokrasi menuju demokrasi dengan kesejahteraan.
Bung Karno mengatakan "Sosio Demokrasi tidak ingin mengabdi kepada kepentingan gundukan kecil saja. Sosdem menginginkan sebuah kekuasaan politik ditangan rakyat. Seluruh urusan ekonomi politik dikerjakan oleh rakyat, dengan rakyat, dan untuk rakyat."
Perlu dipahami bahwa Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi tidak dapat dipisahkan, karna Sosio Demokrasi diturunkan dari Sosio Nasionalis. Dan hanya Sosio Nasionalis yang dapat melahirkan Sosio Demokrasi.
Selanjutnya sila terakhir adalah Ketuhanan. Pemikiran Bung Karno terhadap dimensi ketuhanan sangat luas dan dalam. Bung Karno banyak berbicara dan berfikir tentang Tuhan.
Namun, konsep Bung Karno tidak semata-mata berlandaskan Tuhan orang Islam saja. Dalam pidatonya, Bung Karno mengatakan "Hatiku akan berpesta raya jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa negara Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Kemudian apabila Tri Sila juga ditolak, Bung Karna menawarkan Eka (satu) sila yaitu azas gotong royong.
Azas gotong royong merupakan suatu azas dari tata kehidupan dan penghidupan Indonesia asli serta menjadi satu keharusan dalam perjuangan melawan imperialisme.
Dalam perjalanannya, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kesadaran pembangunan bangsa kian terkikis dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Rezim orde baru, menjadi fase awal pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila. Saat rezim orde baru, Pancasila justru disakralkan bahkan hingga dijadikan alat untuk memberantas kelompok yang berbeda haluan politik dengan pemerintah saat itu.
Saat ini, pada era reformasi Pancasila lagi-lagi absen dalam kehidupan masyarakat. Pancasila harus dihadapkan dengan paham Neoliberalisme yang sangat massif dilakukan oleh rezim pemerintahan saat ini.
Untuk itu, penting untuk terus mempropagandakan pentingnya kembali melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam membangun Indonesia pada pemenuhan cita-cita bangsa yakni menciptakan suatu bentuk masyarakat yang berkehidupan adil dan makmur.
Sosiolisme merupakan cita-cita yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Sosiolisme ala Indonesia adalah perpaduan antara unsur sosialis yakni kesejahteraan dan keadilan yang kemudian dipadukan dengan kepribadian bangsa, gotong royong.
Penulis : Faridhotul Jannah, Anggota LMND Komisariat Universitas Bina Bangsa Serang-Banten.